Saturday, September 5, 2020

Bertemu Kembali dengan Orang yang Tidak Diinginkan




Wooseok sebenarnya tidak ingin pergi mengisi acara demo makeup di sebuah perusahaan migas. Namun, sialnya atasannya mau Wooseok yang pergi, karena dia termasuk salah satu promoter terbaik yang dimiliki perusahaan karena keahlian meriasnya serta menjual produknya yang tidak diragukan. Bukan hal yang baru kalau Wooseok bisa menjual produk senilai jutaan hanya dalam waktu beberapa jam di suatu acara dan menjadikan orang-orang sebagai pelanggan tetap perusahaan. Keahilan yang tidak semua orang miliki, meski yang sudah bergolongan senior sekali pun.

Hanya saja, Wooseok tidak ingin pergi karena di sana kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya sangatlah besar. Lagipula kantor yang isinya mayoritas laki-laki memangnya butuh demo makeup? Sepertinya mereka lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau saintifik (yang sebenarnya setengah imajiner lantaran menerka-nerka kemungkinan beberapa tahun yang akan datang padahal hari esok saja tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi).

"Muka kenapa kusut banget?" Sejeong yang menjadi partner-nya hari ini menyadari sikap Wooseok yang anomali. "Biasaan lo paling semangat kalo udah nyamperin kantor-kantor karena bonusnya gede."

"Gue lebih milih gak dapat bonus bulan ini daripada harus pergi ke kantor PDX."

"Anjir, bonus lo itu dua kali lipat dari gaji dan lo mau lepas?!" Sejeong menatap Wooseok tidak percaya. "Eh ngaku lo siapa? Mana mungkin teman gue yang pencinta uang ini mendadak jadi rela dapat gaji upah minimum dari kantor."

Wooseok tidak menjawab dan memilih melengos. Mau pergi juga sudah terlambat, karena mobil yang mengantarkan mereka sudah tiba. Sejeong sudah mengambil kursi di depan, bersebelahan dengan supir dan membuat Wooseok tidak punya pilihan.

Tidak banyak orang yang tahu kalau Wooseok sebenarnya sarjana teknik perminyakan, bahkan Sejeong yang dekat dengannya sekali pun. Namun, alasannya berakhir menjadi promoter makeup brand terkenal lantaran dia muak dengan semua usahanya selama di bangku kuliah tidak dihargai. Mentalnya juga tidak bagus untuk bekerja di tempat yang tingkat stressnya tinggi, jadi ijazah sarjananya hanyalah tersimpan rapi di map. Sementara yang digunakannya untuk bekerja adalah ijazah SMA-nya.

"Wow Seok, lobinya aja sekeren ini?!" Sejeong bersemangat melihat sekitar, sementara Wooseok membawa kotak makeup profesional untuk dipajang di tempat demo serta kardus yang membawa produk untuk dijual. Sejeong menoleh dan berkaca pinggang saat melihat apa yang Wooseok lakukan. "Eh, lo napa gak minta gue bantuin sih? Kebiasaan banget merasa bisa bawa semuanya sendirian."

"Lo cewek, gak perlu bawa yang berat-berat."

"Please ya ini udah abad dua puluh satu dan gak usah kotak-kotakin cewek dan cowok harus ini itu. Sini kotaknya, gue punya tenaga buat bawa."

Wooseok membiarkan Sejeong mengambil kotak-kotak yang dibawanya dan saat menunggu lift, Sejeong menjawab telpon yang sepertinya dari atasan mereka yang menyakan keberadaan keduanya. Atasannya ini memang selalu datang lebih awal dari semua orang dan seringkali marah-marah sendiri karena menurutnya terlalu lama menunggu. Padahal mereka tidak terlambat sampai di tempat dan siapa yang menyuruh untuk datang dua jam lebih awal dari waktu acara akan dimulai?

"Kalian berdua...," Wooseok menahan diri untuk tidak melengos saat meliha dan mendengar suara atasannya saat pintu lift terbuka di lantai yang mereka tuju, "apa gak bisa datang lebih awal? Mau buat saya malu apa gimana?"

Wooseok dan Sejeong memilih diam, karena mereka sudah terlalu malas untuk berdebat. Dulu mungkin mereka akan menyahut, tetapi akan terlalu banyak menghabiskan energi sehingga membuat suasana hati menjadi buruk. Jadi lebih baik keduanya diam dan mengikuti langkah atasannya yang menuju suatu ruangan yang cukup luas.

Ruangan itu dalam sekali lihat juga tahu kalau merupakan ruang pertemuan. Sejeong meletakkan kotak yang dibawanya dan keluar dari ruangan, untuk kembali ke bawah mengambil barang-barang yang masih ada di mobil. Wooseok sendiri membuka kotak makeup profesional yang berwarna hitam yang pinggirnya berwarna ungu (lantaran warna logo perusahaan mereka ungu). Tidak peduli dengan atasannya yang berusaha sok akrab dengan entah siapalah itu dan bukannya membantu Wooseok dengan mengeluarkan isi kotak yang dibawa Sejeong untuk ditata di atas meja.

"Wooseok?" suara itu membuatnya menoleh, lalu merasa tubuhnya membeku saat kemungkinan yang dipikirkannya menjadi kenyataan. Orang yang dikenalnya melihatnya dan menatapnya dengan heran. "Kamu kenapa ada di sini?"

"Mas kenal dengan Wooseok?" Bosnya justru malah mempertegas bahwa dirinya memang Wooseok dan rasanya ingin dirinya pergi meninggalkan tempat tanpa memandang ke belakang. Namun, kasihan Sejeong sendirian dan iya, uang gajinya terlalu sayang untuk dibuang. "Dia salah satu promoter terbaik di perusahaan kami. Kemampuan meriasnya juga jangan diragukan, pokoknya kami membawa yang terbaik kemari."

Lelaki itu tidak mengatakan apa pun dan Wooseok memutuskan untuk kembali merangkai kotak makeup profesional agar bisa berdiri dengan kaki-kaki yang telah ada. Pura-pura tidak mendengar ocehan bosnya dan pura-pura tidak menyadari bahwa punggungnya ditatap dengan intens oleh orang yang tidak ingin Wooseok temui.

Benar saja, tidak banyak perempuan yang berada di ruangan saat acara dimulai. Bosnya tampak tidak senang, sementara Wooseok dan Sejeong pura-pura saja tidak menyadarinya. Beberapa promoter lainnya yang datang belakangan, terlihat membantu para perempuan yang mencoba mengikuti panduan merias yang diperagakan oleh Wooseok serta Sejeong.

Saat acara berakhir dan seperti biasanya, Wooseok dengan keahliannya, berhasil menjual produk-produk mahal kepada peserta. Sejeong saja takjub dengan keentengan para peserta yang membeli produk perusahaan mereka langsung satu set seolah harganya tidaklah mahal.

"Seok, emang beda ya kelas cewek yang duitnya dollar. Belanjanya kaga mikir."

"Baguslah, bonus kita bisa banyak bulan ini." Wooseok menjawab seadanya karena dia sibuk melucuti kaki-kaki kotak makeup profesional perusahaan. Bosnya entah di mana dan sudah bukan pemandangan yang mengherankan, karena dia memang selalu datang pertama dan pergi paling pertama juga.

Agak mengherankan orang seperti ini bisa menjadi bos mereka. Namun, memangnya sejak kapan dunia adil?

Keadilan sosial hanya ada di tulisan Pancasila sila ke lima.

Wooseok dan Sejeong menunggu pintu lift terbuka. Semua orang sudah pergi dan meninggalkan keduanya yang paling terakhir untuk meninggalkan tempat. Namun, Wooseok tidak bisa menahan diri untuk tidak melengos saat kembali melihat lelaki yang tadi sempat memanggil namanya ada di dalam lift. Sejeong tentu menatap Wooseok heran, tetapi keduanya melangkah masuk ke dalam lift.

Setidaknya kabar baiknya saat demo makeup seperti ini adalah begitu acara selesai, Wooseok bisa langsung pulang. Dia butuh bantal benyeknya dan kasurnya untuk mengistirahatkan diri dan untuk tidak salty akan ketidak adilan hidup yang dialaminya lantaran bertemu dengan temannya sewaktu kuliah.

"Wooseok." Panggilan itu sengaja dia abaikan, meski Sejeong menyikutnya sembari melirik ke belakang. "Kim Wooseok, jangan pura-pura tidak mengenali saya."

Wooseok tetap abai, tetapi Sejeong yang justru heboh menyikutnya dan tentu saja membuat lelaki itu meringis karena sakit. Namun, Sejeong justru berbisik, "Ucok, lo kenal sama masnya yang kayak galah ini?"

"Wooseok, kita teman sekampus."

Cukup. 

Wooseok menoleh dan menatap lelaki itu tajam. "Kenapa manggil gue? Mau hina gue karena kerjaan gue sekarang kayak gini?"

"Wooseok, saya bahkan...."

"Shut up, cheater!" Wooseok mendesis kesal dan pintu lift terbuka. Melangkah dengan cepat keluar dari lift yang membuat Sejeong harus setengah berlari mengejar Wooseok.

Begitu sampai di mobil, Sejeong yang napasnya tersengal langsung memukul lengan Wooseok. "Lo kenapa sih?! Dari pagi udah aneh, terus pas masnya tadi manggil lo malah disinisin begitu?"

"Gak apa-apa."

"Lo pikir gue baru kenal lo sehari?" hardik Sejeong dan bersedekap. "Lo pikir gue gak tahu kalau lo sebenarnya anak sarjana teknik yang masuk ke perusahaan malah dengan modal ijazah SMA? Dia teman lo 'kan?"

"Mantan teman," sahut Wooseok, meski sebenarnya kaget dengan fakta kalau Sejeong tahu latar belakang pendidikannya, "tahu dari mana lo gue sarjana?"

"Waktu demo makeup di mall, ada customer yang kenalin lo dan bilang kaget lihat lo kerja beginian." Sejeong menutup pintu belakang mobil dan keduanya berjalan bersisian menuju pintu mobil. "Terus bilang buat apa kuliah jadi sarjana teknik perminyakan kalau akhirnya cuma jadi sales makeup doang?"

Wooseok mendengarnya langsung teringat suatu momen dan menyipitkan matanya menatap Sejeong. "Jangan bilang kejadian yang bikin lo jadi keliling ke daerah susah jualan itu gara-gara berantem sama customer itu?"

"Ya gue marahlah kerjaan kita diremehkan!" Sejeong masuk ke dalam mobil yang pintunya Wooseok bukakan untuknya. Setelah Wooseok tutup dan membuka pintu mobil belakang untuk dirinya, Sejeong menoleh ke arahnya dari bangku depan. "Emangnya apa salahnya kalau kita jadi sales? Seengaknya kita kerja dengan cara yang baik. Kita bantu orang untuk menjadi lebih cantik. Emangnya dia kalau beli makeup kalau gak ngandelin kita bisa nemu shade yang pas?"

"Tapi waktu itu bonus lo dikit banget, Jeong." Wooseok melengos. "Lo bahkan cuma makan indomie hampir tiap hari selama sebulan karena uang buat dikirim ke keluarga di kampung kurang. Kalau bukan gue yang bawa double bekal buat lo, udah alamat masuk ER."

"Ih kok gue malah dimarahin sih?! Gue bela lo tahu!" Sejeong menggerutu. "Dan ngomong-ngomong, ER apaan? Mohon maaf nih, english gue agak jongkok ya karena anak kampung."

"Emergency room, UGD bahasa mudahnya."

"Ooh," Sejeong membeo, "eh tapi ngomong-ngomong tadi di lift lo ngomong apa sih?"

"Udahlah, gak perlu tahu," Wooseok menyandarkan punggungnya ke kursi penumpang, "cuma orang gak penting. Lupain aja kejadian hari ini."

Sejeong sebenarnya masih ingin tahu, tetapi ekspresi Wooseok yang tampak kesal membuatnya urung. Wooseok itu seringnya tidak berekspresi yang membuatnya sering dikira melamun, padahal sebenarnya hanya tidak merasa butuh menampilkan suatu ekspresi di wajahnya atau sedang berpikir. Jadi kalau sampai ada ekspresi di wajah Wooseok, berarti ini sesuatu yang cukup penting baginya.

No comments

Post a Comment