Rhapsody Baby Sun

Monday, June 8, 2020

1 comment

Seungyoun tidak pernah mengerti bagaimana di dunia ini bisa ada orang yang tercipta memberikan kebahagiaan kepada orang lain hanya dengan kehadirannya. Seolah dia membuat suasana disekitarnya menjadi lebih baik hanya dengan kehadirannya, tanpa perlu mengatakan apa pun. Awalnya Seungyoun meragukan kesaksian Seungwoo tentang orang bernama Jinhyuk yang bisa melakukan hal itu jika tengah berkumpul dengan orang-orang. Tadinya, Seungyoun pikir itu hanyalah bentuk pemujaan Seungwoo yang menyukai Jinhyuk.

Sampai dia bertemu dengan Jinhyuk hari itu. Awalnya kehadirannya di sana karena keterpaksaan karena diseret Seungwoo yang merupakan teman kosannya dan membuatnya menjadi third wheels di antara keduanya. Sebenarnya Seungyoun ingin bergabung dengan orang-orang untuk menikmati makanan prasmanan yang ada karena merayakan ulang tahun Jinhyuk.

"Eh, lo Cho Seungyoun itu 'kan?" Seungyoun tidak tahu kenapa Jinhyuk bisa mengenalinya, tetapi dia menganggukkan kepala. "Whoa ... beneran ternyata kata kak Seungwoo. Gue pikir dia ngarang aja kalau kenal sama artis soundcloud favoritku."

"Artis apaan...?" Seungyoun hanya bisa tertawa kikuk, karena dia tidak menyangka akan bertemu dengan orang yang suka mendengarkan cover song atau lagu gubahannya dikala senggang. "Ah elah, gue diomongin apa aja nih sama kak Swoo? Jangan-jangan yang ngaconya biar dia kelihatan keren."

"Enggak kok, tenang aja," tawa Jinhyuk yang entah kenapa membuat Seungyoun tanpa sadar tersenyum, "eh yang kita omongin kemana? Kok jadi gue malah monopoli lo."

Seungwoo, orang yang mereka bicarakan terjebak di antrian orang yang mengambil makan prasmanan. Seungyoun sekarang jelas bingung harus memulai pembicaraan lagi, karena dia kemari tanpa tahu teman-teman Seungwoo dan Jinhyuk seperti apa. Kampusnya berbeda dengan keduanya dan orang-orang pasti tidak akan percaya jika Seungyoun yang terlihat seperti anak seni atau anak DKV ternyata adalah anak arsitektur. Penampilannya terlalu seni kalau mengutip kata Hangyul dan Yohan yang merupakan penghuni kosannya.

"Oh iya, gue udah ngobrol banyak, tapi lupa perkenalkan diri," Seungyoun menatap Jinhyuk yang mengulurkan tangan kepadanya, "kenalin, nama gue Lee Jinhyuk."

"Udah tahu, kak Swoo sering ngomongin lo," tetapi Seungyoun tetap menyambut uluran tangan Jinhyuk, "lo tahu nama gue 'kan?"

"Tapi serius lo kuliah arsi?" tanya Jinhyuk yang entah kenapa terlihat bersemangat di mata Seungyoun. "Sumpah loh, gue pas dikasih kak Seungwoo gak percaya. Lo kelihatan arsty banget gitu ... sumpah bukan maksud mengejek, cuma ngomong kenyataan aja."

"Lo orang kesekian yang ngomong begitu," Seungyoun biasanya mengatakan hal ini tanpa senyuman, sedikit tersinggung karena dirinya dianggap tidak layak di jurusannya, tetapi entah kenapa dengan Jinhyuk justru dia memberikan reaksi tertawa pelan, "yah, bisa dibilang sebenernya gue tertarik sama gambar, tapi gak bagus-bagus amat daya khayal gue. Jadilah masuk arsi dan bukan DKV."

"Tapi arsi 'kan lebih sulit dari DKV?"

"Semua jurusan punya kesulitannya masing-masing," Seungyoun hanya tersenyum, "btw, selamat ulang tahun. Gue gak bawa hadiah sih, tapi kalau lo ada request lagu buat gue nyanyiin sebagai hadiah ulang tahun mau gak?"

"Ya ampun, santai aja. Gak perlu kado-kadoan," tawa Jinhyuk yang membuat Seungyoun tersenyum, "tapi kalau lo emang mau nyanyiin gue, sebenernya lagu apa aja boleh kok. Gue udah senang kalau lo upadate soundcloud."

"Angel to Me gimana?"

"Hah?"

"Lagunya," Seungyoun tidak bisa menahan tawanya karena melihat ekspresi Jinhyuk, "tungguin nanti malam ya."

Seungyoun memutuskan untuk undur diri, (tanpa tahu kalau Jinhyuk ingin mengatakan sesuatu) lantaran Seungwoo sudah kembali kepada mereka. Seungyoun mengantri di tempat makanan prasmanan dan menimbang untuk menyanyikan lagi versi bahasa Korea atau bahasa Inggris-nya.

Hanya saja, Seungyoun tidak tahu kalau sikapnya ini justru membuat Jinhyuk yang tadinya sudah dekat dengan Seungwoo (yang sebenarnya hampir menjadi), justru membelokkan atensi kepadanya. Tanpa tahu kalau Seungyoun sudah memiliki orang yang disukainya sejak lama, tetapi tidak menjadi karena keduanya fokus kepada masa depan masing-masing.
Read More

In Every Fear, Lays Love

No comments

Seungwoo tidak yakin untuk terus melanjutkan hidup. Masalah demi masalah yang terus datang ke dalam kehidupannya. Mulai ayahnya sakit gagal ginjal (yang berakhir komplikasi dan meninggal tahun lalu); lulus dengan IPK yang menyedihkan; bekerja sebagai barista lalu sebagai SPB parfum dengan gaji di bawah UMK; kesehatan jiwanya yang kacau karena menahan semuanya karena semua orang di rumahnya hancur karena tekanan masalah yang terus datang dan Seungwoo harus menjadi orang yang menguatkan semua orang.

Rasanya mati jauh lebih baik daripada terus melanjutkan hidup. Namun, semenjak meninggalnya ayahnya, satu-satunya lelaki di rumahnya adalah dirinya dan membuat Seungwoo berusaha untuk mencari alasan untuk hidup. Meski itu berarti membuatnya akhirnya keluar dari pekerjaannya untuk membuatnya bisa berpikir waras; mengikuti sesi konseling pada psikiatri setiap bulan dan meminum obat yang diberikan dokter setiap hari.

Jadi keberadaannya di ruangan besar dan papan nama terbuat dari plastik bening yang mencantumkan nama Cho Seungyoun dan bersisian dengan kata CEO membuat Seungwoo mempertanyakan kenapa mau berada di sana. Padahal ia bisa pura-pura tidak membaca email yang masuk ke akunnya dan menjalankan hidup tanpa makna seperti hari-hari biasanya. Namun, Seungwoo tidak berbohong kalau uang tabungannya sudah hampir habis dan ia sakit kepala mendengar perkataan ibunya soal keinginan untuk melihatnya kembali bekerja seperti orang normal.

"Maaf menunggu lama, tadi ada meeting," suara itu membuat Seungwoo menoleh dan lelaki bersetelan jas berjalan ke arahnya, "Han Seungwoo 'kan? Kenalkan, gue Cho Seungyoun."

Seungwoo menyambut uluran tangan Seungyoun dan sejujurnya dia aneh mendengar lelaki itu merujuk dirinya dengan 'gue', bukan 'aku' seperti yang biasanya yang didengarnya kalau berurusan dengan orang-orang yang memiliki jabatan tinggi di kantor. Seungyoun duduk di depan Seungwoo, menyilangkan kakinya dan tangannya tertautkan satu sama lainnya sembari mengamati orang di depannya.

"To the point aja ya, jadi apa kamu mau kerja sama aku?"

"Aku atau gue?" Seungwoo kadang suka sebal sendiri kalau mulutnya bereaksi lebih cepat daripada kecepatan pikirannya untuk menata bahasa. "Maaf, maksud saya … kenapa menawari pekerjaan kepada saya?"

"Hahaha…," Seungyoun tertawa, padahal tidak ada yang lucu, "sorry, tadi kebiasaan kalau mengobrol sama orang baru bawaannya santai seperti bukan di kantor. Tapi good note sih lo sadar sama hal sekecil itu," dia menganggukkan kepala, "gue udah baca lamaran lo dari laman jalan pekerja dan membuat penasaran. Kuliah Teknik Perminyakan, kerja jadi barista tiga bulan lalu kerja jadi SPB parfum. Menarik perhatian gue untuk memanggil lo untuk bekerja di sini."

"Tapi IPK saya tidak sampai tiga."

"And the point is…?" Seungyoun menatap Seungwoo serius. "IPK tiga ke atas itu membosankan untuk diterima. Mereka yang memiliki nilai seperti itu bakalan kerja seadanya karena merasa kalau tidak diperlakukan dengan baik akan cabut dari kantor. Gue gak butuh orang macam itu."

"Tapi saya punya gangguan mental."

"Bipolar 'kan?" Seungyoun mengatakannya sembari menatap Seungwoo, yang membuat lelaki itu terdiam. "Gue udah baca dari blog punya lo dan gak masalah. Karena dari postingan-postingan lo, gue bisa lihat lo orang yang tekun dalam suatu hal."

Seungwoo diam selama beberapa saat, lalu akhirnya mengatakan apa yang dipikirkannya. "Apa anda tidak akan menyesal?"

"Ya buat gue jangan menyesal memilih lo," tawanya, lalu beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil map di mejanya, lalu kembali ke tempat duduknya. Memberikan map itu kepada Seungwoo, "itu kontrak lo, baca baik-baik dan kalau tidak jelas bisa ditanyakan ke gue."

Seungwoo dengan ragu membuka map tersebut dan membaca kontrak dengan teliti. Semuanya sangat jelas dan terperinci, membuatnya merasa sekarang seperti mimpi yang tidak pernah dibayangkan akan menjadi nyata. Seungwoo memang memasukkan lamaran untuk menjadi personal assistant di perusahaan yang masih berhubungan dengan migas ini, tetapi tidak menyangka akan bisa sampai tahap ini padahal tidak memiliki kualifikasi yang memadai.

"Seungwoo," panggilan itu membuat lamunannya buyar dan menatap Seungyoun yang memberikan tatapan teduh, "lo boleh bawa pulang kontraknya dan mempertimbangkan untuk bekerja sama gue. Cuma gue harap, besok lo udah kasih keputusannya. Pekerjaan gue banyak dan butuh orang untuk mengaturnya."

Seungwoo merasa ia akan berubah pikiran jika keluar dari ruangan ini. Jadi ia mengeluarkan pulpen dari sakunya (yang membuatnya bersyukur karena kebiasaan yang satu ini ada gunanya juga saat ini) dan menanda tangani surat perjanjian bekerja itu. Hal yang disadarinya pertama kali adalah Seungyoun tersenyum lebar dan kemudian mendengar, "oke, karena lo … sorry maksudnya kamu sudah tanda tangan kontrak, langsung kerja hari ini ya."

"Apa?"

"Tunggu di sini sebentar, saya bawain HP dan tablet khusus yang kamu harus pegang," Seungyoun bahkan tidak memberikan Seungwoo kesempatan untuk bereaksi karena dia beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil 2 benda yang disebutkan, lalu kembali dengan membawa HP iPhone keluaran terbaru berwarna space gray dan iPad dengan warna yang sama, "HP ini untuk menerima semua panggilan masuk yang diperuntukkan untuk saya. Sebelum kamu berikan ke saya, kamu harus pastikan itu penting. Kalau tidak penting, kamu handle," jelas Seungyoun dan kemudian menunjuk iPad, "ini buat jadwal serta hal-hal yang berhubungan dengan jadwal seperti ringkasan bahan meeting, ringkasan orang-orang yang akan saya temui kalau di pesta dan semacam itulah."

Seungwoo yakin kalau keputusannya menerima pekerjaan ini sepertinya salah. Namun, gaji dua digit membuatnya hanya bisa mengangguk dan membawanya bersamanya saat Seungyoun memintanya untuk mengikuti langkahnya. Keluar dari ruangannya untuk menuju meja yang banyak tumpukan dokumen yang mendadak membuat kepala Seungwoo pusing.

"Ini pekerjaan kamu, pisahkan dokumen berdasarkan kategori. Tempel sticky note di atas map-map untuk ringkasan isinya, lalu beri ke saya secara bertahap."

Apa Seungwoo baru saja menggali kuburannya sendiri untuk membuat jiwanya semakin terguncang karena pekerjaan yang (sepertinya) tidak ada akhirnya ini?

***

Ada beberapa hal yang dipelajari Seungwoo selama menjadi personal assistant seorang Cho Seungyoun selama setahun belakangan. Setahun yang rasanya seperti kedipan mata karena tidak menyangka kalau dirinya sanggup untuk konsisten bekerja dengan bos macam Seungyoun.

Bosnya itu ramah, kelewat ramah pada semua orang malah. Dari security, office boy sampai orang-orang yang punya jabatan tinggi selalu dia sapa kalau berpapasan dan seringnya berakhir mengobrol tentang banyak hal. Namun, kalau dia murka tidak akan segan untuk melayangkan surat pemutusan kerja atau surat mutasi kepada orang yang bersangkutan. Untung saja hal ini hanya hitungan jari terjadi selama setahun.

Bosnya juga seringkali harus diingatkan sebelum bertemu seseorang untuk berbicara formal. Kalau tidak, dia keceplosan mengobrol 'lo-gue' dan berakhir marah-marah sama Seungwoo karena tidak menjalankan tugas sebagai personal assistant Seungyoun. Meski kalau diingatkan selalu menggerutu karena menganggap dirinya sebegitu tidak kompetennya untuk memisahkan ranah personal dan pekerjaan dari tutur katanya (yang sebenarnya memang benar).

Bosnya juga ternyata usianya 2 tahun lebih muda dari Seungwoo. Membuatnya terheran-heran bagaimana orang yang baru berusia muda sudah menjadi CEO perusahaan sebesar ini? Lalu terjawab karena orang tua Seungyoun sudah meninggal karena kecelakaan pesawat saat dia baru lulus kuliah dan membuatnya harus mengambil alih perusahaan keluarganya. Membuat Seungwoo diam-diam merasa kasihan karena Seungyoun seringkali tampak kesepian dan berakhir sering berada di rumahnya lantaran senang makan masakan ibunya.

Serta karena bekerja dengan Seungyoun, membuat Seungwoo sering menggunakan passport miliknya untuk berkeliling Asia. Bukan dalam rangka liburan, tetapi karena pekerjaan. Membuatnya belajar beberapa bahasa sekaligus karena bahasa Inggris saja nyatanya tidak cukup untuk menjadi personal assistant Seungyoun. Apalagi bosnya ini seringkali memintanya membuat ringkasan pertemuan-pertemuan yang didatanginya padahal sudah dibuatkan oleh notulen yang selalu ada di setiap pertemuannya.

"Gak kerasa ya, udah setahun aja lo sama gue," Seungyoun tiba-tiba saja menyeletuk saat mereka menunggu di ruang tunggu khusus untuk pemegang tiket bisnis, "padahal gue pikir lo bakalan cabut secepatnya seperti asisten sebelum-sebelumnya."

"Padahal kerja sama kamu seru," Seungwoo tidak berbohong mengatakan ini, "meski suka rese karena jam libur mendadak jadi lembur buat nemenin kamu menghadiri pertemuan tidak penting."

"Ya maaf. Daripada gue gatau medan, mendingan bawa lo yang jago analisis semua orang biar gak salah ngomong."

"Padahal pertemuan di luar jam kerja itu maksudnya biar akrab sama kamu loh."

"Mendingan gue main ke rumah lo sih daripada ketemu mereka," gerutu Seungyoun yang membuat Seungwoo tersenyum karena ekspresi lelaki itu yang terlihat lucu, "enakan masakan ibu lo daripada makanan restoran-restoran yang mereka pilih. Lagian ngapain sih ngajak ketemuan di luar jam kerja dengan bawa keluarganya? Nyebelin sumpah."

Seungwoo hanya tersenyum, meski sebenarnya dia lebih dari mengerti tujuan orang-orang yang mengajak Seungyoun bertemu di luar jam kerja. Mungkin hanya Seungyoun yang tidak mengerti bahwa tujuan sebenarnya bukan membicarakan bisnis, tetapi mencoba mendekati Seungyoun secara personal agar bisa terjadi pernikahan bisnis. Namun, Seungyoun dan komitmen itu adalah dua hal yang tidak bisa disatukan. Nyatanya, selama setahun belakangan sudah tidak terhitung banyaknya nomor yang diblokir Seungwoo dari HP khusus yang diberikan Seungyoun kepadanya karena nomor itu yang diberikan kepada semua orang, termasuk kepada orang-orang yang sempat menarik perhatian lelaki itu selama sesaat, sebelum akhirnya ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan.

"Btw," suara Seungyoun membuat Seungwoo menoleh, "lo bisa masak gak? Kangen makan nasi goreng buatan ibu lo."

"Kalau nasi goreng, bisa sih."

"Oke sip, gue minta masakin ya."

"Iya."

"Tumben gak ada bantahan atau ngomong gue harus nambah bayaran berapa gitu karena mempekerjakan lo di luar job desk?"

"Sedang dalam mode baik hati."

"Coba kayak gini terus, bahagia gue."

"Melunjak."

Seungyoun tertawa dan Seungwoo hanya tersenyum. Sekarang tanggal 24 Desember dan mereka tengah berada di Singapura. Harusnya sekarang waktunya Seungwoo merayakan ulang tahun bersama keluarganya, tetapi bekerja dengan Seungyoun itu tidak pernah tahu waktu dan bulan keduanya dia bekerja dengan lelaki itu saja, malam tahun baru masih bekerja di Hongkong. Seungwoo tahu Seungyoun melakukan hal itu untuk membuktikan kepada dunia bahwa usia muda dan mengemban tugas sebagai CEO karena keadaan tidak membuatnya bekerja seadanya. Justru Seungwoo adalah orang yang melihat betapa Seungyoun bekerja lebih keras dari semua orang yang dikenalnya di kantor. 

"Seungwoo," panggilan itu membuat lamunannya buyar dan menatap Seungyoun, "sini."

Seungwoo mendekati Seungyoun dan mengkernyit saat lelaki yang lebih muda darinya itu memberikan sebuah kotak hitam. Ragu, dia menerimanya dan dari tatapan Seungyoun, sepertinya Seungwoo harus membukanya. Dia kehilangan kata saat melihat jam tangan Rolex dan melihat senyuman Seungyoun yang terkembang di wajahnya membuat Seungwoo juga ikutan tersenyum. Bukan senyum kesopanan yang biasa Seungwoo berikan kepada rekan bisnis Seungyoun, tetapi benar-benar senyuman tulus.

"Selamat ulang tahun, Seungwoo. Sorry ya lo kudu ikut gue kerja dan moga tahun depan lo rayain lagi sama gue, hehehe."

"Wah tahun depan belum ada hilalnya, sudah direncanakan saja mau dipekerjakan saat hari ulang tahunku."

Seungyoun tergelak dan Seungwoo tersenyum. Tidak lama kemudian ada pengumuman pesawat yang mereka tunggu sudah bisa dimasuki dan keduanya melangkah bersisian. Seungyoun meminta Seungwoo mengulang jadwal mereka di Hongkong nanti dan lelaki itu tentu mengulangnya tanpa perlu melihat tab karena dia terbiasa menghafal jadwal. Seungwoo memastikan Seungyoun nyaman di kursinya, baru dia ke kursinya dan memasang sabuk mengaman.

*** 

Kata orang-orang, Seungyoun dan Seungwoo itu ibarat matahari dan bulan. Seungyoun itu ceria, mudah berbaur dengan semua orang dan menjadi pusat perhatian. Sedangkan Seungwoo itu tenang, tidak suka menjadi pusat perhatian dan selain urusan pekerjaan, akan sulit menemuinya karena lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah untuk mendekam di perpustakaan pribadinya. 

Seungwoo mengamini kalau Seungyoun itu seperti matahari dan semua orang berotasi kepadanya. Namun, Seungwoo tidak mengerti kenapa dirinya dianggap seperti bulan. Ah, mungkin karena tato di tangannya ada memperlihatkan bulan. Meski kalau dirinya dianggap bulan, seharusnya Seungwoo sudah menemukan buminya. Karena bulan berotasi kepada bumi, bukan kepada matahari. Meski kisahnya agak sedikit miris, karena bumi berotasi kepada matahari, sementara bulan berotasi kepada bumi. Seperti kisah cinta satu pihak di mana pihak lainnya jatuh cinta kepada orang lain.

Namun, bekerja dengan Seungyoun membuat Seungwoo harus mengadopsi beberapa persona Seungyoun agar bosnya itu tidak mendapatkan perkataan tidak mengenakkan dari orang-orang (meski sebenarnya, diamnya Seungwoo saja bisa membuat rumor konyol yang disebarkan oleh orang yang iri dengannya). Membuat energi Seungwoo seringkali cepat habis dan begitu selesai bekerja, tidak mau diganggu gugat karena dia butuh tidur untuk mengembalikan energinya. Awalnya, Seungyoun tidak mengerti hal ini dan suka mendadak membawa Seungwoo untuk ikut dengannya di luar jam kerja. Seungyoun baru mengerti tentang hal ini saat Seungwoo pingsan beberapa jam sebelum pesta kelas atas yang diadakan saat malam minggu dan membuat bosnya itu panik.

Setelah kejadian itu, Seungyoun mengubah kebiasaannya itu. Setidaknya dia akan memberitahukan Seungwoo kalau dia tidak mau pergi sendirian dan akan ada uang lemburan jika menemaninya. Seungwoo jarang menolak, karena dia memang mengumpulkan uang untuk menjadi modal usahanya. Dia tidak berniat selamanya bekerja dengan Seungyoun, karena sebenarnya Seungwoo tidak begitu suka bertemu dengan orang baru dan harus berakting ramah meski hatinya dongkol setengah mati karena sikap kurang ajar kolega bisnis bosnya.

"Swoo, lo pernah pacaran gak?" Seungyoun memberikan pertanyaan random saat mereka berdua di ruang tamu apartemen yang bosnya sewa. Dia memang lebih suka apartemen daripada hotel, katanya karena tidak merasa sendirian (meski sebenarnya Seungwoo tahu alasan sebenarnya yaitu agar bisa memperkerjakannya untuk urusan domestik). "Gue kepo aja, soalnya lo kan hampir tiap weekend sama gue. Apa pacar lo gak marah?"

"Aku gak punya pacar."

"Loh, kenapa?" Seungyoun sekarang menatap Seungwoo heran. "Lo kurang apa coba? Ganteng iya, punya pekerjaan yang gajinya dua digit iya dan paling penting lo baik gini juga."

"Kalau aku tidak mengenalmu dengan baik, kupikir kamu tengah menggodaku, Seungyoun."

"Sialan," Seungyoun tertawa, tetapi kemudian menatap Seungwoo serius, "tapi lo beneran gak punya pacar? Apa perlu gue bantu cariin pacar buat lo?"

"Gak perlu," Seungwoo menggeleng, "aku lebih suka di rumah dan membaca buku daripada berurusan dengan drama percintaan."

"Lupa gue, lo emang ganteng tapi geek abis." Seungyoun tertawa dan Seungwoo hanya tersenyum mendengarnya. Tidak merasa sakit hati, karena memang kenyataanya. Bahkan Seungwoo punya blog yang namanya geektory untuk menampung ulasan dari buku yang dibacanya. Tidak peduli apa ada yang membaca atau tidak, bukan urusan Seungwoo. "Eh iya, menurut lo makan malam tempo hari gimana? Ada kurangnya gak?"

"Makan malam yang mana? Tolong agak spesifik, karena kita hampir tiap malam makan bersama."

"Yang gue ngajak makan malam terus naik helikopter keliling SG," sahut Seungyoun yang membuat Seungwoo mengingat kembali kejadian 2 hari yang lalu. Diajak makan malam romantis, tetapi justru membuat Seungwoo menatap penuh selidik kepada Seungyoun dan ternyata benar, mereka hanya uji coba untuk teman kencan bosnya itu. Entah siapa yang beruntung diajak makan malam romantis itu (yang sebenarnya membuat Seungwoo pusing karena bau bunga mawar 1000 tangkai dan juga kebingungan harus melakukan apa dengan cincin berlian yang diberikan untuknya karena sudah termasuk package dari makan malam romantis ini), tetapi semoga bosnya tidak membuang uang untuk teman kencan sesaatnya. Karena melihat angka yang dikeluarkan oleh bosnya untuk uji coba itu membuat Seungwoo pusing. Seungyoun menjentikkan jarinya yang membuat Seungwoo melihatnya, "baru inget, tahun baru lo mau ngapain? Mau extend di HK atau mau balik ke Indo?"

"Balik ke Indo. Udah janjian mau bakar-bakar sama temanku." Seungwoo menjawab pertanyaan terakhir Seungyoun dan teringat belum menjawab pertanyaan awal. "Gak ada yang kurang, tapi dipastikan orang yang kamu mau ajak menyukai aroma bunga. Aku kemarin pusing mencium aroma bunganya."

"Ah, lo mah nyium aroma parfum gue yang tajam dikit aja udah pusing, apalagi bunga," gerutu Seungyoun, "ikut boleh gak buat ketemuan sama teman-teman lo?"

"Kalau mau bantu kontribusi bahan makanan sih oke aja."

"Meremehkan duit di rekening gue atau gimana?" Seungyoun cemberut dan Seungwoo tersenyum. "Tapi teman-teman lo gak keberatan sama kehadiran gue 'kan?"

"Mereka mah makin banyak orang makin senang."

"Tapi bukannya lo benci keramaian?" Seungyoun menatap Seungwoo khawatir. "Nanti gimana kalau lo pingsan karena gak kuat terlalu banyak orang?"

Seungwoo mendengarnya hanya tertawa, membuat Seungyoun cemberut karena kekhawatirannya malah ditertawakan. Benar-benar bawahan yang tidak bersyukur karena dikahawatirkan olehnya.

"Gue serius, lo malah ngetawain."

"Acaranya cuma berempat doang sama aku," Seungwoo tersenyum, "kalau ada tambahan satu orang gak akan masalah, aku masih bisa handle."

"Hooo ... okelah kalau begitu."

***

Namun, Seungyoun tidak tahu kalau keputusannya untuk ikut dengan Seungwoo akan menimbulkan rasa tidak nyaman. Bukan karena teman-teman Seungwoo yang kurang ajar, bukan itu. Seungyoun entah kenapa tidak merasa nyaman melihat Seungwoo yang tertawa lepas karena sikap Seungsik atau keakraban keduanya yang menurutnya terlalu berlebihan untuk ukuran teman. Seungyoun meski berusaha sibuk dengan teman-temannya Seungwoo yang lain, tetap saja tidak bisa merasa nyaman setiap melihat sikap asisten pribadinya itu dengan Seungsik.

"Lo emang sedekat itu ya sama Seungsik?" Seungyoun tidak bisa menahan tanyanya saat keduanya sudah berada di dalam mobil. Seungwoo yang mengemudikan mobil (karena selain tugasnya, juga karena Seungyoun tidak bisa melihat jalanan begitu baik saat malam hari), melirik bosnya, kemudian fokus mengemudi. "Tadi gue lihat kalian tuh akrab banget, kayak lupa di dunia gak cuma kalian berdua."

"Hahaha ... pertanyaan kamu seperti pacar yang cemburu pasangannya nyaman bersama orang lain."

Harusnya Seungyoun bisa menjawab dengan galak kalau perkataan Seungwoo hanyalah asal bunyi. Namun, Seungyoun terdiam karena dia tidak pernah memikirkan ada kemungkinan itu di antara mereka. Apalagi....

"Tapi mungkin kamu benar, Youn," Seungwoo memang tidak memanggil bos kepada Seungyoun jika sudah di luar jam kerja, "aku mungkin terlihat menyedihkan di mata yang lain karena cinta satu arahku."

"Maksudnya?"

"Aku sayang Seungsik," entah kenapa mendengar hal itu, Seungyoun merasa kalah. Padahal dia tidak berada dalam kompetisi dan tidak menyukai Seungwoo lebih dari seorang asisten pribadinya (yang belakangan dia anggap sebagai temannya). Seungwoo membelokkan mobil untuk memasuki perumahan Seungyoun tinggali, "semua orang tahu itu, Seungyoun. Hanya saja kami tidak akan pernah bisa kemana-mana, tidak akan pernah."

"Kenapa?"

"Dia dijodohkan oleh orang tuanya."

Seungyoun seharusnya tahu kalau ini adalah salah satu episode tersedih dalam hidup Seungwoo. Namun, hatinya malah bahagia di atas penderitaan asisten pribadinya itu, entah kenapa. Saat sampai ke rumahnya, Seungyoun meminta Seungwoo untuk tinggal sampai pagi karena kasihan ibunya Seungwoo harus membukakan pintu jam 4 pagi seperti ini (meski Seungyoun tahu kalau asistennya ini akan memilih duduk selonjoran di lantai teras rumah daripada membangunkan orang rumahnya). 

"Lama-lama aku tinggal sama kamu saja deh biar kemana-mana selalu bersama," Seungwoo mengatakan itu dengan nada bercanda, tetapi Seungyoun memikirkan dengan serius, "tapi bosen ah lihat muka yang sama terus menerus. Nanti aku gak punya waktu buat baca buku sendirian."

"Padahal tadinya gue udah terharu lo memikirkan kemungkinan untuk kita tinggal bersama," gerutu Seungyoun yang tidak benar-benar kesal, "lagian kita kayaknya gak bakalan cocok kalau bersama. Gue anaknya ekstrovert banget, lo introvert banget."

Seungwoo hanya tersenyum, tetapi Seungyoun merasa menyesal mengatakan bahwa mereka tidak cocok. Karena kenyataanya, Seungyoun baru kali ini merasa nyaman dengan asisten pribadinya. Dengan sebelum-sebelumnya, ada saja yang kurang menyenangkan hatinya dan Seungyoun takut jika suatu saat Seungwoo akan meninggalkannya kalau sudah bosan bekerja dengannya.

*** 

Seungyoun sebenarnya tidak punya kepentingan untuk bersama Seungwoo hari itu. Namun, Seungsik yang menikah membuatnya berada di sana. Tadinya berniat sebagai moral support karena tahu Seungwoo patah hati melihat orang yang dicintainya menikah dengan orang lain. Namun, Seungyoun mempertanyakan keputusannya karena yang dilihatnya adalah Seungwoo di atas panggung menyanyikan lagu cinta untuk pasangan yang berbahagia sembari tertawa lepas. Seungyoun tidak tahu apakah itu benar-benar tulus atau akting belaka, karena yang jelas dia memperhatikan dari mejanya.

"Seungwoo itu ... bodoh," perkataan Sejun membuat Seungyoun menoleh ke sampingnya. Menatap lelaki itu dengan sebal karena berani-beraninya mengatai temannya dengan sebutan bodoh (padahal Sejun pun berteman dengan Seungwoo), lalu yang dilihat Seungyoun, lelaki itu menghela napas, "padahal kalau dia berani mengatakan perasaannya kepada Seungsik, merekalah yang menikah sekarang."

"Apa?"

"Mereka berdua itu saling mencintai, tapi tidak ada yang berani mengambil langkah," Sejun melengos dan kemudian menggelengkan kepalanya, "heran juga gue kenapa kuat temenan dengan mereka dari SMA sampai sekarang? Melihat perasaan cinta mereka yang terlihat sangat jelas, tetapi tidak ada yang berani mengambil langkah."

Seungyoun tidak tahu alasan Sejun mengatakan itu kepadanya. Namun, entah kenapa perasaannya tidak suka mendengarnya. Seungyoun berharap Seungwoo tidak pernah tahu hal ini, karena dia tidak ingin asistennya melakukan hal yang bodoh. Menjadi selingkuhan misalnya (meski Seungwoo itu manusia yang sangat rasional yang Seungyoun kenal), karena tidak ada yang tahu sikap seseorang jika terlalu tahu banyak hal.

"Youn," panggilan Sejun membuatnya melirik lelaki itu, "jagain Seungwoo ya."

"Hah?"

"Jagain Seungwoo sampai dia menemukan orang yang dicintai," jelas Sejun, "karena dia kemana-mana sama lo. Mungkin dia terlihat kuat dan rasional, tapi sebenarnya dia serapuh itu."

"Gak perlu dikasih tahu, gue bakalan melakukannya."

"Good then." Sejun tidak melanjutkan perkataannya karena mengobrol dengan pacarnya yang kalau Seungyoun tidak salah ingat namanya adalah Azalea. Keduanya tampak bahagia dan Seungyoun mempertanyakan dirinya sendiri, kapan dia bisa menemukan seseorang yang bisa membuatnya bahagia meski hanya memandangnya seperti Sejun memandang pacarnya? "Youn, duluan ya. Gue mau jalan sama pacar."

"Awas jangan belok ke hotel."

"Sialan." Sejun hanya tertawa dan pacarnya Sejun hanya menggelengkan kepala. 

Saat keduanya hilang dari pandangan Seungyoun, dia terkejut karena Seungwoo sudah ada di sampingnya. Meminum air dari gelasnya yang membuatnya menatap Seungwoo. Seharusnya dia merasa sebal karena minumannya diambil dan dihabiskan, tetapi Seungyoun memutuskan untuk diam. Mengamati Seungwoo dan dia baru menyadari kalau asisten pribadinya itu tampan. Seungyoun tidak sadar kalau Seungwoo sekarang menatapnya dengan heran, lalu mengerjap saat lelaki itu menjentikkan jarinya di depan wajahnya.

"Lihatinnya begitu banget. Ada yang salah sama mukaku?"

Seungyoun panik karena Seungwoo sadar dia perhatikan. "E-enggak kok!"

"Kenapa ngomongnya terbata?" Seungwoo menatap Seungyoun heran, karena baru kali ini melihat bosnya bisa seperti ini. "Ada masalah denganku?"

"Gue cuma kepikiran perkataan Sejun." Seungyoun tidak berbohong, tetapi dia tidak akan mau memberitahukan apa yang dikatakan lelaki itu kepadanya. "Tadi nyanyianmu bagus, Seungwoo. Gue tidak tahu kalau lo pandai menyanyi."

"Yah, mungkin kemampuanku di paduan suara dikampus tidak sepenuhnya hilang."

"Loh? Kenapa lo gak masukin itu ke dalam CV?"

"Memangnya itu berguna untuk mencari kerja?"

"Berguna buat gue, tahu!" Seungyoun tidak sadar cemberut dan Seungwoo melihatnya hanya tersenyum. "Gue tuh suka karokean, tapi gak seru kalau karoke sendirian. Kalau tahu lo berbakat nyanyi kan bisa gue ajakin karokean."

"Kalau setelah ini karokean, aku mau."

Seungyoun mendengarnya melihat Seungwoo heran. "Tumben berinisiatif mengajak gue melakukan sesuatu?"

"Butuh pelampiasan untuk menyanyi."

Seungyoun hanya bisa tersenyum mendengar jawaban Seungwoo. Pasti lagu yang akan dipilih Seungwoo nanti di tempat karoke adalah lagu sedih dan Seungyoun tidak akan memprotesnya. Setelah bersalaman dan foto dengan Seungsik dan pasangannya, keduanya berjalan menuju parkiran mobil sembari berbincang untuk menentukan tempat karoke yang akan mereka datangi. Setelah sepakat, mereka masuk mobil dan Seungwoo yang mengemudikan mobilnya.

Sebenarnya, Seungyoun lebih suka mengemudikan mobilnya daripada duduk di bangku penumpang. Alasannya karena dia terlalu cerewet dengan cara menyetir orang lain, tetapi semenjak Seungwoo bekerja untuknya, menyetir adalah tugasnya karena Seungyoun merasa nyaman dan aman. Biasanya, Seungyoun akan memutar lagu dari flashdisk yang sengaja dipasang di mobil, tetapi kali ini dia mencoba mendengarkan radio dan sialnya justru lagu patah hati yang tengah diputar. Seungyoun segera mematikannya, membuat Seungwoo memandangnya (dan bisa melakukannya karena mereka berada di lampu merah).

"Kenapa dimatikan?" tanya Seungwoo yang membuat Seungyoun panik harus mengatakan apa. Dia tidak ingin menyakiti Seungwoo dengan kenyataan yang diketahuinya, tetapi juga bingung kenapa Seungyoun harus merasa panik? "Aku tidak apa-apa, kalau itu yang kamu khawatirkan."

"Jangan berbohong," Seungyoun menatap Seungwoo, "tidak ada yang baik-baik saja melepaskan orang yang dicintai untuk bersama orang lain."

Seungwoo tidak memandang Seungyoun karena lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Menjalankan mobil dan tidak memberikan jawaban kepada Seungyoun. Membuat lelaki itu merasa tidak nyaman karena rasanya salah saat mengatakan kenyataan kepada Seungwoo. Merasa kalau Seungyoun membuat Seungwoo terluka karena perkataannya dan merasa kalah karena orang yang dicintai lelaki itu bukanlah dirinya.

...sebentar, kenapa Seungyoun harus berpikiran Seungwoo mencintainya?

***

Seungyoun pikir, Seungwoo akan patah hati berkepanjangan. Namun, setelah karoke bersama, dia tidak memperlihatkan tanda tengah patah hati. Entah Seungwoo memang pandai menyembunyikan perasaannya atau karena tumpukkan pekerjaan yang mengharuskan mereka ke Singapura dan Korea Selatan membuatnya tidak punya waktu bersedih. Sebenarnya Seungyoun juga mau memberikan Seungwoo cuti, tetapi dia sadar diri kalau tidak ada asistennya itu hidupnya kacau. Cuti seminggu Seungwoo membuatnya kelimpungan dan berakhir lelaki itu mempersingkat cutinya menjadi 3 hari lantara Seungyoun terus menelepon menanyakan banyak hal.

Dirinya tidak pernah ingat sebegitu bergantungnya kepada seseorang, tapi kenyataanya Seungyoun sekarang hampir tidak bisa apa-apa tanpa Seungwoo di sisinya. Seungyoun itu benci kalau tidak bisa mengurus diri sendiri, tapi kenyataannya semenjak mengenal Seungwoo dia lupa kapan terakhir kali benar-benar mengurus semuanya sendiri. Rasanya semua yang dikerjakannya kalau tidak Seungwoo periksa akan terasa salah, padahal asistennya itu seringnya bertanya kepada Seungyoun karena tidak begitu paham dengan hal-hal yang dibacanya. 

Seungyoun juga merasa dirinya aneh belakangan ini. Dulu dia tidak akan peduli jika koleganya bertanya tentang status percintaan Seungwoo, tetapi sekarang mendengar koleganya bertanya keberadaan asistennya itu saja bisa memancingnya memberikan tatapan tajam. Seungyoun juga baru sadar kalau HP khusus yang diberikan kepada Seungwoo banyak digunakan koleganya untuk menghubungi Seungwoo dan bukan dirinya. Sepertinya mereka paham kalau Seungwoo tidak akan memberikan nomor pribadinya dengan mudah dan nomor Seungyoun adalah satu-satunya jalan untuk mendekati asistennya itu.

"Kamu kenapa?" Tanya Seungwoo saat mereka selesai meeting di jam makan siang. "Aku lihat belakangan ini sikapmu aneh."

"Gapapa." Seungyoun tentu tidak akan mau memberitahukan apa yang terjadi. Kalau ada yang bisa dibilang untung, Seungwoo itu bukan tipe yang akan mengejar seseorang sampai rasa penasarannya terjawab. Tidak seperti Seungyoun yang jika penasaran akan menerjang apa pun agar semuanya terjawab. "Setelah ini udah gak ada jadwal 'kan? Gimana kalau kita jalan."

"Tapi...."

"Ke book cafe gimana?" Seungyoun tahu kalau Seungwoo itu kalau ada waktu senggang suka ke tempat-tempat yang berhubungan dengan buku. "Sekalian balik dulu kita, ganti baju lebih kasual gitu."

"Yaudah."

Seungyoun tersenyum karena tahu kalau asistennya itu memang (hampir) tidak pernah menolak usulannya kalau sudah melibatkan buku. Keduanya melangkah menuju lobi sembari berbincang ringan. Sampai Seungyoun melihat Seungwoo mengangkat telepon dari HP khusus miliknya dan merasa tidak senang melihat asistennya itu tersenyum saat menerima telpon. Apalagi dari perbincangan yang didengarnya, tidak ada yang merujuk dirinya sebagai pemilik nomor tersebut.

"Saya senang mendengarnya, semoga sukses dengan rencananya," Seungwoo tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Seungyoun? Ada di samping saya, tengah menatap tajam."

Seungyoun tidak menyadari memberikan tatapan itu, tetapi gerak refleksnya yang memukul Seungwoo membuat lelaki itu mengaduh dan dirinya mendengkus. Bisa-bisanya sekali melibatkan Seungyoun dalam percakapan malah mengatakan hal yang menyebalkan. Setelah sambungan telpon berakhir dan mobil mereka sudah muncul, Seungwoo membukakan pintu untuk Seungyoun dan menutupnya. Lalu bergerak ke sisi satunya untuk mendudukkan dirinya di samping Seungyoun.

"Siapa yang tadi nelpon?" Seungyoun membuka pembicaraan. "Gue aja yang merasa atau emang belakangan banyak orang nelpon bukan diperuntukkan buat gue?"

"Yury," Seungwoo tersenyum, "hanya membicarakan tentang rencananya untuk melamar kekasihnya dengan makan malam romantis yang dulu pernah kita coba."

"Kenapa harus nelpon ke lo dan bukan gue coba?"

"Apa kamu tidak lupa kalau semua orang tahunya nomor yang aku pegang adalah nomormu?" Seungwoo hanya tersenyum dan Seungyoun mengutuk kebodohannya karena melupakan fakta tersebut. "Lagipula aku memang sering jadi tempat curhat kolegamu. Mungkin job desk aku harus mendengarkan semua orang."

"Lo kerja buat gue, bukan buat mereka," protes Seungyoun, "besok-besok kalau ada yang kayak gitu tolak aja. Kerjaanmu bukan sebagai konseling gratisan buat mereka."

Seungwoo merespon dengan senyuman dan Seungyoun merasa asistennya ini tidak seperti orang bipolar yang diketahuinya. Dia sering baca jurnal tentang orang bipolar dan Seungwoo rasa-rasanya tidak terlihat seperti jurnal yang dibacanya. Namun, Seungyoun tidak mempercayai apa yang dilihatnya karena dia tidak tahu apa yang Seungwoo rasakan. Sebenarnya, Seungyoun bahkan merasa tidak tahu apa pun tentang Seungwoo di luar jam kerja. Karena meski sedekat apa pun mereka dan Seungyoun berbagi apa pun yang dirasakannya, asistennya itu jarang sekali berbagi tentang hidupnya. Justru Seungyoun tahu pikiran Seungwoo itu dari blog pribadi lelaki itu.

"Bos," panggilan Seungwoo membuat Seungyoun ingin protes karena dia paling benci dipanggil itu. Namun, protesan itu tidak pernah keluar dari mulutnya karena mendengar, "aku harap kamu tidak jatuh cinta padaku. Karena kamu hanya menyukai apa yang aku perlihatkan kepadamu, bukan apa yang sebenarnya ada pada diriku."

Sepanjang sisa hari itu, Seungyoun tidak banyak bicara karena pikirannya terus bertanya-tanya tentang perkataan Seungwoo yang bermuara pada satu hal.

Apa benar Seungyoun hanya baper kepada Seungwoo karena mereka kemana-mana selalu bersama?

*** 

Seungwoo tidak pernah menyangka dia akan bekerja dengan Seungyoun sampai 5 tahun lamanya. Sebenarnya ada beberapa kali masa dirinya bosan bekerja dan ingin memberikan surat pengunduran diri. Namun, entah Seungyoun bisa membaca pikirannya atau bagaimana, karena setiap niat itu muncul selalu dibarengi dengan lelaki itu mengambil cuti dan membawanya liburan. Seungwoo juga tidak paham kenapa dari semua orang yang bisa Seungyoun ajak, harus dirinya yang selalu dibawa saat liburan?

Kenapa tidak salah satu dari orang-orang yang dekat dengan Seungyoun? Namun, pertanyaanya itu selalu Seungwoo simpan sendiri karena tidak ingin mendengar hal yang paling ditakutkannya. Meski sudah beberapa tahun berlalu semenjak perkataannya soal jangan jatuh cinta kepadanya, semua sikap Seungyoun membuat Seungwoo tidak yakin lelaki itu paham maksudnya. Padahal yang diinginkan Seungwoo adalah hidup tenang dan tidak terlibat dalam perasaan bernama cinta setelah dengan Seungsik tidak berhasil.

Seungwoo belum selesai dengan dirinya sendiri, jadi dia tidak mau mengajak orang lain untuk mengurusi dirinya. Karena saat Seungwoo memutuskan untuk berhubungan dengan orang lain, dia ingin keadaan terbaiknya yang diperlihatkan dan membagi kebahagiaannya bersama pasangannya. Bukan pasangannya yang harus mengurusi kebahagiaanya, karena bahagia diri sendiri adalah tanggung jawab masing-masing individu.

"Sejin ada nelpon?" Seungyoun bertanya membuat lamunan Seungwoo buyar. Dia menjawab dengan gelengan dan Seungyoun menghela napas. "Dooh punya pacar ambekan susah juga ya? Harus gue sogok apa lagi deh biar tidak marah."

"Coba kasih barang kesukaannya."

"Yaudah, lo beliin deh. Gue masih mumet sama kerjaan, gak bisa pergi."

Seungwoo ingin bilang pekerjaannya juga banyak. Namun, pada akhirnya dia sudah berada di mobil untuk membawanya pergi ke mall mewah. Mencari hadiah terbaik untuk pacar Seungyoun yang sudah enam bulan belakangan ini selalu bersama. Seungwoo senang, akhirnya masa-masa dirinya dilabrak oleh orang-orang yang merasa dekat dengan Seungyoun telah berakhir. Meski marahnya Sejin sekarang Seungwoo bisa tebak penyebabnya.

"Apa Seungyoun yang nyuruh lo kemari?" Sejin berkaca pinggang melihat Seungwoo yang datang dengan sebuah tas dari toko bermerk mahal favorit lelaki itu. "Gue gak akan nerima hadiah itu. Bilang sama dia, kalau memang gue sepenting itu harusnya dia yang datang kemari."

"Dia sedang ada proyek penting," Seungwoo mencoba menjelaskan, meski sekarang justru mendapatkan tatapan tajam dari Sejin, "tolong dimaafkan kesalahan Seungyoun. Aku tidak tahu apa yang membuat kalian bertengkar, tapi dia terus menanyakan kabarmu kepadaku."

"Lo...," Sejin menunjuk Seungwoo yang membuatnya kebingungan. Lalu semuanya terasa masuk akal saat Sejin berkata, "semua masalah kami bermuara pada lo. Gue sama Seungyoun gak akan kayak gini kalau gak ada lo."

"Maaf."

"Kalau maaf cukup, gak ada gunanya penjara."

"Jadi saya harus masuk penjara agar kalian baikan?"

"Resign," Sejin menatap Seungwoo, "kalo lo resign, gue bakalan baikan dengan Seungyoun. Gue juga bakalan kasih uang berapa pun yang lo mau. Asalkan lo gak di sisi Seungyoun lagi."

Cukup lama Seungwoo terdiam, lalu menganggukkan kepala. Dia juga merasa bekerja dengan Seungyoun sudah terlalu lama dan melupakan niatnya untuk membuka book cafe seperti yang sering dikunjunginya di Korea Selatan. Seungwoo rasa, ini waktu yang tepat untuk dirinya mengundurkan diri dari sisi Seungyoun. Lagipula Seungyoun sudah punya asisten tambahan selain dirinya, Byungchan. Meski asisten yang baru bekerja setahun belakangan dengan Seungyoun itu seringnya malah adu mulut dengan atasannya karena pekerjaanya Seungwoo disuruh diambil alih karena katanya kasihan dengannya. Padahal Seungwoo baik-baik saja selama ini mengerjakan semuanya. 

Namun, belum juga Seungwoo menyerahkan surat pengunduran diri, yang didengarnya dari Byungchan membuatnya masuk ke ruangan Seungyoun. Lelaki itu tampak kaget dengan kehadirannya yang tumben sekali tidak menelpon untuk memberitahukan kedatangannya dan sebelum Seungyoun bertanya, Seungwoo sudah berkata, "kenapa kalian putus? Bukannya kalian saling mencintai?"

"Yah, semua orang bisa saja kehilangan rasa cintanya dalam jangka waktu tertentu." Seungyoun menjawab sembari menatap Seungwoo. "Memangnya kenapa bertanya seperti itu? Apa Sejin meneleponmu untuk meminta kami balikan?"

"Tidak," Seungwoo menatap Seungyoun, "dia tidak menelepon, tapi aku sadar kalau penyebab kalian bertengkar adalah aku."

"Seungwoo, bukan...."

"Apa sebenarnya yang kamu pikirkan sampai lebih baik mempertahankan aku daripada orang yang kamu cintai?" Seungwoo benar-benar tidak bisa mengerti jalan pikiran Seungyoun. Sebenarnya, dia berpikir hal yang tidak mungkin menjadi alasan atasannya dan pacarnya putus, tetapi entah kenapa itu yang terlintas di kepalanya. "Apa ini seperti yang aku pikirkan?"

"Memangnya, apa yang kamu pikirkan?"

"Kamu jatuh cinta padaku," Seungwoo berharap, Seungyoun membantahnya, tetapi diamnya lelaki itu membuatnya mengusap wajahnya dan menghela napas panjang, "apa perkataanku bertahun-tahun yang lalu tidak cukup jelas?"

"Siapa yang bilang aku jatuh cinta kepadamu?" Seungyoun boleh saja terdengar protes, tetapi ekspresinya tidak berbohong dan membuat Seungwoo tidak nyaman. "Itu hanya pikiranmu saja. Pasti kamu mendengarkan perkataan Byungchan. Sudah tahu anak itu kerjaanya ghibah daripada bekerja dengan benar."

"Kalau begitu, aku resign harusnya tidak masalah bukan?"

"A-apa?"

"Aku ... berhenti." Seungwoo menatap Seungyoun dengan tatapan yakin. "Kalau memang perkataanmu benar tentang tidak mencintaiku, seharusnya kamu tidak akan peduli jika aku berhenti."

"Seungwoo...."

"Besok suratnya aku letakkan di mejamu dan dalam minggu ini aku akan menyelesaikan semua pekerjaanku bulan ini." Seungwoo berbalik dan melangkah menuju pintu. Sebelum membuka pintu, dia menoleh ke belakang dan menatap Seungyoun. "Terima kasih karena selama lima tahun ini percaya akan kemampuanku dan maaf aku tidak bisa di sisimu selamanya."

Suara pintu ditutup membuat Seungyoun mengacak rambutnya. Dia tidak akan menduga semuanya akan seperti ini, meski memang benar apa yang dikata Seungwoo kepadanya. Dia putus dengan Sejin karena memberikan pilihan untuk memilih lelaki itu atau Seungwoo. Membuat pertengkaran semakin menjadi-jadi dan putus adalah kata final untuk hubungan keduanya.

"Swoo, gue gak bisa," Seungyoun bergumam dan memejamkan matanya, "sebanyak apa pun gue mencoba bersama orang lain, cuma lo yang ada di pikiran gue."

*** 

Setelah drama pengunduran diri yang disponsori oleh Byungchan, akhirnya Seungwoo memulai lembaran barunya sebagai pengusaha. Pergi ke kota lain untuk kursus menjadi barista selama 3 bulan, lalu kembali ke kota asalnya untuk mencari tempat yang strategis untuk membangun kafe yang diinginkannya. Ibunya sebenarnya tidak setuju dengan pilihan hidupnya, tetapi kedua kakaknya mendukung pilihan Seungwoo. Sepertinya kakaknya berpikir kalau Seungwoo terus menjadi asisten pribadi Seungyoun, dia tidak akan kunjung mencari pasangan hidup karena terus sibuk dengan pekerjaannya yang menuntutnya pergi kemana-mana.

Selama itu juga, Seungwoo tidak ada mendapatkan pesan dari Seungyoun. Padahal kalau dulu dirinya tidak muncul di hadapan lelaki itu on time sudah dibombardir dengan telpon dan pesan mempertanyakan keberadaannya. Seungwoo hanya mendengar kabar dari Byungchan kalau Seungyoun belum menemukan penggantinya karena lelaki itu dua kali lebih menyebalkan karena di natanya semua asisten barunya selalu salah dalam bekerja. Membuat Byungchan mengeluh dia sudah lebih dari sepuluh kali ganti partner karena sikap Seungyoun itu.

Hidup rasanya jauh lebih lambat dan monoton dari yang selana ini Seungwoo jalani. Sebenarnya, dia juga merasa ada yang hilang dari hidupnya. Namun, Seungwoo terus menepis kalau ini hanyalah masa transisi dari pegawai menjadi wirausaha. Meski entah kenapa Seungwoo seringkali melamun di depan pintu kafenya, berharap Seungyoun datang. Padahal dia tahu kalau kemungkinan mantan atasannya itu datang sangatlah kecil.

Palingan sekarang dia bahagia dengan pasangan barunya dan....

"Seungwoo...," panggilan itu membuat lamunannya buyar dan menatap orang di depannya dengan tidak percaya. Karena yang dipikirkannya datang, tetapi penampilannya jauh dari kata rapi dan membuat Seungwoo refleks membetulkan penampilan lelaki itu, lalu terhenti karena seharusnya dirinya tidak seperti itu, "udah lama ya kita gak ketemu dan hal pertama yang lo lakuin adalah benerin penampilan gue."

"Maaf, refleks."

"It's okay," Seungyoun tersenyum yang dilihat Seungwoo tidak seperti yang dilihatnya selama ini, "gue juga kangen jemari lo berkeliaran di tubuh gue untuk membuat gue rapi."

Seungwoo tidak membalas perkataan Seungyoun dan kemudian berdeham karena menyadari di belakang lelaki itu ada Byungchan. Meski kemudian dia mengambil langkah besar untuk duduk dan memainkan HP-nya seolah tidak tahu apa-apa, tapi Seungwoo lebih dari tahu lelaki itu pasti tengah berupaya merekam sikap mereka yang kaku ini entah untuk apa.

"Mau pesan apa?" Seungwoo hanya berbasa-basi menanyakan ini, karena dia tahu pesanan Seungyoun seperti apa. Bahkan dia sengaja membuat makanan manis kesukaan Seungyoun setiap hari karena alam bawah sadarnya mungjin berharap jika lelaki itu datang kepadanya. "Atau mau dengar menu rekomendasi? Di sini ada...."

"Seperti biasa," Seungyoun tersenyum dan kemudian menoleh ke arah Byungchan, "Buyung, lo mau apa?"

"Bos, nama gue Byungchan!" Serunya sewot. "Kayak biasa aja kak Seungwoo. Punya bos mah apa aja dia telan asalkan dibuat dengan cinta!"

Seungyoun melotot, sementara Seungwoo hanya tersenyum. Menyebutkan harga yang harus dibayar dan Seungyoun mengeluarkan kartunya karena Seungwoo tahu lelaki itu tidak suka memegang uang tunai. Waktu bekerja dengan lelaki itu, sering Seungyoun meminjam uang tunai kepadanya dan diganti dengan uang ditransfer karena semalas itu memegang uang tunai.

"Mohon ditunggu pesanannya, nanti akan diantarkan ke meja."

"Jam berapa lo selesai kerja?" tanya Seungyoun yang membuat Seungwoo mengangjat sebelah alisnya. Belum juga menjawab, mata Seungyoun sepertinya sudah menemukan jawabannya. "Jam sepuluh malam? Oke, gue jemput lo buat bicara."

Seungwoo ingin berkata bahwa dia tinggal di kafenya, tepatnya di lantai atas. Namun, dia memilih diam dan Seungyoun berlalu menuju meja Byungchan. Karyawannya mengambil alih kasir dan Seungwoo membuat minuman serta meletakkan kue di piring. Mengantarkan ke meja Seungyoun dan Byungchan tanpa tinggal untuk mengobrol karena kafenya telah memasuki jam ramai. Seungwoo tidak begitu memperhatikan keduanya karena fokus bekerja membuat minuman. Sampai salah satu pengawainya menepuk pelan bahunya dan menyerahkan sebuah kertas kepadanya.

Seungwoo, gue mau gila tanpa lo.

Hanya satu kalimat yang seharusnya tidak membuat Seungwoo tersenyum seperti orang bodoh. Seharusnya dia merasa kasihan karena Seungyoun tidak menemukan orang yang bisa menggantikan posisinya sebagai orang yang mengurusi kebutuhannya.

*** 

Jam 10 malam, Seungyoun menjemput Seungwoo. Rasanya aneh sekarang Seungwoo yang duduk di kursi penumpang dan Seungyoun yang menyetir untuknya, karena biasanya peran menyetir adalah untuknya. Mereka tidak kengatakan apa pun, hanya lagu dari flashdisk yang menemani mereka dan Seungwoo sadar jalan yang mereka lalui menuju pantai. Memarkirkan mobil di tepi jalan dekat penjual jagung bakar dan keramaian anak muda yang tengah berkumpul untuk menonton balapan liar. 

"Apa kabar?" Seungwoo akhirnua berinisiatif membuka percakapan karena Seungyoun sepertinya tidak mau membuka konversasi duluan. "Proyek waktu itu gimana? Lancar?"

"Proyeknya berhasil," Seungwoo mendengarnya tersenyum, tetapi senyumannya memudar saat mendengar, "tapi hidup gue ngaco sejak gak ada lo."

"Mungkin kamu belum terbiasa sama orang baru yang bekerja denganmu."

"Gue gak mau orang baru," Seungyoun menatap Seungwoo, "gue mau lo di sisi gue."

"...sebagai apa?" Seungwoo bergumam dan agak menyesal mengatakannya karena tatapan terkejut Seungyoun terarah kepadanya. "Sorry, gak usah dipikirkan ucapan ngacoku tadi."

"Perasaan gue itu dianggap ngaco ya?" Seungyoun menatap Seungwoo dan membuka sabuk pengamannya. Memangkas jarak di antara keduanya hingga mungkin tinggal sejengkal jarah wajah keduanya. "Bilang di depan mata gue kalau lo gak merasakan apa-apa sama gue."

Seharusnya itu gampang, tapi Seungwoo justru bungkam dan Seungyoun menjatuhkan kepalanya di bahunya. Merasakan embusan napas Seungyoun yang membuat Seungwoo meremang, padahal kulitnya terlindungi pakaian.

"Swoo, lo maunya apa?" pertanyaan Seungyoun itu membuat Seungwoo tidak yakin harus menjawab seperti apa. "Gue juga awalnya mikir kalau gue mungkin hanya jatuh cinta sama persona lo di kantor dan kalau kita jauhan perasaan ini akan hilang. Tahunya enggak dan seperti kertas yang gue tinggalkan untuk lo, gue mau gila."

"Maaf," Seungwoo akhirnya bisa menemukan kata yang ingin diucapkannya. Membuat Seungyoun menjauh darinya dan menatapnya, "aku tidak bisa mendefinisikan apa yang kurasakan saat bersamamu. Jadi, aku pikir jarak akan menjelaskan semuanya."

"Dan lo udah dapat jawabannya?"

"Sayangnya ... belum," Seungwoo tahu ada tatapan kecewa yang diperuntukkan kepadanya, "tapi ... secara tidak sadar aku terus menunggumu datang kepadaku. Aku selalu menyisihkan kue kesukaanmu seolah di penghujung hari nanti ada dirimu yang datang kepadaku."

"Kenapa gak bilang?!" Seungyoun tanpa sadar cemberut dan membuat Seungwoo tersenyum. "Berhenti tersenyum! Gue udah mati-matian ini gak ambyar di depan lo dan jangan buat gue makin susah karena disenyumin."

Seungwoo tidak berhenti tersenyum dan menyentuh wajah Seungyoun. Sebelah tangannya membuka sabuk pengamannya dan mendekatkan wajahnya kepada Seungyoun. Maksudnya hanya ingin merekam wajah Seungyoun yang sudah lama tidak dilihatnya (enam bulan ternyata cukup lama baginya). Tidak menyangka Seungyoun malah justru memajukan wajahnya hingga bibir keduanya bertemu. Seungwoo bingung harus melakukan apa, tetapi Seungyoun yang mengigit pelan bawah bibirnya untuk memberikan akses. Awalnya kaku, tetapi lama kelamaan Seungwoo yang memperdalam ciuman keduanya.

Kalau bukan kebutuhan oksigen masing-masing, mungkin keduanya sudah lupa kalau mereka masih di tempat umum. Keduanya terengah dan saat bertatapan, Seungwoo mengambil inisiatif untuk memeluk Seungyoun. Sebenarnya, Seungwoo masih belum yakin benar tentang perasaannya kepada Seungyoun. Karena Seungwoo tidak pernah terbiasa mendapatkan cinta yang berbalas, cinta dari seseorang yang lebih besar daripada miliknya sendiri.

"Swoo, kalau lo gak balik jadi asisten gue, jadi pasangan hidup gue aja gimana?"

"Selesaikan dua proyekmu dulu baru omongin nikah."

"Balik ke kantor, please. Gue sakit kepala karena pengganti lo gak ada yang becus ngurus dokumen."

"Iya."

Seungwoo rasa, dia memang tidak bisa benar-benar menjauh dari Seungyoun.
Read More

SHXLEAV WRITING COMMISSION

Saturday, June 6, 2020

No comments
Halo, selamat datang di laman shxleav yang menawarkan komisi untuk menulis fanfiksi. Saya senang bisa membantumu mewujudkan ide fanfiksimu menjadi sebuah cerita utuh. Untuk bertanya lebih lanjut, bisa DM di Twitter shxleav atau ke alamat email shxleav@gmail.com

STATUS KOMISI: DIBUKA


PERATURAN UMUM KOMISI
  1. Saya berhak untuk menolak mengerjakan komisi. Saya menolak bukan berarti tidak suka dengan pemilik akun, tetapi mungkin karena saya tidak merasa mampu mengerjakan atau tidak sesuai dengan prefensi yang biasa saya tuliskan.
  2. Karya yang saya buat bersifat privat (hanya saya dan yang mengkomisi saya yang bisa mengaksesnya), kecuali ada kesepakatan bahwa boleh dipublikasikan untuk umum. Kalau ingin dipublikasikan untuk umum, saya akan memberikan tawaran untuk mempublikasi di blogspot atau AO3 atau di kedua platform tersebut.
  3. Selama pengerjaan fanfiksi, saya berharap pengkomisi menjelaskan ide yang diinginkan sedetail mungkin agar hasil akhirnya tidak mengecewakan. Tidak perlu sungkan untuk berdiskusi karena karya yang saya tuliskan untukmu sudah dibayar dan selayaknya kamu mendapatkan yang terbaik.
  4. Waktu pengerjaan tergantung dari tema yang ditulis. Jika fanfiksi ini digunakan untuk hadiah, mohon diberitahukan tenggat waktunya sejak awal pemesanan. Kalau memberitahukan mendadak, saya berhak meminta harga tambahan dari kesepakatan awal.
  5. Hasil akhir komisi berbentuk file PDF. Jika ingin berbentuk fanbook, maka akan dikenakan biaya tambahan dan juga waktu pembuatannya yang memakan waktu sebulan lamanya.

ALUR PENGERJAAN KOMISI
  1. DM/email saya untuk bertanya ketersediaan tempat untuk mengkomisi.
  2. Setelah mendiskusikan ide yang ingin dituliskan, silahkan tentukan jumlah kata yang ingin dituliskan. Kelebihan kata yang saya tuliskan tidak akan dikenakan biaya tambahan.
  3. Saya akan mengirimkan screen capture naskah awal untuk menentukan apa sudah merasa puas atau ada yang ingin ditambahkan di beberapa tempat. Revisi hanya bisa dilakukan 2x serta jika dalam pengerjaannya diminta untuk mengubah susunan cerita dari awal, maka akan dikenakan biaya tambahan.
  4. Karya dikerjakan setelah membayar DP 50% dari total harga yang telah disepakati. Pelunasan dilakukan setelah karya sudah siap dikirimkan.

PREFENSI
  • HAL YANG SAYA TOLAK UNTUK TULISKAN: BDSM, adult/minor relationship, rape.non-con, pedophilia, incest, genderbends, extreme homophobia, gore, horror, weird kink/fetish
  • HAL YANG SAYA PERTIMBANGKAN UNTUK DITULISKAN: polyamore, suicide/self harm, mental illness, ABOverse, supernatural concept (werewolf & vampire), minor character
  • HAL YANG SAYA TERIMA UNTUK DITULISKAN: angst, hurt/comfort, romance, major character death, fluff. Sebenarnya saya bisa menuliskan apa pun yang jalan ceritanya masuk di akalnya saya yang mengutamakan logika.

HARGA KOMISI
Harga komisi per 1000 kata saya buka pada Rp. 20.000 dan jika jalan ceritanya mengharuskan saya untuk riset, gaya bahasa tertentu atau melibatkan prefensi yang sudah saya cantumkan dalam pengerjaannya maka harga per 1000 kata naik menjadi Rp. 30.000

PORTOFOLIO KARYA
  • All These Nights I Call You My Best Friend. Gaya bahasa semi baku (narasi bahasa baku, dialog bahasa kasual), jalan cerita agak lambat karena banyak hal yang dijelaskan secara perlahan dan beberapa tokoh terlibat dalam interaksi cerita.
  • Fanboi. Gaya bahasa baku (narasi dan dialog berbahasa baku), jalan cerita hanya menampilkan 1 adegan dan hanya ada 2 tokoh utama serta 1 tokoh minor yang terlibat.
  • Jasper. Gaya bahasa semi baku (narasi baku, dialog bahasa kasual), jalan cerita agak lambat karena banyak hal yang dijelaskan secara perlahan, beberapa tokoh terlibat dalam interaksi cerita dan ada adegan seksual yang dituliskan secara implisit.
  • X. Gaya bahasa baku (narasi dan dialog berbahasa baku), jalan ceritanya tidak dijelaskan secara lambat, ada 3 tokoh utama dan beberapa tokoh minor yang terlibat dalam interaksi cerita.

Sekian yang bisa saya jelaskan. Kalau ada pertanyaan, jangan ragu untuk menghubungi di Twitter shxleav atau ke alamat email shxleav@gmail.com dan semoga kita bisa bekerja sama jika gaya tulisan saya cocok dengan seleramu.

Postingan ini terinspirasi dari milik dulcetine di notion.
Read More

X

Friday, June 5, 2020

5 comments

Seungyoun tahu ada yang salah dalam pernikahannya. Seungyoun tahu jika di balik senyuman Seungwoo, tersimpan harapan agar dirinya segera memberikan keturunan. Seungyoun ingin ... ingin sekali memberikan apa yang Seungwoo inginkan itu, tetapi tubuhnya entah kenapa tidak memberikan apa yang mereka inginkan. Seungyoun awalnya berpikir jika dirinya yang bermasalah, tetapi saat diperiksa di dokter, keadaannya baik-baik saja, tidak ada masalah.

Sempat Seungyoun berpikir bahwa yang bermasalah sebenarnya adalah Seungwoo. Namun, dengan cepat pemikiran itu ditepis. Karena Seungwoo yang sempurna itu tidak mungkin mengalami gangguan reproduksi dan dari apa yang diamatinya selama ini, Seungwoo tidak menunjukkan satu pun gejala yang dibacanya dari jurnal kedokteran kalau suaminya mengalami masalah pada reproduksinya.

"Kalian sudah lima tahun menikah, apa tidak ada pemikiran untuk memiliki anak?" pertanyaan ini Seungyoun sudah seringkali dengar di setiap pertemuan keluarga besar Seungwoo. Seungyoun hanya bisa tersenyum, meski hatinya merasa teriris setiap mendengar pertanyaan ini, karena sesungguhnya bukan mereka tidak berusaha. Seungwoo tidak memberikan respon apa pun, tersenyum saja tidak dan Seungyoun mengerti, karena pasti lelah mendengar pertanyaan ini setiap bertemu dengan keluarga besarnya. Hanya saja, tante Seungwoo sepertinya tidak sadar atmosfer tidak enak dari keduanya dan justru menyiram bara dengan minyak. "Jangan ditunda-tunda memiliki momongan. Atau ada salah satu dari kalian yang bermasalah?"

Cukup. 

Seungyoun rasanya ingin membuka mulut dan bilang kalau mereka berdua baik-baik saja. Namun, perkataan Seungwoo membuat Seungyoun bungkam dan mati-matian menahan diri untuk tidak menitikkan air matanya.

"Mungkin Seungyoun ada masalah, karena belakangan ini sering ke rumah sakit."

Han Seungwoo ... suaminya menyalahkan Seungyoun di depan keluarga besarnya. Setelah perkataan itu, beberapa orang dari keluarga Seungwoo entah kenapa bergabung dan menghakimi Seungyoun yang mereka duga bermasalah. Seungyoun ingin membantah, tetapi melirik Seungwoo untuk meminta persetujuan agar mereka tidak bertengkar di rumah nanti. Namun, hati Seungyoun hancur saat Seungwoo bahkan tidak mau memandangnya dan menatap ke arah lain.

Seungyoun hanya berharap pertemuan ini segera berakhir dan bisa pulang ke rumah secepat mungkin. Menangis di pojok favoritnya di perpustakaan karena merasa suaminya pun juga sudah menyerah terhadapnya.

***

Hal yang Seungyoun sadari semenjak pertemuan keluarga tempo hari adalah Seungwoo pulang semakin larut. Awalnya, dia pikir karena akhir bulan, wajar suaminya bekerja lembur. Namun, Seungyoun mulai merasa tidak beres saat awal bulan pun, Seungwoo tetap pulang tengah malam. Seungyoun seringkali tertidur di kursi hingga pagi, membuat padannya pegal karena posisi yang tidak nyaman dan menyadari jika Seungwoo sudah di rumah.

Seungwoo tidak pernah seperti ini sebelumnya. 

Suaminya yang Seungyoun kenal adalah lelaki terbaik dan penuh kasih. Seungwoo akan selalu bilang jika dirinya lembur dan jika Seungyoun tetidur di sofa karena menunggunya pulang, lelaki itu akan memindahkannya ke kamar. Seungwoo juga mulai menyadari jika tatapan Seungwoo kepadanya tidak seperti biasanya yang hangat. Tatapannya berubah menjadi dingin, seolah mereka adalah orang asing yang bermain rumah-rumahan. 

Tatapan yang sama diberikan kepada Seungyoun saat dulu mereka berkenalan pertama kali dan Seungyoun merasa hatinya sakit karena menyadari perubahan itu.

Apa kehadiran seorang anak di antara mereka sebegitu pentingnya hingga mampu membuat Seungwoo berubah sedingin ini?

"Sayang," panggil Seungyoun yang tidak dijawab oleh Seungwoo. Membuat Seungyoun hanya bisa tersenyum, meski hatinya rasa sakit teriris, "hari ini apa akan lembur lagi?"

"Ya."

"Pulangnya jam berapa? Biar aku siapkan...."

"Seungyoun," perkataannya dipotong dan saat tatapan keduanya bertemu, entah kenapa Seungyoun merasa dunianya akan runtuh. Ternyata benar, karena yang didengarnya adalah..., "mari kita bercerai. Mari berhenti saling menyakiti."

Seungyoun menguatkan diri untuk tidak terjatuh karena terkejut dengan perkataan Seungwoo. Apalagi setelah mengatakan itu, Seungwoo berlalu begitu saja dan tidak duduk di meja makan untuk sarapan. Bunyi pintu yang di tutup membuat Seungyoun tidak bisa menahan tubuhnya lebih lama lagi dan berakhir terduduk di lantai. Air matanya yang sejak tadi ditahan mati-matian, mengalir begitu saja. Membuatnya terisak dan setelah akhirnya bisa menenangkan diri, Seungyoun menuju kamar. Mengambil koper untuk membereskan barang-barangnya dan dengan tangan gemetaran, dia memesan taksi online agar menjemputnya. Mengantarkannya kembali ke rumah orang tuanya (meski sekarang rumah itu tengah disewa oleh dokter kandungan yang dikunjungi Seungyoun dalam beberapa bulan terakhir karena kedua orang tuanya sudah meninggal sejak lama).

"Pak, bisa ubah tujuannya tidak?" tanya Seungyoun yang tidak mau mempedulikan tatapan yang diberikan supir taksi kepadanya. "Saya harus mengantarkan kunci kepada seseorang, nanti uang tarifnya akan saya tambah."

Setelah berpuluh menit yang terlewati (yang rasanya bagi Seungyoun seperti selamanya), akhirnya dia tiba di kantor suaminya. Semua orang tampak terkejut dengan kehadirannya dan entahlah bagaimana penampilan Seungyoun, dia tidak peduli. Namun, Seungyoun terpaku di tempatnya saat melihat Seungwoo tertawa dan menggandeng orang yang paling dikenalnya. Orang yang dianggap seperti saudara sendiri karena dia mengenalnya sejak SMA sampai kuliah. Orang yang Seungyoun bantu untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan Seungwoo meski dia terlambat lulus.

Keduanya sepertinya tidak sadar dengan kehadiran Seungyoun dan dia juga tidak ingin membuat drama dengan menghampiri keduanya. Setidaknya, sekarang semuanya sudah jelas. Alasan Seungwoo meminta untuk bercerai, karena dia sudah menemukan kebahagiaan baru di belakangnya. Bersama dengan orang yang dianggapnya seperti saudara.

"Tolong berikan ini kepada Seungwoo," Seungyoun memutuskan untuk menghampiri meja resepsionis. Memberikan senyuman karena dia melihat tatapan resepsionis kepadanya yang terlihat seperti mengasihaninya, "serta tidak perlu memberikan tatapan seperti itu kepadaku. Sebentar lagi kami juga akan berpisah."

Setelah itu, Seungyoun berbalik dan dia sempat mendengar kata maaf dari resepsionis yang dititipi kunci rumah. Padahal yang seharusnya meminta maaf adalah dua orang yang dilihatnya, bukan orang lain dan Seungyoun tidak bisa menahan diri untuk menangis di dalam mobil taksi yang akan mengantarkannya ke rumah orang tuanya. Biar saja supirnya kebingungan, Seungyoun justru lebih berterima kasih dianggap aneh daripada diberikan tatapan kasihan oleh orang-orang.

***

"Seungyoun?" panggil Seungsik saat dia baru pulang dari rumah sakit dan hari sudah senja. "Kamu kenapa di sini? Loh ... kenapa ada banyak koper?"

"Aku pergi dari rumah."

"Apa?"

"Aku juga akan bercerai dengan suamiku." Seungyoun menjelaskan tanpa ekspresi. Matanya pedih karena digunakan untuk menangis sepanjang hari dan Seungsik memberikan tatapan yang sejujurnya tidak bisa Seungyoun terjemahkan. "Jadi ... apa aku boleh menumpang tinggal di sini? Aku akan mengembalikan biaya sewamu kalau mengizinkanku untuk tinggal."

"Tidak perlu dikembalikan," Seungsik menyahut cepat, "tapi aku kaget karena kamu datang mendadak. Aku belum membereskan rumah ... jadi tolong jangan kaget betapa berantakannya di dalam."

Seungyoun mengangguk sebagai jawaban dan Seungsik membuka pintu rumah dengan kunci yang ada di sakunya. Membawakan koper Seungyoun dan membiarkan lelaki yang statusnya sebagai yang punya rumah berjalan lebih dahulu. Berhenti di satu pintu kamar yang merupakan kamar tamu bagi Seungsik dan dia membuka pintunya. Seungsik tahu itu kamar Seungyoun karena bagian dalamnya ada beberapa foto lelaki itu dan dia tidak mengubah apa pun yang ada di dalamnya karena ... mungkin berharap suatu hari nanti pemilik kamar akan datang untuk tinggal.

Seharusnya itu pemikiran terliar Seungsik, bukan hal yang menjadi kenyataan. Seungsik tidak akan bertanya kepada Seungyoun sebabnya berada di sini secara rinci, karena dia menghargai privasi lelaki itu. Seungsik keluar dari kamar Seungyoun untuk memasak makan malam. Namun, satu jam berlalu sejak Seungsik berada di dapur, Seungyoun tidak keluar dari kamarnya. Membuat Seungsik khawatir dan mengetuk pintu kamar, tetapi tidak ada respon. Seungsik memutuskan untuk membuka pintu, hanya untuk menemukan Seungyoun berada di lantai dan ada aliran darah yang membuatnya berusaha untuk tidak panik.

Seungsik segera memeriksa tubuh bagian mana yang mengeluarkan darah dan terdiam saat menyadari sumbernya dari mana. Seungsik mengangkat tubuh Seungyoun dan membawa ke mobil, untuk dibawa ke rumah sakit. Seungsik tidak mau menduga, tetapi kalau dugaannya benar, maka seharusnya Seungyoun tengah hamil.

Seharusnya kalau itu memang yang terjadi, Seungyoun bisa kembali rujuk dengan suaminya.

***

Perceraian Seungyoun dan Seungwoo seperti kedipan mata. Seungyoun juga tidak memberitahukan Seungwoo bahwa dirinya tengah hamil karena sudah tidak punya rasa percaya kepada suaminya itu. Dia sudah melihat sendiri bahwa suaminya berselingkuh di kantor (dan setelah memaksa Jinhyuk yang merupakan temannya untuk menceritakan semuanya, akhirnya dia tahu jalinan kasih suaminya dan selingkuhannya sudah sejak setengah tahun yang lalu).

Untuk apa Seungyoun memberitahukan Seungwoo bahwa dia memiliki apa yang diinginkan lelaki itu? Untuk membuatnya tetap berada di sisi Seungyoun, sementara kepercayaan mereka sudah tidak ada dan hanya akan membuatnya terluka di kemudian hari karena tidak bisa memaafkan perselingkuhan ini?

"Youn, kamu gak perlu pergi," Seungsik menatap Seungyoun yang tengah melipat baju-baju kering di ruang tamu, "aku gak keberatan kamu berada di sini. Lagipula, kandunganmu lemah dan kalau kamu pingsan seperti waktu itu dan tidak ada siapa-siapa bagaimana?"

"Tapi aku merepotkanmu, Siki," Seungyoun tidak tahu panggilan itu bisa membuat Seungsik senang. Kebiasaan Seungyoun yang mengubah nama seseorang karena tidak mudah mengingat nama seseorang, "lagipula aku tidak enak denganmu yang diterpa kabar tidak mengenakkan soal keberadaanku di sini."

"Aku tidak peduli." Seungsik memilih duduk di samping Seungyoun dan membantu melipat baju. "Ini rumahmu dan aku juga tidak sering berada di rumah, kecuali malam hari. Selama aku dan kamu yang tahu cerita yang sebenarnya, itu lebih dari cukup."

"Bagaimana perasaan orang yang kamu cintai itu kalau tahu kamu tinggal dengan duda yang baru bercerai dengan suaminya?" pertanyaan Seungyoun itu tidak dijawab oleh Seungsik.

Tadinya Seungyoun ingin menanyakan kenapa pertanyaannya tidak ada jawaban, tetapi Seungsik tiba-tiba pergi. Lalu tidak lama kemudian kembali dengan kertas-kertas yang tidak diketahuinya untuk apa. Saat Seungsik memberikan kepada Seungyoun, barulah dia tahu itu adalah jurnal-jurnal tentang kehamilan. Seungyoun ingin mengatakan terima kasih, tetapi dirinya malah menangis dan Seungsik mengusap pelan kepalanya.

"Gapapa, nangis aja." Seungsik tetap mengusap pelan kepala Seungyoun. "Besok jangan lupa ke rumah sakit, kamu harus konsultasi ke psikiatri soal obatmu dan aku akan menyesuaikan untuk obatmu serta jadwal makanmu."

"Seungwoo...," Seungyoun mengutuk mulutnya yang masih bisa menyebutkan nama itu padahal dia menyakitinya sedalam itu, "dia mungkin berhenti mencintaiku karena aku yang begini."

Kepala Seungyoun berhenti diusap, tetapi dia merasakan tubuhnya ditarik untuk ke pelukan Seungsik. Seungyoun harusnya merasa tidak nyaman karena dia tidak begitu dekat dengan Seungsik semenjak lulus kuliah (meski sebenarnya anak kedokteran dan anak teknik mesin harus dipertanyakan bagaimana bisa berkenalan), tetapi kenyataannya rasa aman yang dirasakannya.

Seungyoun merasa aman dan nyaman di dekapan Seungsik.

***
Seungyoun lupa kapan terakhir kali dia merasa bahagia. Terdengar mengerikan, tetapi setelah menikah dengan Seungwoo, yang dilakukannya adalah terus memantaskan diri untuk lelaki itu. Berusaha menjadi bapak rumah tangga yang baik dengan belajar memasak, membereskan rumah dan merawat tanaman serta ikan koi peliharaan Seungwoo. Membuatnya lupa dengan hobi menulisnya, membuatnya keluar dari pekerjaan impiannya karena Seungwoo memintanya untuk sepenuhnya menjadi bapak rumah tangga (yang dulu bodohnya dituruti karena dibutakan oleh cinta).

Setidaknya, Seungyoun masih bisa hidup sampai saat ini karena uang simpanan yang dimilikinya serta uang peninggalan orang tuanya. Meski Seungwoo dipengadilan harus memberikan nafkah kepadanya sebagai bentuk kompensasi, Seungyoun tidak pernah sekali pun menerima uang dari mantan suaminya itu. Seungyoun juga tidak ingin menerimanya jika seandainya mantan suaminya itu menjalankan keputusan pengadilan karena mau sebanyak apa pun uang yang diberikan, tidak bisa mengobati patah hatinya karena dikhianati oleh orang yang pernah menjadi dunianya itu.

"Seungyoun ... apa kamu baik-baik saja?" suara Yohan membuat Seungyoun kembali kepada realitas dan dia teringat sedang berada di ruang psikiatrinya. "Apa yang tengah kamu pikirkan? Apa itu menganggumu hingga kesulitan untuk berkonsentrasi belakangan ini?"

"Aku tidak baik-baik saja," Seungyoun mengakui apa yang dirasakannya, "aku terlalu banyak berpikir dan suasana hatiku selalu terasa depresi. Rasanya aku ingin mati saja daripada melanjutkan hidup, tetapi ingat ada nyawa lain di dalam tubuhku."

"Seungyoun...."

"Rasanya aku adalah orang paling menyedihkan di dunia ini," Seungyoun menghela napas, "aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali berbahagia. Selama ini aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk mantan suamiku, tetapi nyatanya aku tidak seberharga itu di matanya."

Yohan menuliskan sesuatu di buku yang Seungyoun tahu sebagai buku untuk cerita pasien-pasiennya. Seungyoun pernah sekali memprotes kenapa dituliskan di buku karena bisa saja itu dicuri dan Yohan bilang tidak akan mungkin dicuri karena buku itu selalu dimasukkan ke brangkas. Sekaligus buku itu adalah garis besar untuk membantunya menyusun laporan yang harus dimasukkan ke dalam database rumah sakit tentang keadaan pasien yang ditanganinya.

"Jadi, apa yang kamu inginkan, Seungyoun?" Yohan berhenti menulis dan menatap Seungyoun. "Dari seluruh pertanyaanmu di kepalamu, menurutmu apa yang bisa mengurai semuanya?"

"Menulis."

"Ya?"

"Aku ingin kembali menulis," Seungyoun menatap Yohan, "aku ingin kembali mengejar mimpiku menjadi penulis yang dikenal oleh orang-orang."

"Maka lakukanlah," Yohan sekarang menulis di map yang Seungyoun yakin lebih spesifiknya menulis di kertas resep obat, "obatmu kali ini kuganti dan minggu depan, datanglah kemari. Serta aku merujukmu ke obgyn, dokter Seungsik harus menyesuaikan beberapa obat dan mengaturkan pola makanmu."

"Terima kasih, Yohan."

"Terima kasih kepada dirimu sendiri, Seungyoun," Yohan tersenyum dan memberikan map pasien kepada Seungyoun, "karena kamu mau tetap hidup dan menolong dirimu sendiri. Anakmu pasti bangga memiliki ayah sekuat dirimu."

Seungyoun tidak tahu kalau perkataan Yohan tentang anaknya yang bangga memiliki dirinya sebagai ayah bisa membuat suasana hatinya membaik. Membuatnya berpikir bahwa dunia tidak sejahat yang diduganya dan saat mengantri di poli kandungan, dia melihat Seungwoo dan orang yang paling tidak mau ditemuinya lagi. Berada di tempat yang sama dengannya dan Seungyoun memutuskan untuk melarikan diri. 

Jantungnya berdebar tidak karuan dan tubuhnya mendadak lemas. Untung saja kakinya melangkah ke kantin, sehingga dia bisa memesan teh hangat dan menjernihkan pikirannya. Mengirim pesan kepada Seungsik sampai jam berapa poli kandungan buka. Seungsik membalas dengan cepat, bilang bahwa sampai dua jam ke depan polinya masih buka dan Seungyoun menghela napas lega, Mengenggam map berisi riwayat kesehatannya dan menatap sekitarnya.

Seungwoo pasti bahagia karena orang itu bisa hamil dengan cepat. Apalagi dari Jinhyuk, dia mendengar bahwa mereka sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan. Keluarga Seungwoo pasti bahagia karena anak tunggal mereka memiliki pendamping yang langsung bisa memberikan keturunan. Mereka juga pasti bahagia karena pendamping Seungwoo sekarang berkali lipat jauh lebih baik daripada Seungyoun.

Seungyoun akhirnya kembali ke poli kandungan satu jam kemudian. Antrian sudah hampir tidak ada dan tidak perlu menunggu waktu lama untuk masuk. Seungsik yang mengenakan kacamata dengan segera membaca apa yang dituliskan oleh Yohan dan menganggukkan kepala. Dia menjelaskan obat yang diberikan dipastikan tidak akan memberikan dampak buruk bagi bayinya dan Seungsik juga bilang memberikan list makanan yang sebaiknya dimakan dan dihindari selama kehamilannya.

"Dia kemari," Seungyoun padahal sudah menahan diri untuk tidak bertanya tentang Seungwoo, "dan dia kecewa karena hasilnya tidak sesuai dengan ekspetasinya."

"Maksudnya?"

"Hanya itu yang bisa aku beritahukan kepadamu, Seungyoun," Seungsik tersenyum, "ayo di USG. Aku akan minta perawat untuk merekamkan untukmu."

Seungyoun bertanya-tanya kenapa Seungsik memberitahukannya. 

Seungyoun juga bertanya-tanya apakah hal yang didengarnya sesuai dengan apa yang dipikirkannya? 

Namun, ada satu hal yang Seungyoun ketahui, dia bahagia melihat janin yang ada di dalam tubuhnya bergerak dan dalam beberapa bulan lagi akan menyapa dunia. Menjadi anaknya dan Seungyoun akan mempersiapkan jawaban terbaik untuk anaknya jika kelak bertanya di mana ayah satunya lagi berada.

***

Bulan berlalu dengan cepat dan hari ini adalah hari kelahiran anaknya. Seungyoun tidak punya siapa-siapa dan merasa beruntung setidaknya menuruti perkataan Seungsik untuk tetap tinggal dengannya. Jinhyuk, Yohan dan Hangyul datang untuk menungguinya dan membuat Seungyoun merasa masih ada orang yang menyayanginya. Seungsik tentu menjadi dokter yang menanganinya dan Seungyoun percaya dengan lelaki itu tidak akan melakukan hal yang berbahaya baginya.

"Seungyoun," panggil Seungsik yang menggunakan pakaian operasi karena bayi Seungyoun sungsang dan satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah melahirkan secara caesar, "kamu telah melakukan yang terbaik."

Seungyoun mendengarnya hanya tersenyum. "Harusnya itu yang aku katakan kepadamu, Siki."

Seungsik tersenyum dan mengenggam sebelah tangan Seungyoun yang tidak terpasang infus. Seungyoun baru saja disuntik obat bius dan sebentar lagi lelaki itu tidak akan merasakan sakitnya operasi. Seungsik merasakan genggamannya dibalas oleh Seungyoun dan merasa lebih baik mengatakan ini sebelum dia menyesal.

"Seungyoun."

"Ya, Siki?"

"Aku mencintaimu," Seungsik memberikan jeda, kemudian mengusap kepala Seungyoun, "aku hanya ingin mengatakannya, jangan dipikirkan."

Seungyoun mendadak merasa linglung mendengar perkataan Seungsik. Ingin mengatakan sesuatu, tetapi bibirnya sudah kaku karena efek bius dan Seungyoun tidak tahu apa yang didengarnya tadi karena efek obat atau memang hal yang sebenarnya terjadi. Seungyoun tidak ingat apa yang terjadi setelahnya, karena saat dirinya benar-benar sadar, dia sudah berada di ruangan dan bayinya berada di pelukannya. Matanya terpejam dan rambutnya lebat, membuat Seungyoun tersenyum. Mencium kepala anaknya dan Seungyoun merasa menjadi orang paling bahagia di muka bumi ini. Rasanya sekarang di dunia ini hanyalah ada Seungyoun dan bayinya.

"Seungyoun," panggilan itu membuatnya mencari sumber suara dan ternyata Seungsik. Sudah tidak menggunakan pakaian operasi dan tidak menggunakan jas dokternya. Seungyoun teringat dengan perkataan Seungsik sesaat sebelum masuk ke ruang operasi, tetapi kepalanya menolak bahwa itu yang Seungsik katakan untuknya, "terima kasih karena sudah berjuang untuk melahirkan Cho Eunsang ke dunia."

"Kang Eunsang," koreksi Seungyoun yang membuat Seungsik menatap Seungyoun tidak percaya, "apa aku boleh memintamu menjadi ayah angkatnya Eunsang?"

Seungsik tersenyum dan Seungyoun merasa dia belum pernah melihat senyuman lelaki itu selebar itu, sampai membuat matanya tenggelam karena tersenyum.

"Tentu aku tidak keberatan, Seungyoun."

Sebenarnya Seungyoun ingin berkata bahwa dia mungkin juga mencintai Seungsik. Namun, dia takut bahwa yang didengarnya hanyalah halusinasi. Seungyoun juga terlalu takut untuk memulai lagi karena merasa dirinya belum cukup berharga untuk berada dalam suatu hubungan.

***

Seungyoun bahkan sudah tidak mengingat Seungwoo saat dirinya bertemu dengan mantan suaminya itu di supermarket. Seungyoun mengutuk kenapa dari semua hari yang bisa membuat keduanya bertemu, kenapa harus hari di mana dia membawa Eunsang berbelanja bersamanya?

"Pia ... Pia...," Eunsang tidak pernah bisa memanggilnya dengan panggilan papski, (tapi anehnya dengan Seungsik, Eunsang dengan lancar memanggil ayah yang membuatnya mendiamkan lelaki itu selama tiga hari karena sebal), lalu menatap Seungwoo yang wajahnya memucat, "pa?"

"Om," koreksi Seungyoun sembari mengusap kepala Eunsang yang membuat Eunsang yang baru 11 bulan, memejamkan matanya sembari tersenyum, lalu membuka matanya dan menatap Seungwoo. 

"Om." Eunsang menunjuk Seungwoo dengan brokoli di tangannya. "Ommo."

"Om." Seungyoun tertawa dengan perkataan Eunsang sekaligus mengoreksi perkataan anaknya, melupakan bahwa dihadapannya adalah Seungwoo, mantan suaminya. Ayah dari Eunsang yang keberadaannya tidak dia beritahukan. "Eunsang, boleh minta brokolinya? Papski hanya beli dua, tidak tiga."

"Pia," Eunsang memberikan brokoli yang dipegangnya dan Seungyoun memberikan brokoli yang sudah masuk ke troli belanjaan untuk anaknya pegang. Eunsang tertawa melihat brokoli, lalu menatap bingung kepada Seungwoo yang menangis. "Om ... Pia ... Om...."

Seungyoun juga sejujurnya tidak menyangka akan melihat mantan suaminya menangis. Rasanya dari berbagai skenario yang dibayangkan Seungyoun saat bertemu dengan Seungwoo, menangis melihat Eunsang adalah hal yang tidak ada dalam bayangannya. Jangankan membayangkan, dipikirkan saja rasanya tidak mungkin.

"Seungyoun ... apa dia...?" Seungwoo menatap Eunsang, kemudian menatap Seungyoun. "Apa dia ... anakku?"

"Bukan, dia anakku." Seungyoun tidak mengerti kenapa refleks mulutnya mengatakan seperti itu, padahal sebenarnya Seungyoun berencana akan memberitahukan mantan suaminya itu tentang keberadaan Eunsang jika sudah masuk TK. "Aku kan bermasalah, mana mungkin bisa mengandung anakmu."

Seungyoun tersenyum, meski sebenarnya hatinya merasa sakit mengatakan hal itu. Nyatanya rasa sakit itu masih ada dan Seungyoun merasa tidak baik jika terus berada satu ruangan dengan Seungwoo.

"Aku duluan ya, Seungwoo. Maaf aku gak bisa kasih tisu, soalnya aku cuma punya tisu basah untuk Eunsang." Seungyoun mengatupkan tangannya dan bergegas mendorong troli belanjaannya pergi dari area sayuran.

Sepanjang sisa hari itu, Seungyoun merasa bersalah karena melakukan hal itu kepada Seungwoo. Meski bagaimanapun, Eunsang adalah anaknya Seungwoo dan Seungyoun pikir jika dia bisa membalas rasa sakit hatinya kepada mantan suaminya, dia akan bahagia. Ternyata salah, Seungyoun tidak setega itu kepada orang yang pernah dicintainya itu semenjak masa kuliah hingga satu setengah tahun yang lalu.

"Om ... Ommo...," Eunsang menunjuk-nunjuk gambar yang tengah menangis dan Seungsik yang memangku Eunsang untuk menemaninya membaca, menatap Seungyoun, meminta penjelasan. Seungyoun tadinya ingin menyembunyikan hal ini, tetapi perkataan Eunsang, "Om ... Pia ... Ommo ... Papa."

Seungsik dan Seungyoun hanya bisa saling berpandangan, sementara Eunsang memukul-mukul gambar orang yang tengah menangis sembari mengatakan ommo atau papa. Seungyoun hanya bisa tersenyum getir, karena bahkan anaknya belum mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi, terus merujuk Seungwoo dengan papa. Seolah anak itu tahu jika Seungwoo adalah ayahnya yang sebenarnya.

***

"Seungwoo, sudah berapa kali aku bilang Eunsang bukan anakmu?" Seungyoun tersenyum, sementara Eunsang sudah berada di daycare. Dia menyetujui untuk bertemu dengan Seungwoo karena lelah dengan segala terornya ke HP-nya untuk memastikan bahwa itu anaknya. "Kalau dia anakmu, kenapa aku mau diceraikan olehmu? Coba dipikirkan baik-baik."

"Tapi dia jelas-jelas mirip denganku!" Seungwoo tidak sadar membentak dan Seungyoun hanya tersenyum. Membuat lelaki itu berdeham dan meminum kopinya dengan terburu-buru, kebiasaannya jika sedang gugup. "Aku tahu kamu sakit hati karena aku tidak pernah memberikan uang tunjangan hidup kepadamu, tetapi berbohong bahwa Eunsang bukan anakku apa tidak keterlaluan?"

"Coba cek siapa nama ayahnya? Bukan Han Seungwoo yang tertulis," Seungyoun menyesap green tea latte pesanannya, kemudian memandang lelaki di depannya sembari tersenyum, "lagipula kalau Eunsang anakmu, kamu mau melakukan apa, Seungwoo?"

"Aku...."

"Kalau Eunsang anakmu, kamu juga tidak punya hak karena aku mendaftarkannya dengan nama orang lain sebagai ayahnya." Seungyoun sudah tidak tersenyum dan memandang Seungwoo. "Kamu hanya menyumbang benih, tetapi selebihnya aku yang berjuang sendirian. Kamu tidak punya hak apa pun atas hidup Eunsang, Seungwoo."

Seungyoun menunggu lelaki itu mengatakan sesuatu, tetapi Seungwoo hanya bisa membuka tutup mulutnya tanpa mengeluarkan suara. HP Seungyoun bergetar, menampilkan pesan dari editornya yang menanyakan keberadaannya karena sebentar lagi Seungyoun ada book launching buku terbarunya. Mimpinya untuk menjadi penulis tercapai, bahkan berbonus orang-orang mengapresiasinya sehingga membuatnya terkenal.

"Seungwoo," panggil Seungyoun yang sudah berdiri dari kursinya, "aku harap, kita tidak perlu bertemu lagi. Aku dan Eunsang sudah bahagia berdua dan seandainya dia bertanya siapa ayahnya, aku akan memberitahu kalau ayahnya adalah orang yang namanya kucatut di akte kelahirannya."

"Seungyoun!"

"Oh benar," Seungyoun yang sudah tiga langkah meninggalkan meja, berbalik dan tersenyum, "aku titip salam pada Wooseok ya. Bilang semoga kehamilannya kali ini berhasil, karena aku kasihan dia terus berbohong kalau keguguran kepadamu." 

Setelahnya, Seungwoo berjalan keluar dari cafe. Akhirnya dia lega mengatakan apa yang dipikirkannya dan soal berbohong soal keguguran itu, Jinhyuk yang bercerita kepadanya. Dia tidak tahu jenis hubungan apa yang dijalani oleh Jinhyuk serta Wooseok, tetapi sepertinya Seungwoo tidak tahu apa-apa tentang keduanya. Seungyoun tidak mau menjadi polisi moral, karena itu bukan urusannya. Seungyoun memastikan tetap waras dan merawat Eunsang menjadi manusia yang baik adalah tujuan hidupnya.

Sepulang dari book launching, Seungyoun berbelanja bahan makanan. Hari ini hari ulang tahun Seungsik dan Seungyoun ingin memasakkan sesuatu yang istimewa. Meski rasa-rasanya Seungsik jauh lebih jago memasak daripada Seungyoun. Sejak masa kehamilan sampai Eunsang hadir di antara mereka, Seungsik yang memasak untuknya. Terakhir kali Seungyoun masuk dapur, dia menggores jarinya cukup dalam sehingga membuatnya langsung ditatap tajam jika ke area dapur oleh Seungsik.

Suara mobil yang samar terdengar (karena ruang dapurnya dekat dengan garasi) membuat Seungyoun melihat jam di dinding. Dapur masih berantakan, meski masakan sudah siap di meja makan. Seungsik masuk dari pintu yang menghubungkan ke dapur sembari menggendong Eunsang di bahunya. Lalu menatap heran dengan makanan di atas meja, lalu menatap Seungyoun yang hanya memperlihatkan punggung kepadanya karena sibuk membereskan dapur.

"Pia ... Pia," panggil Eunsang yang membuat Seungyoun menoleh dan tersenyum, "Pia ... pulang."

"Wah anak papski sekarang bisa bilang pulang!" Seungyoun tertawa dan menghampiri Seungsik, meraih Eunsang untuk digendong olehnya. "Eunsang wangi ya. Tadi dimandiin sama miss di daycare ya? Hari ini Eunsang ngapain aja ya? Papski belum baca laporan miss di WA, tapi pasti seru kan?"

Seungsik ditinggalkan begitu saja karena kebiasaan Seungyoun begitu bertemu dengan Eunsang adalah bercerita. Meski Eunsang hanya merespon seadanya karena keterbatasan kata, tetapi Seungyoun selalu memastikan dia bercerita dengan anaknya. Seungsik juga ikut bergabung, tetapi setelah dia membersihkan diri. 

Tidak terkecuali dengan hari ini, Seungsik bergabung dengan keduanya di ruang tamu untuk bercerita tentang harinya. Seungsik merasa mereka seperti keluarga yang sebenarnya, hanya saja tidak ada status yang sah bahwa mereka keluarga. Lebih tepatnya, status Seungsik dan Seungyoun yang entah sebenarnya apa. Karena mereka selalu menghindar jika berbicara tentang komitmen, mengalihkan dengan membicarakan Eunsang.

Seungsik tidak butuh hadiah mewah untuk hari ulang tahunnya. Cukup Seungyoun tidak menghindar jika dia membicarakan komitmen dan itu lebih dari cukup.

"Siki, ayo makan," Seungyoun mendekap Eunsang yang sudah tertidur, "kamu duluan aja, aku taruh Eunsang di kamar dulu."

"Aku ikut."

"Gapapa, makan duluan aja," Seungyoun tidak memandang Seungsik karena melangkah ke kamarnya dan Seungsik mengikuti di belakangnya. Kamar Seungyoun yang beraroma bayi yang membuat Seungsik hanya bisa menghela napas, karena sewaktu Seungyoun hamil besar, mereka sekamar lantaran dia terlalu khawatir sesuatu terjadi saat dirinya terlelap. Begitu meletakkan Eunsang di tempat tidur bayi, Seungyoun agak kaget melihat kehadiran Seungsik dan ingin protes, tetapi Seungsik meletakkan telunjuknya di bibir. Setelah keduanya di luar kamar, bahu Seungsik dipukul yang membuat lelaki itu mengaduh, tapi Seungyoun tertawa, "aku udah bilang makan duluan aja. Batu deh."

"Aku maunya kita makan bareng."

"Kenapa deh segitunya kepengen makan bareng sama aku?"

Karena Seungsik mencintai Seungyoun dan ingin mereka makan malam seperti keluarga. "Soalnya kalau masakanmu aneh, aku bisa langsung protes di depan wajahmu."

"Sialan," Seungyoun tertawa, "tapi masuk akal juga sih. Kamu kan jago masak, aku mah apa dibandingkan skill memasakmu."

Sebenarnya Seungsik juga tidak akan sampai hati untuk mengkritik masakan Seungyoun. Dia tidak pemilih dalam memakan apa pun, tetapi masakan adalah hal yang terpikirkan dikepalanya agar bisa menjadi alasan untuk sikapnya ini. Namun, Seungsik tidak menduga jika Seungyoun mengeluarkan seloyang puding dan meletakkan lilin kecil di atasnya. Tidak menduga Seungyoun masih mengingat kalau dia tidak begitu suka kue ulang tahun. Seungsik lebih suka puding karena tidak ada krimnya dan kemungkinan kecil makanan itu akan berakhir mengotori mukanya.

"Buset, masih ingat aja omonganku waktu itu?" tawa Seungsik yang membuat Seungyoun tersenyum.

"Iya dong, aku anaknya cuma cemen mengingat nama doang," tawa Seungyoun dan saat Seungsik meniup lilinnya, tanpa sadar Seungyoun berkata, "termasuk ingat kamu pernah bilang cinta padaku."

Jemari Seungsik yang tadinya hendak mencabut lilin di atas puding, terhenti. Memandang Seungyoun yang juga tampak terkejut, kemudian wajahnya berubah panik. Dia tampak ingin menjelaskan, tetapi kata yang keluar dari mulut Seungyoun hanya, "itu ... maksudku ... ah udahlah, lupakan aja. Itu pasti cuma pengaruh obat bius. Aku pasti halu...."

"Kamu gak halusinasi, Seungyoun," perkataan Seungsik membuat Seungyoun membeku. Menatap Seungsik yang sebelah tangannya terarah ke puncak kepala Seungyoun untuk diusap pelan, "aku memang mengatakannya."

Seungyoun memandang Seungsik, kehilangan kata. Selama beberapa saat, keduanya hanya saling tatap, sampai akhirnya Seungyoun berkata, "kenapa?"

"Aku sudah mencintaimu sejak lama," tangan Seungsik yang berada di puncak kepala Seungyoun, turun ke pipi lelaki itu untuk mengusap air matanya, "mungkin bisa dibilang aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama? Satu hal yang jelas, aku terus mencintaimu meski kamu tidak tahu, meski kamu bersama orang lain yang ternyata menyakitimu."

"Tapi ... tapi aku...."

"Aku tidak peduli masa lalumu seperti apa, Seungyoun," Seungsik tersenyum, "aku juga tidak peduli bagaimana riwayat kesehatanmu, karena aku mencintaimu."

Seungyoun kesal kepada dirinya sendiri yang tidak bisa menghentikan air matanya untuk terus turun. Dia tidak tahu perasaan Seungsik selama dan sedalam itu kepadanya. Seungyoun juga merasa tidak pantas untuk menerimanya karena....

"Seungyoun, jangan menganggap dirimu tidak pantas," perkataan Seungsik membuat Seungyoun terisak dan kesulitan bernapas. Merasakan jemari Seungsik yang mengusap pipinya, menyeka air matanya yang terus turun tanpa tahu diri, "aku tidak akan memaksamu untuk menerimaku, tapi aku hanya meminta untuk jangan pergi meninggalkanku."

Seungyoun tidak tahu bahwa dirinya yang seperti ini masih bisa dicintai oleh seseorang sebegininya. Seungyoun takut merusak suasana, jadi yang bisa dia lakukan hanyalah menganggukkan kepalanya. Membuat Seungsik tersenyum dan mencium singkat keningnya.

"Kita begini saja tidak apa-apa. Kita bisa memulai semuanya dari awal."

"Aku ... aku mau."

"Ya?"

"Kalau kamu mau kita menikah ... aku mau."

Seungyoun tidak tahu efek perkataannya bisa membuat Seungsik yang dikenalnya selalu tenang dan bisa mengendalikan ekspresinya, memasang ekspresi bodoh. Juga membuat Seungyoun ditarik ke dalam pelukannya dan merasakan aman di dalam dekapan lelaki itu.

Untuk kali ini saja, Seungyoun ingin percaya bahwa dia juga pantas mendapatkan akhir bahagianya.
Read More