You Shall Never Know

Saturday, October 30, 2021

No comments
Content Warning:
Unrequited love. Hurt, no comfort. One-sided love. Inspired by J.Sheon - You'll Never Know.
 
 
 
Setiap orang punya alasannya untuk memilih jalannya. Termasuk Chan yang memutuskan untuk menyendiri daripada menjalin hubungan dengan seseorang yang bukan dipilih oleh hatinya. Karena mengetahui menjadi pengganti seseorang karena tidak bisa bersama orang tersebut pasti menyakitkan. Lebih baik Chan yang merasakan sakit itu sendirian, tidak perlu membawa orang lain yang tidak tahu apa pun, ikut merasakan sakitnya karena tidak memahami situasinya.
 
Kadang kala, Changbin merasa kasihan melihat Chan yang tersenyum, menguatkan Minho bahwa semuanya akan kembali baik seperti sedia kala dan orang yang mengatakan hal itu adalah pembohong paling ulung sehingga semua orang percaya dengan hal tersebut.
 
Ralat, hampir semua orang.
 
Changbin dan Felix jelas tahu bahwa Chan terlalu banyak membangun kebohongan tentang Minho. Itu membuat mereka berdua sejujurnya kesal sendiri dan bukan sekali Changbin atau Felix memberitahukan Chan tentang hal ini, hanya untuk mendapatkan jawaban tawa. Seolah tawa menyelesaikan segalanya, tetapi nyatanya tidak ada yang selesai dari sisi Chan atau pun dari sisi Changbin.
 
"Hyung, kamu kenapa semenyebalkan ini?" Changbin akhirnya tidak tahan untuk mengatakan apa yang dipikirannya selama ini, saat mereka hanya berdua di studio. Kesempatan yang langka, karena biasanya ada orang ketiga—alias Jisung—dan akan merepotkan untuk menjelaskan ulang kepada orang yang kepekaannya mendekati nol tentang yang terjadi selama ini. "Jangan tertawa, aku muak melihatnya." Protesan Changbin membuat Chan berhenti tertawa, tetapi tetap tidak menghilangkan cerianya karena memilih untuk tersenyum.
 
Hal yang justru membuat Changbin semakin kesal sendiri. Karena apa tidak bisa sekali pun Chan menampilkan emosi yang sebenarnya dia rasakan kepada mereka?
 
"Apa kamu tengah bertengkar dengan Felix karena aku?" Chan bertanya, masih tetap tersenyum dan rasanya Changbin belum pernah dalam hidupnya selama ini memi;iki dorongan yang sangat besar untuk memukul seseorang.
 
Namun, kali ini rasanya Changbin ingin melakukannya untuk membuat Chan sadar bahwa dia bisa berhenti dan memilih cara yang lain.
 
"Mau sampai kapan menipu semua orang dengan ekspresi itu?"
 
"Kamu tahu, aku bisa memberikan dunia kepadanya," tanpa sadar Chan tersenyum dan Changbin melihatnya dengan prihatin, "tetapi aku tidak bisa. Aku tidak punya hak untuk mengintervensi hubungan mereka."
 
"Kalau tahu, kenapa tidak berhenti?"
 
"Aku tidak bisa." Chan menggeleng dan Changbin tahu sebenarnya jawaban yang akan di dengarnya. Sejujurnya, itu memuakkan. "Pernah tidak kamu merasakan kalau dia adalah orangnya? Orang yang selama ini kamu cari dan semua ada pada dirinya adalah yang kamu inginkan, tetapi nyatanya aku kalah pada hal bernama kesempatan."
 
"Tidak." Sebenarnya Changbin ingin bilang bahwa tidak salah lagi, karena itu juga terjadi kepadanya. "Kalau aku jadi hyung, aku akan maju memperjuangkannya. Persetanan dia bersama orang lain dan dia memutuskan untuk tetap setia dengan pasangannya padahal menurutmu bisa menjadi lebih baik darinya."
 
Di titik ini, sebenarnya yang menyedihkan itu siapa sebenarnya? Chan atau Changbin?
 
Atau sebenarnya mereka berdua adalah sama-sama orang yang menyedihkan karena menatap orang yang nyatanya tidak melihat balik seperti yang dilakukannya.
 
"Changbin, aku tidak berniat untuk menjadi perusak hubungan seseorang."
 
"Seperti kataku, hyung, persetanan dengan hubungannya bersama orang lain." Changbin mendengkus dan memutuskan untuk mencari-cari kesibukan di ponselnya untuk mengalihkan rasa sesak yang dirasakannya. "Karena untuk apa berdiri di belakang sebagai penopang yang hanya dilihat jika terjadi sesuatu yang buruk terjadi kepadanya kalau kamu bisa berada di sampingnya, hyung?"
 
Changbin tidak mendengar apa pun dari Chan dan dia tidak ingin mendongak untuk melihat ekspresi lelaki yang lebih tua dua tahun darinya itu. Meski sebenarnya Changbin tahu ekspresi apa yang tengah Chan tampilkan, tetapi lebih baik dia tidak melihatnya. Untuk kebaikannya sendiri, untuk membuat hatinya tidak semakin berserakan tanpa tahu caranya Changbin mengembalikan secara utuh seperti semula.
 
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak melakukan perkataanmu barusan kepada Felix?"
 
Changbin melengos dan Chan tertawa sebagai jawabannya. Tanpa tahu bahwa apa yang Chan dan Changbin ketahui itu benar-benar dua fakta yang mengalami deviasi.
Read More

Jadi Begini Akhir Kisah Mereka

Sunday, October 24, 2021

No comments

 
"Dimana-mana ya anjir, cerita tuh dari awalnya dulu bukan akhirnya!" perkataan Felix yang amat sangat sepenuh hati ngegas itu membuat Hyunjin melirik sebal dan Jisung hanya tertawa. 
 
Oh tentu modusnya untuk memeluk Hyunjin dari samping tidak terlupakan. Namanya juga Han Jisung.
 
Gimana tidak ngegas? Baru masuk apartemen Jisung dan Hyunjin ini—yang ngomong-ngomong Felix memang punya kartu aksesnya karena sering diminta menginap di sana kalau Jisung sedang dinas keluar kota—dan melihat pemandangan tidak sepantasnya. Masih siang ini, sudah mau berbuat dosa aja di sofa.
 
Apa tidak ingat Hyunjin kalau menyuruh Felix untuk datang?
 
"Terserah guelah yang request cerita, napa lo sensi bener dah?" Hyunjin berdecak dan menyentil dahi Jisung karena mencoba menciumnya. Tentu membuatnya mendengar gerutuan Jisung—yang terlalu di dramatisir—dan Hyunjin menyipitkan matanya ke arah Felix. "Lo mau dikomisi apa kaga? Tepatnya, lo butuh duit gak sih? Mumpung ada yang bisa dipalakin nih."
 
Jisung yang mendengar hal itu, melepaskan pelukannya dari Hyunjin dan menatap pacarnya dengan tatapan tidak percaya. Sebelah tangannya berada di dadanya, terluka mendengar perkataa Hyunjin, "Sayang, apa hanya itu fungsiku di matamu?"
 
"Yang yang pala lo peyang!"
 
Jisung yang kemudia ditoyor oleh Hyunjin, tentu mengaduh, kemudian menatap Felix. "Dia kenapa sih, Lix? Galak bener dah abis gue tinggal seminggu doang."
 
"Kayaknya mau minta jatah deh sama lo."
 
"Jatah apaan? Gue kan udah ngasih bonus bulan ini ke Hyuni."
 
Felix tidak akan heran kalau melihat Hyunjin menjadi jauh lebih galak dari biasanya karena mendengar perkataan Jisung. Apalagi muka cemberut Jisung bukan terlihat memelas lucu di mata Felix—dan sepertinya juga di mata Hyunjin—tetapi rasa ingin menjitak lelaki itu semakin naik. Memang ada beberapa hal yang tidak akan pernah berubah meski tahun telah berlalu sejak pertama kali mereka bertemu di kampus saat OSPEK.
 
Seperti kepekaan Jisung yang nyaris nol karena tidak menangkap maksud Felix soal jatah. Kalau seperti ini, rasanya tidak heran kalau Hyunjin seringkali dianggap oleh orang-orang sebagai posisinya di atas karena dia yang harus selalu inisiatif untuk meminta duluan.
 
Tidak perlu dikasihani, mereka yang memilih satu sama lain.
 
"Yaudah, jadi mau dibuatin berapa kata?" Felix akhirnya kembali bertanya karena tidak mau melihat adegan bermesraan di depan matanya.
 
Geli lihatnya dua orang bulol yang padahal dulunya kalau bertemu seperti siap melayangkan tinju ke wajah satu sama lainnya. Mana tiap Felix ingatkan untuk jangan terlalu membenci, keduanya malah mendelik ke arahnya.
 
"Slow burn dong. 100k plus kalo bisa." Celetukan Hyunjin yang tampaknya tidak dipikirkan itu, membuat Felix melengos. "Iya gue tahu kok rate lo termasuk golongan atas. Udah kerjain aja, terus ada NSFW yak!"
 
"Gue kok membayangkan typing cerita hubungan kalian kok geli duluan ya."
 
"Mendingan terima commish gue sih daripada gue usulin lo jadi artis TikTok." Perkataan Hyunjin itu sukses membuat Felix menghela napas panjang. Lalu melepaskan pelukan Jisung di sisi tubuh kirinya yang membuat pacarnya cemberut, tetapi karena Hyunjin baru ingat hal lain yang ingin disampaikan. Berjalan ke ruang kerjanya dan masuk sebentar, lalu keluar sembari menenteng iPad. Menyerahkan iPad tersebut kepada Felix memperlihatkan gambar loker yang didesain Hyunjin. "Oh iya, kantor gue lagi cari freelance writer nih. Besok sih baru mau gue naikin di IG kantor, tapi karena gue mau KKN jadi kasih tahu lo duluan."
 
"Gue cuma penulis fanfic. BXB pula."
 
"Gue cuma fanartist, tapi keterima jadi anak PR," jawaban Hyunjin membuat Felix menatap temannya yang tersenyum, "udah terabas aja. Buat porto yang kasih lihat aja ceritamu yang udah dipublikasikan yang mana aja. Gak usah semua, yang menurutmu oke aja." Hyunjin melihat Felix yang hendak membantah, tetapi dia dengan cepat menyela, "Kalau bahas bxb sih, harusnya lo tahu sih tempat kerja gue juga buat cerita slash. Masih masuklah lo."
 
Hyunjin dan Felix mengobrol tentang hal-hal dunia kreatif dan Jisung tentu tidaklah paham. Bacaan komiknya sampai baru masuk kuliah cuma Doraemon. Setelah kenal dengan Felix, Seungmin dan—waktu itu tidak ikhlas berteman—dengan Hyunjin barulah Jisung tahu tentang dunia perkomikan. Juga buntutnya yang jelas tidaklah seperti kata orang-orang di lingkungannya yang selalu bilang komik untuk anak kecil.
 
Itu komik Attack on Titan bisa dijelaskan bagian mana yang aman untuk dibaca anak kecil? Isinya berdarah semua gitu juga. Atau komik web Lookism yang cukup brutal untuk dibaca di bawah 15 tahun.
 
Suara pintu yang ditutup membuat lamunan Jisung buyar. Menyadari kalau Felix sudah tidak ada di sini dan kebiasaan Hyunjin yang selalu mengantarkan orang yang hendak pulang sampai ke depan pintu. Lalu Jisung mendengar suara dering telpon masuk yang membuatnya menatap meja. Ponsel Hyunjin yang berbunyi, tetapi nama kontaknya tidak pernah Jisung lihat sebelumnya.
 
"Lee Minho itu siapa?" Jisung yang mengernyit saat melihat nama kontak yang menelepon Hyunjin menggunakan Line. Begitu mengambil ponsel Hyunjin yang berada di atas meja, melihat fotonya membuat Jisung semakin mengeryit. Karena mendengar suara langkah mendekatinya, Jisung mengalihkan pandangannya dan melihat Hyunjin. "Sayang, kamu selingkuh dari aku?" 
 
Read More

When Clown and Peterpan Meet

Saturday, August 14, 2021

No comments
Content Warning
Menyinggung tentang damsel in distress yang menggunakan nama lain Cinderella Complex yang merupakan istilah populer dari psikologi kultur pop—artinya ini tidak berasal dari penelitian saintifik yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya—untuk menggambarkan ketidak mampuan seseorang untuk melakukan sesuatu secara mandiri karena merasa akan ada seseorang yang akan menjadi 'Prince Charming' yang menolongnya. Namun, karena Felix adalah laki-laki, maka sebenarnya lebih tepatnya istilah populer yang digunakan adalah Peterpan Syndrome. Juga untuk berjaga-jaga kalau ada yang memiliki phobia kepada badut, Minho di cerita ini sebagai badut. 
 
Trigger Warning
Felix mengidap PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) yang mengakibatkannya mengalami age regression (nama yang orang-orang kenali adalah little space) dan disaat normal pun, dia merasa hopeless sehingga dia menyebut dirinya sendiri sebagai pengidap Peterpan Syndrome. Iya, Felix self diagnose dirinya sebagai pengidap Peterpan Syndrome dan seperti penjelasan di atas, ini tidaklah eksis pada psikologi saintifik. Diharapkan pembaca jangan mediagnosa diri sendiri mengidap mental illness dan memeriksakan diri ke dokter untuk mengetahui dengan jelas yang tengah dialami.

 
Hari ini adalah ulang tahun Felix ke 17, tetapi sudah seperti bayangannya tidak akan ada satu pun keluarganya yang datang. Meski ruangan makan yang biasanya membosankan sekarang menjadi lebih cerah karena hiasan-hiasan pesta ulang tahun yang disiapkan oleh orang tuanya. Terlihat orang-orang yang berada di tempat Felix tinggali sekarang berbahagia dan bahkan beberapa sudah mengantri di prasmanan karena kapan lagi mereka bisa makan enak tanpa harus memikirkan tentang perkataan dokter kepada mereka?
 
Namun, Felix hanya bisa menghela napas saat menyadari bahwa mencari keberadaan orang yang bisa dianggapnya keluarga hanyalah sebuah kesia-siaan belaka.
 
Seharusnya Felix tahu kalau dirinya sejak lama dibuang oleh keluarganya karena kejadian di hari itu. Mereka mungkin beralasan bahwa ini demi kebaikan Felix, agar dia bisa segera sembuh dan menjadi normal seperti dahulu. Namun, Felix bukanlah bodoh untuk menyadari bahwa mereka menyingkirkannya kemari karena sejak awal keberadaan dirinya bagi mereka sudahlah salah dan semakin salah saat mereka kehilangan orang yang paling disayangi melebihi apa pun di dunia ini.
 
Felix tidak pernah diinginkan oleh siapa pun.
 
"Loh, siapa yang mengundang badut kemari?" Pekikan Jeongin—teman baiknya selama berada di sini karena memiliki nasib yang sama dengannya—membuat Felix mengikuti arah pandang lelaki itu.
 
Menemukan seseorang yang menggunakan kostum badut McD yang membuat Felix menghela napas panjang. Kebohongannya yang sekarang membuat Felix harus melihat badut di hari ulang tahunnya. Sejak dahulu, Felix selalu berkata kalau dia menyukai badut McD—yang merupakan kebohongan—karena melihat karakter itu membuat orang-orang bahagia. Kebohongan yang Felix katakan sejak berumur sembilan tahun hingga napas terakhir orang yang mendapatkan segalanya dan dirinya tidak pernah dianggap ada.
 
Dibuang ke tempat rehabilitasi—bahasa yang mereka perhalus dari rumah sakit jiwa—dan meski Felix bukan berada di sisi rumah sakit yang benar-benat tidak bisa berfungsi sebagai manusia, bukan berarti dirinya sepenuhnya berfungsi sebagai manusia.
 
"Kamu Felix?" Sapaan badut McD yang sudah berada di depannya membuat Felix tersenyum sembari mengangguk. "Selamat ulang tahun ke tujuh belas."
 
Sejujurnya, Felix benci dengan badut dan semua perayaan meriah ulang tahun. Hal yang diinginkan Felix adalah perayaan sederhana seperti tengah malam dibangunkan dengan kue ulang tahun serta lilin penunjuk umurnya yang menyala, meniupnya dengan bahagia, dan pagi harinya saat terbangun bisa sarapan bersama orang tuanya dengan masakan rumahan yang dikhususkan untuknya.
 
Namun, Felix tahu berusaha seperti apa pun, dia tidak akan pernah mendapatkan hal tersebut. Karena dirinya tidak pernah diharapkan ada di dunia ini dan semakin pantas untuk diabaikan setelah dianggap menjadi penyebab kepergian untuk selamanya orang yang mereka sayangi.
 
"Hei, Felix," panggilan itu membuatnya tersadar dari lamunannya dan ternyata badut McD—sebenarnya Felix yakin dia memiliki nama karakter, tetapi tidak punya alat untuk mencari tahu—masih berada di depannya, "kenapa bersedih? Apa kehadiranku tidak menyenangkanmu?"
 
Sejujurnya, tidak. Karena badut adalah kebohongan Felix yang selalu dikatakannya untuk membuatnya senang dan sekarang, orang itu sudah tiada, jadi seharusnya tidak perlu merasa perlu mengapresiasi tokoh di depannya.
 
"Ah tidak ... aku bukannya tidak senang dengan kehadiranmu." Felix tersenyum, meski dalam hati menertawakan diri sendiri.
 
Untuk apa berbohong saat ini padahal tidak ada yang perlu perasaannya dilindungi?
 
"Oh iya, sebentar," badut itu meninggalkan Felix dan dia langsung menghela napas panjang. Felix bisa memilih untuk pergi kembali ke kamarnya dan mulai membuka komputernya untuk mencari tahu nama badut McD. Nyatanya, dia justru memilih untuk menunggu badut itu kembali, padahal Felix tidak pernah menunggu siapa pun sejak tinggal di sini. Saat badut itu kembali, ternyata di tangannya ada sebuah kotak hadiah yang berukuran sedang.
 
Felix mengernyit saat badut itu menyerahkan kepadanya. "Untukku?"
 
"Iya," badut itu tersenyum dan sejujurnya terlihat menyeramkan di mata Felix karena riasan tebalnya, "dari orang tuamu. Juga mereka bilang maaf karena tidak bisa datang kemari karena ada hal penting yang harus diurus."
 
Felix menerimanya sembari tersenyum, tetapi tidak langsung membukanya.
 
Tentu mereka sibuk, karena lebih baik merayakan ulang tahun orang yang sudah meninggal daripada Felix yang masih hidup. Karena mungkin bagi mereka, kalau boleh menukar anak yang meninggal pada hari itu, lebih baik Felix yang mati daripada anak kesayangan mereka. 
 
"Felix," panggilan itu membuatnya mengerjap dan bertemu pandang dengan badut yang menatapnya dengan sedih. Membuatnya mengernyit karena Felix sudah begitu terbiasa dengan tatapan kasihan dan tiba-tiba ada orang asing yang bersedih untuknya adalah hal yang aneh. "Kalau kamu tidak bahagia, tidak apa-apa. Katakanlah, agar dirimu tidak tersiksa."
 
Terdengar seperti perkataan dokter yang menanganinya atau pun perawat Park yang ditugaskan untuk menanganinya.
 
Felix hanya tersenyum sebagai respon dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu khawatir."
 
"Kamu yakin?"
 
Felix tidak menjawab karena memutuskan untuk membuka kado yang diberikan untuknya. Meski ini adalah tahun ketiganya berada di tempat ini, rasanya baru kali ini Felix mendapatkan kado dari orang tuanya. Namun, begitu melihat isi kotaknya, matanya memburam dan rasanya dia kembali ke masa lalu. Napasnya tiba-tiba berat dan merasa getaran hebat sebelum akhirnya melihat gelap. 
 
***

Minho sejujurnya merasa bersalah karena merasa penyebab Felix pingsan adalah dirinya. Saat menerima pekerjaan sampingan sebagai badut, Minho awalnya bersemangat karena bayarannya sangatlah tinggi. Bayaran yang bisa untuk uang 2 semesternya dan juga uang sewa apartemen selama 3 bulan. Meski pun tempat yang diminta oleh kliennya untuk dirinya bekerja sangatlah aneh, tempat rehabilitasi untuk orang-orang yang mengalami sakit mental. Apalagi karakter spesifikasinya juga sangatlah aneh, Ronal McDonald.
 
Rasanya langsung menyewa ke McD lebih menghemat uang daripada ke agensi tempatnya kerja part time sebagai badut.
 
Juga Minho tidak paham kenapa ulang tahun ke 17 seseorang harus dirayakan di tempat rehabilitasi? Lebih tidak mengerti lagi, mereka bisa membayar Minho untuk menjadi badut yang hadir di ulang tahun lelaki bernama Felix Lee dengan uang yang fantastis, tetapi tidak menitipkan sesuatu untuk diberikan sebagai hadiah ulang tahun.
 
"Minho, jangan terlalu sentimental dengan hal remeh seperti itu," teguran Bos tempatnya part time di telpon membuatnya menghela napas, "kamu hanya perlu datang dan menghibur anak klien yang memintamu bekerja. Jangan mengacau atau jasamu tidak dibayar oleh klien."
 
Mengingat telepon dengan Bosnya, Minho menghela napas. Dia tahu telah mengacau dengan seenaknya membelikan kado untuk Felix—yang saat dilihatnya, dia benar-benar normal seperti remaja lainnya di luar sana—dan sekarang Minho menanggung akibatnya.
 
Minho tidak pernah berurusan dengan orang yang memiliki penyakit mental, apalagi berurusan dengan orang yang berada di rehabilitasi khusus menangani sakit mental. Ini kali pertamanya dan Minho mengacau dengan kado yang diberikannya dengan kebohongan kalau itu dari orang tua Felix.
 
"Dua manusia itu memang tidak pantas menyandang gelar orang tua," komentar perawat yang tadi dilihat dari name tag-nya bernama Park Minyoung membuat Minho menoleh. Perempuan itu tersenyum kepadanya dan menarik kursi untuk duduk di sebelah Minho yang mana dia menghadap ke ranjang Felix yang masih belum sadarkan diri. "Pasti dirimu kaget berada di sini dan melihat Felix pingsan."
 
"Dia ... kenapa?"
 
"PTSD," jawaban itu sejujurnya tidak membantu Minho, karena dia bahkan tidak mengerti maksudnya, "singkatnya, Felix memiliki trauma dengan syal dan warna merah."
 
Sekarang Minho mengerti alasan Felix yang begitu membuka kotak kadonya yang berisi syal merah langsung bereaksi gemetar hebat, berteriak untuk jangan mendekatinya, dan akhirnya pingsan di depannya. Bohong kalau Minho tidak panik, tetapi rasanya semua orang di sekitar Felix tampak tidak peduli dan hanya perawat perempuan yang sekarang duduk di sampingnya yang datang untuk memintanya membawa ke kamar rawatnya.
 
Kalau boleh jujur, kamar rawat Felix lebih besar dua kali lipat dari ukuran apartemen Minho dan isinya jauh lebih lengkap serta cocok untuk dimasukkan ke media sosial daripada miliknya.
 
"Baik, saya akan segera menemui Anda." Suara perawat Park membuat lamunan Minho buyar dan saat melihat perawat itu berdiri, dia refleks ikut berdiri. Namun, perawat itu tersenyum dan menepuk pelan pundak Minho, "Apa aku bisa memintamu untuk menjaga Felix sebentar? Ada hal yang harus aku laporkan kepada dokter Kim."
 
"Tapi...."
 
"Felix tidak akan bangun dalam jangka waktu dekat," perawat Park mencoba menyakinkan Minho, "tetapi kalau dia mengingau, tolong tangannya digenggam ya. Aku mengandalkanmu, Minho."
 
Minho belum mengatakan persetujuan saat perawat Park keluar dari ruangan Felix. Kemudian ruangan terasa sunyi dan Minho melihat keseluruhan ruangan yang Felix tempati. Tadinya Minho pikir, ruangan ini akan berwarna putih seperti yang ada di film yang membahas tentang rumah sakit jiwa, tetapi nyatanya ruangan di sini berwarna abu-abu dan kebanyakan perabotan di ruangan ini berwarna mahogani.
 
Ruangan ini besar dan juga memiliki banyak hal yang Minho harapkan bisa dimiliki di apartemen kecilnya. Namun, di saat bersamaan Minho merasa di sini begitu sepi yang bisa membunuhnya perlahan.
 
Apa benar tempat ini di desain untuk menyelamatkan Felix dan bukan untuk membunuhnya secara perlahan?
 
"Pergi! Jangan mendekatiku dan Felicia!" Suara teriakan itu membuat Minho tersadar dari lamunannya dan melihat Felix yang bergerak gelisah. Kemudian, selimut yang ditendang, bantal yang dilempar begitu saja sebelum Minho sempat bereaksi membuatnya teringat pesan perawat Park untuk mengenggam tangan Felix jika mengingau. Apalagi yang didengarnya kemudian adalah, "Lepaskan aku! Felicia, lari. Nanti aku menyusulmu."
 
"Felix ... Felix. Tenanglah." Minho tahu perkataannya tidak berguna dan jelas tidak mungkin didengar oleh orang yang mengamuk dalam tidurnya. Namun, tiba-tiba Felix membuka matanya, kemudian menoleh ke arah Minho. Menatapnya dengan tanda tanya dan Minho mendadak panik harus menjelaskan keberadaan dirinya.
 
Bahkan Minho tidak pernah panik saat tahu dirinya ditendang dari apartemen lamanya tanpa pemberitahuan karena gedungnya sudah berganti kepemilikan.
 
"Badut McD?" Felix terlihat kebingungan, lalu kemudian menarik tangannya dan mendudukkan dirinya. Minho tentu kaget dengan gerakan Felix, tetapi kemudian kebingungan melihat reaksi lelaki di depannya yang bertepuk tangan, dan kemudian menoleh ke kiri serta kanan dengan cepat. "Felicia mana? Dia suka badut McD dan ingin ulang tahunnya ada dia, tapi Ayah dan Ibu tidak pernah mengizinkannya."
 
Felicia siapa?
 
"Felicia!" Felix memanggil nama asing itu dengan sebelah tangannya yang terbuka berada di dekat mulutnya. "Felicia Lee, ada badut McD di hari ulang tahunmu!"
 
Minho sejujurnya kebingungan dengan reaksi Felix yang terlihat senang dan tanpa sadar bergumam, "Tapi hari ini ulang tahun Felix Lee."
 
Felix berhenti memanggil Felicia dan menoleh ke arah Minho. Tidak seperti yang Minho lihat saat tadi berada di ruang besar yang mana Felix terlihat bersedih, sekarang lelaki itu memandangnya dengan senyuman lebar.
 
"Hari ini juga ulang tahunnya Felicia. Aku dan Felicia kembar."
 
Oh, jadi yang sejak tadi Felix panggil itu kembarannya?
 
"Hm? Syal siapa itu?" Perkataan Felix membuat Minho mengikuti arah pandang lelaki itu dan panik saat melihatnya memegang benda itu. Apalagi ternyata tangan Felix cukup cepat untuk mengambil syal merah yang membuat lelaki itu pingsan dan juga sudah berguling ke ujung ranjangnya, lalu berdiri di sisi lainnya. Maksud Minho berdiri adalah literal berdiri di atas ranjang. "Syal hadiahnya Felicia ya? Ck, anak itu kenapa selalu menaruh hadiahnya sembarangan? Felicia, cepat kemari dan ambil kadomu! Jangan meletakkannya di kamarku karena merasa kasihan denganku."
 
Minho sejujurnya tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat ini. Kata perawat Park, Felix takut dengan warna merah sehingga membuatnya pingsan. Lalu sekarang yang dilihatnya adalah Felix yang meloncat-loncat di kasurnya sembari memegang syal merah dan menggumamkan lagu lama dari boyband 2PM, Heartbeat.
 
"Tuan badut," panggilan itu membuat Minho mengerjapkan matanya dan melihat Felix sudah tidak meloncat-loncat. Berjalan mendekatinya, lalu berhenti beberapa langkah di depannya dengan posisi masih berdiri. "Kenapa masih berada di sini? Bukankah kamu seharusnya bersama Felicia?"
 
"Apa maksudmu?" Minho refleks merespon, tetapi kemudian merasa ini bukanlah opsi yang terbaik.
 
Baru Minho ingin mengatakan bahwa dia tidak mengerti, tetapi kemudian melihat Felix tersenyum dan menyerahkan syal merah kepadanya. "Pergilah, Tuan badut McD. Kamu pasti kemari karena Felicia dan bawa ini kepadanya, karena ini pasti hadiah untuknya."
 
"Itu hadiahmu."
 
Minho benar-benar meruntuki mulutnya yang selalu merespon otomatis semua perkataan yang ditunjukkan kepadanya. Apalagi yang dilihatnya sekarang Felix sudah tidak tertawa dan mengerjapkan matanya dengan cepat. Kemudian menunjuk dirinya sendiri, "Aku? Ini untukku? Jangan bercanda, semua orang hanya mengingat Felicia dan aku yakin tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunku."
 
Ada banyak kebingungan yang Minho alami sekarang sampai membuat kepalanya sakit. Namun, perkataan Felix tadi benar-benar terasa menyesakkan dan meski lelaki itu sekarang kembali meloncat-loncat di ranjangnya sembari menggumamkan lagu 2PM yang berjudul Heartbeat, tidak ada tawa. Syal merah yang dipegang oleh Felix entah kenapa dilihat Minho digenggam lebih erat dari seharusnya dan dia menyadari satu hal dari semua hal yang membingungkan yang tengah terjadi.
 
Syal merah itu adalah hadiah pertama Felix, meski Minho tidak bisa menjelaskan 2 reaksi yang berbeda didapatkannya dengan benda yang sama.
 
"Itu hadiah untukmu, Felix." Minho memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. "Hadiah dariku, untukmu."
 
"Kenapa Tuan badut memberikannya kepadaku? Apa karena belum menemukan Felicia ya?"
 
"Tidak, itu memang untukmu." Minho menatap Felix yang berhenti meloncat. Melihatnya yang perlahan tersenyum lebar dan membuat Minho tanpa sadar juga ikut tersenyum. "Selamat ulang tahun, Felix Lee."
 
"Yongbok Lee." Nama asing yang dikatakan Felix. membuat Minho menatap dengan bingung. "Hahaha ... lucu melihat Tuan badut kebingungan. Tapi itu nama Koreaku, Tuan badut."
 
"Oh, begitu."
 
"Tuan badut, jangan melapor ya kalau aku sejak tadi loncat-loncat ditempat tidur. Nanti aku dimarahi dan aku benci mendengarnya."
 
Minho mengangguk dan Felix tersenyum lebar. Kemudian Minho melihat Felix kembali meloncat-loncat dan mengalungkan syal ke lehernya. Sejujurnya Minho masih tidak mengerti dengan yang sedang terjadi, tetapi memutuskan untuk diam karena melihat Felix yang terlihat bahagia dan masih mengumamkan lagu 2PM yang berjudul Heartbeat.
 
***
 
Minho sejujurnya merasa tidak layak mendapatkan bayaran setelah melihat langsung hal yang terjadi kepada Felix. Padahal biasanya Minho menyukai saat dirinya menerima uang, tetapi rasanya sekarang hampa dan begitu menyadari keberadaannya sekarang, dia melihat sekelilingnya.
 
Apartemen kecilnya yang begitu pintu masuk langsung memperlihatkan tempat tidurnya. Meja makan yang juga berfungsi sebagai meja belajarnya dan dari pandangannya sekarang, dia bisa melihat area kecil yang menjadi dapur sekaligus tempat mencuci piring serta pakaiannya. Di bekalang tempat itu ada ruangan kecil yang merupakan kamar mandi. Menoleh ke kiri, ada lemari kecil yang tertanam di dinding yang tengah tertutup. Merupakan tempatnya menaruk pakaian-pakaiannya 4 musim dan sejujurnya itu sangatlah kurang.
 
Meski selama ini Minho selalu mengeluhkan kehidupannya yang tidak seperti orang-orang yang bisa berkuliah tanpa perlu memikirkan biaya—dan sialnya malah tidak belajar dengan sungguh-sungguh—tetapi setidaknya dia masih bisa berfungsi dengan normal. Minho juga telah mencari tahu tentang PTSD dan sejujurnya dia menyesal melakukannya. Karena bukan menjawab pertanyaannya tentang apa yang terjadi dengan Felix, tetapi justru memberikan banyak pertanyaan baru untuk Minho.
 
Apa penyebab Felix hingga mengalami hal tersebut?
 
Kenapa Felix tiba-tiba biasa saja dengan warna merah? Padahal warna itu pula yang menyebabkannya pingsan.
 
Jika waktu itu adalah usianya ke 17, maka sejak umur berapa Felix berada di sana sampai perawat Park bilang tidak biasanya orang tua Felix mengingat keberadaan anaknya tanpa ditelpon seminggu sebelumnya?
 
Sebenarnya, Felix berada di keluarga disfungsional seperti apa sampai bisa-bisanya orang tuanya menyewa badut dengan karakter yang dibenci oleh anaknya sendiri?
 
Pada akhirnya, Minho tidak bisa menahan dirinya untuk kembali ke tempat Felix berada. Meski sejujurnya Minho tidak pernah terpikirkan akan kembali kemari. Bahkan rasanya Minho selama hidup juga tidak pernah terpikirkan akan menginjakkan kaki di tempat rehabilitasi untuk jiwa-jiwa yang memiliki gangguan dan diharapkan bisa sembuh dengan bantuan profesional.
 
"Apa Anda mengatarkan pesanan makanan kemari?" Sapaan penjaga di pintu depan dengan pandangan yang menyelidik.
 
Sejujurnya Minho paham kalau diberikan tatapan seperti ini. Waktu pertama kali datang, dia juga mendapatkan tatapan yang sama karena datang dengan kostum badut Ronald McDonald yang tidak ramah dilihat untuk orang-orang—sejujurnya Minho sampai sekarang mempertanyakan kenapa ini bisa menjadi ikon fast food dari Amerika sana—dan sekarang datang dengan tampilan normal.
 
Meski Minho rasa tatapan menyelidik ini karena tidak banyak orang normal yang bukan bagian dari keluarga yang dirawat untuk datang kemari.
 
"Saya ingin bertemu dengan Felix Lee."
 
"Anda siapanya Tuan Muda Lee?" Pertanyaan yang tidak ramah itu membuat Minho menahan diri untuk tidak menjawab secara spontan yang kemungkinan besar memancing perdebatan. 
 
Jadi Minho memutuskan untuk tersenyum, "Aku temannya Felix, yang waktu itu datang sebagai badut McD."
 
"Memangnya sudah membuat janji dengan Tuan Muda Lee?"
 
Minho sebenarnya ingin mengeryit karena mendengar Felix disebut sebagai 'Tuan Muda Lee', tetapi memutuskan untuk tetap bersikap tenang. "Dia bilang kalau aku ingin mengunjunginya bisa langsung datang."
 
"Saya akan menghubungi Tuan Muda Lee untuk memastikan."
 
"Memangnya dia punya ponsel?" Minho meruntuk dalam hati karena tidak bisa menahan mulutnya lebih lama untuk tidak langsung merespon ucapan yang ditunjukkan kepadanya. Namun, yang tidak diduga Minho adalah penjaga tersenyum kepadanya dan menempelkan kartu akses sehingga pintunya terbuka.
 
"Bilang kepada Tuan Muda Lee, terima kasih dengan hadiah kuenya. Padahal dia yang berulang tahun, tetapi yang malah memberiku hadiah."
 
Minho sejujurnya kebingungan harus merespon seperti apa, tetapi setidaknya refleks untuk mengangguknya berguna. Begitu melangkah masuk, pintu di belakangnya tertutup dan sudah tidak ada jalan mundur dari sini. Minho berusaha mengingat jalan menuju ruangan Felix, tetapi berpapasan dengan perawat Park.
 
"Minho si Tuan badut?" Sapaan itu membuat wajah Minho masam dan perawat Park tertawa. "Maaf ... maafkan aku. Aku terbiasa mengikuti julukan yang Felix berikan kepada seseorang saat bercerita kepadaku."
 
"Tidak apa-apa, dia tidak salah." Minho menghela napas. "Apa aku bisa bertemu dengan Felix?"
 
Perawat Park mengerjapkan matanya tiga kali, lalu menatap Minho tidak percaya. "Kamu ingin bertemu dengannya? Kenapa?"
 
Sebenarnya Minho juga tidak mengerti, tetapi memutuskan untuk tersenyum. "Hanya ingin memastikan dia tidak bersedih seperti saat melihatku pertama kali?"
 
Minho pikir, setelah memberikan jawaban seperti itu maka dirinya akan digiring untuk menemui Felix. Bukan mendapatkan tatapan dingin dari perawat Park dan seolah tawa tadi dari perempuan itu kurang dari semenit yang lalu tidak pernah nyata.
 
"Apa kamu merasa kasihan dengan Felix sehingga memutuskan untuk kemari?" tanyanya tanpa ekspresi. "Kalau hanya merasa kasihan, aku bisa mengantarmu keluar dari sini. Felix tidak perlu dikasihani, tidak tidak selemah pemikiranmu."
 
"Aku tidak mengasihaninya. Aku hanya khawatir dengan keadaannya."
 
"Dia baik-baik saja, tidak perlu khawatir." Jawaban yang entah Minho rasa sebagai jawaban standar yang seolah sudah dikatakan oleh pertawat Park ribuan kali kepada orang-orang. "Aku bisa mengantarmu ke depan, Minho. Mari ikuti aku."
 
Minho tidak mengikuti langkah perawat Park dan hanya berbalik untuk searah dengan perempuan itu. "Kenapa aku tidak boleh menemui Felix? Apa dia tidak boleh memiliki teman dari luar? Memangnya dia tidak kesepian hanya bertemu denganmu dan orang-orang yang memiliki masalah yang sama dengannya?"
 
Langkah perawat Park terhenti dan kemudian berbalik memandang Minho. Sejujurnya Minho kesal karena dianggap datang dengan niat buruk, meski dia sendiri tidak paham untuk alasannya merasa semarah ini. Minho menyadari emosinya memang mudah tersulut untuk merasa kesal, tetapi bukan dititik yang dirasakannya sekarang.
 
"Apa kamu hanya datang untuk memuaskan rasa penasaranmu, Minho?" Perkataan perawat Park membuat Minho mendelik. "Aku sudah melihat orang-orang yang sepertimu, datang untuk Felix dengan alasan berteman, tetapi kemudian hanya untuk membuatnya bersedih karena berhenti mengunjunginya setelah rasa penasarannya terpenuhi."
 
"Aku tidak berpikiran seperti itu!"
 
"Bagaimana aku bisa yakin dirimu tidak seperti mereka yang pernah datang dan pergi untuk Felix?"
 
Minho melepaskan sebelah tali ransel dari bahunya dan membawanya maju ke depan. Membuka tasnya dan mengeluarkan album 2PM terbaru. "Aku tidak akan membuang waktuku untuk mencari album lagu yang dia gumamkan dan menyadari kalau tidak bisa menemukannya lagi sehingga membelikannya yang baru."
 
Perawat Park tidak mengatakan apa pun, tetapi Minho menyadari jika tatapan mata perempuan itu terkejut dengan yang dibawanya.
 
"Dia waktu ditinggal berduaan denganku menggumamkan Heartbeat two PM dan aku masih belum berhasil membelikan untuknya." Minho menghela napas dan menutup tasnya. Tidak memasukkan album 2PM di tasnya dan menyampirkan tali ransel ke bahunya kembali. "Kalau memang aku hanya penasaran dengannya, aku tidak perlu repot mencarikan album tahun dua ribu sembilan. Juga seharusnya sekarang aku bekerja sampingan sebagai badut entah di mana dan bukan berada di sini."
 
Perawat Park tidak mengatakan apa pun dan Minho berbalik. Berjalan dengan sisa ingatannya untuk menuju ruangan Felix dan kemudian mendengar suara langkah yang cepat ke arahnya. Kemudian merasakan sebelah bahunya yang dipegang dan dipaksa untuk berbalik ke belakang. Ternyata perawat Park dan menatap Minho dengan mengintimidasi.
 
"Apa tujuanmu sebenarnya, Lee Minho si Tuan badut?"
 
"Seperti perkataanku, aku ingin menjadi temannya, perawat Park Minyoung-ssi." Minho menatap tanpa emosi kepada perempuan itu. "Kalau tidak keberatan, apa dirimu bisa mengantarku untuk bertemu dengan Felix? Aku ingin mengganti kado ulang tahunnya dengan sesuatu yang tidak traumatis." Perawat Park terbelalak mendengar perkataan Minho, sementara dia melepaskan tangan perempuan itu dari bahunya. "Iya, kado syal merah itu bukan dari orang tua Felix, tetapi dariku dan aku bertanggung jawab atas pingsannya hari itu."
 
Minho tidak tahu apakah semua perkataannya cukup untuk membuat perawat Park mempercayainya. Namun, saat akhirnya bertemu dengan Felix yang tengah berada di depan kolam ikan dengan tatapannya tampak kosong—yang mengejutkan, dia diantarkan oleh perawat Park—dan mendadak Minho lupa caranya memperkenalkan diri dengan orang asing.
 
Mengenalkan diri sebagai badut yang tempo hari datang di ulang tahunnya dan menyebabkan pingsan dengan hadiah yang dipilihnya seadanya sepertinya bukan pilihan yang bagus. Namun, tiba-tiba memberikan album KPOP kepada Felix sementara Minho tidak yakin dikenali oleh lelaki itu karena tidak menggunakan riasan badutnya juga pasti akan berakhir dirinya dianggap menyeramkan.
 
"Tuan, Anda siapa?" Suara itu membuat lamunan Minho buyar dan Felix menatapnya dengan tanda tanya. "Apa Tuan tersasar saat mengantarkan makanan kemari? Aku bisa mengantarkanmu ke tempat yang tepat."
 
Sebenarnya kenapa semua orang yang melihatnya—sebenarnya hanya dua dengan Felix—begitu melihatnya mengira dia adalah pengantar makanan dari restoran?
 
Apa mukanya begitu pasaran ya?
 
"Tuan..." panggilan itu membuat Minho menatap Felix, "aku tidak gila, kalau itu yang Tuan khawatirkan saat mendengar tawaranku."
 
Apa memang semua orang luar yang bertemu dengan Felix menganggap lelaki itu gila karena berada di sini?
 
"Untukmu," Minho memutuskan untuk mengulurkan tangan yang memegang album 2PM yang membuat Felix menatapnya, kebingungan, "juga jangan memanggilku Tuan. Aku badut yang waktu itu membuatmu pingsan karena hadiah asalku, jadi ini gantinya."
 
"Apa?"
 
"Aku tidak bisa menemukan album yang lagunya kamu nyanyikan saat meloncat-loncat di kamar." Minho bisa melihat wajah Felix yang benar-benar kebingungan dan membuatnya sedikit merunduk untuk menarik sebelah tangan lelaki itu agar menerima album yang diulurkan tangannya yang lain. "Namaku Minho, Lee Minho dan selamat ulang tahun, Felix Yongbok Lee."
 
***

"Minyoung noona, sepertinya aku menemukan pangeranku." Felix tersenyum dan perawat Park yang datang membawa nampan berisi obat serta air mineral yang harus diminum lelaki itu, mengernyit.
 
"Pangeran?" Perawat Park mengulang perkataan Felix dan melihatnya mengangguk antusias. "Pangeran Eric dari film Ariel ya?"
 
"Bukan pangeran dari kartun!" Felix cemberut dan perawat Park tersenyum. Meletakkan nampan yang dibawanya di nakas dekat tempat tidur Felix, lalu menarik satu kursi untuk mendengarkan cerita pasien yang khusus ditanganinya karena pihak rumah sakit menyadari kalau lelaki itu menyukai kehadirannya. "Pangeran dari dunia nyata, tapi dia tidak datang dengan kuda putih seperti film. Dia datang dengan menjadi badut!"
 
Perawat Park tersenyum dan mendengarkan cerita Felix dengan seksama. Meski dikepalanya timbul kepanikan kalau Felix hanya menyukai Minho karena ada orang asing yang peduli dengan datang mengunjunginya. Namun, tentu dia tidak bisa mengatakan hal sejahat itu karena suasana hati Felix adalah hal yang perlu dijaganya atau akan terjadi hal-hal buruk nantinya.
 
Sementara itu, Minho yang berdiri di dalam bus yang membawanya pulang menuju apartemennya—karena tidak kebagian kursi—sibuk mencari tentang Peterpan syndrome yang Felix katakan kepadanya. Namun, kepalanya terasa pusing karena sejak tadi penjelasan yang ditemukannya sangatlah sedikit dan begitu ada, justru kebanyakan tentang keterkaitan film kartun Peterpan dalam kultur pop, bukan dalam konteks psikologi saintifik.
 
"Lama-lama aku bisa gila karena Felix Yongbok Lee."
 
*** 
 
Author Note:

 
Sebuah gambaran badut McD yang diperankan oleh Minho dan alasan Felix merasa senyumannya yang menyeramkan. Serta semoga mengerti alasan judulnya "When Clown and Peterpan Meet" ya.
Read More

Pembicaraan Tengah Malam Mereka

Wednesday, June 16, 2021

No comments

 
"Kenapa kamu tidak memberikan kabar padaku?!" Chan masih mengatur napasnya saat masuk ke dalam mobil yang Hongjoong kemudikan melintasi jalanan Seoul yang sudah memasuki tengah malam. "Joong, I'm asking you."
 
Hongjoong tidak langsung menjawab dan justru sebelah tangannya mengganti gigi mobil karena kecepatan mobilnya yang membutuhkannya. Chan akan bertanya lagi, tetapi kemudian mendengar, "Bagaimana kabarmu, Chan?"
 
Chan berharap dia bisa marah kepada Hongjoong, itu akan lebih mudah baginya. Bukan mengacak rambutnya karena frustrasi Hongjoong bisa mengacak perasaannya semudah ini hanya dengan kehadiran yang mendadak dan membuatnya tidak bisa mengontrol senyuman yang hadir di wajahnya.
 
"Kamu ... cuti?" Chan tidak yakin harus memulai dugaan akan kehadiran Hongjoong di sisinya yang tengah menyetir.
 
Di satu sisi, Chan berharap kalau Hongjoong memang berada di Seoul karena cuti. 
 
Karena dirinya.
 
Namun, di sisi lain, Chan merasa kalau Hongjoong itu sama sepertinya yang jika fokus pada pekerjaan, tidak akan peduli dengan hal lainnya. Chan tidak ingin berharap bahwa kehadiran Hongjoong karena....
 
"Iya," Hongjoong membelokkan mobil dan mereka sekarang memasukin area sungai Han, "aku cuti karena ada hal yang mengangguku di antara kita."
 
"Maksudmu?"
 
"Mungkin aku bisa dibilang cemburu?" Perkataan Hongjoong itu sejujurnya tidak diduga oleh Chan untuk didengarnya.
 
Chan tidak tahu harus merasakan apa pada saat ini. Di satu sisi, Chan berbohong kalau tidak merasa senang kalau Hongjoong bisa merasa cemburu kepadanya karena selama mereka berhubungan, lelaki itu benar-benar tenang. Begitu tenang sehingga seringkali membuat Chan berpikir mungkin sebenarnya Hongjoong tidak mencintainya dan menerimanya hanya karena merasa kasihan. Namun, di sisi lainnya, Chan sejujurnya tidak tahu alasan Hongjoong harus merasa cemburu kepadanya.
 
Rasanya dia tidak melakukan hal apa....
 
Oh, mungkin maksudnya Minho?
 
"Hongjoong." Chan memanggil Hongjoong yang dijawab dengan gumaman, tanda bahwa didengarkan. "Kamu cemburu dengan Minho?"
 
"Ya, dia." Hongjoong menghentikan laju mobil dengan perlahan dan memarkirkan di tempat yang diperbolehkan. Setelah terparkir sempurna, Hongjoong melepaskan sabuk pengamannya dan menatap Chan. "Aku tidak suka dengannya dan membuatku yang biasanya tidak ingat punya jatah cuti, dua minggu belakangan memaksa HRD memberitahuku seberapa banyak hariku bisa cuti."
 
"Joong, kami cuma teman kerja dan...."
 
Perkataan Chan tidak selesai karena Hongjoong memotongnya. "Apakah perasaanku tidak valid, Christopher Bang?"
 
Chan tidak segera memberikan jawaban dan membiarkan Hongjoong yang menatapnya dengan kesal sembari bersedekap. Rasanya Bangchan tidak bisa percaya bahwa Hongjoong bisa bersikap seperti sekarang di depannya, karena itu bukanlah seperti yang diingatnya selama ini.
 
"Joong." Chan akhirnya mencoba memecahkan keheningan di antara keduanya. "Do you love me that much?"
 
"You..." Hongjoong mendelik dan tidak lama kemudian, Chan mengaduh karena dipukul olehnya. Meski Hongjoong tubuhnya lebih kecil dari Chan, tetapi kalau soal memukul tenaganya tidak pernah main-main. "Can you ask stupider questions?"
 
Chan memang meringis karena Hongjoong melanjutkan pukulannya, tetapi bodohnya malah membuatnya tertawa. Saat akhirnya tangan Hongjoong bisa Chan tangkap dan tatapan keduanya bertemu, dia tersenyum. Membuat Hongjoong akhirnya hanya bisa menghela napas dan memasang eskpresi yang biasanya diperlihatkannya kalau mendengar hal yang dianggapnya tidak perlu ditanyakan karena terlalu bodoh.
 
"I'm sorry, Joong." Chan tersenyum dan Hongjoong menatapnya dengan ekspresi sinisnya, "Aku pikir kamu sudah tidak menginginkanku."
 
"Kalau memang itu benar, aku tidak akan memutuskan untuk jadi engineer, bodoh!" Hongjoong menarik tangannya dari Chan dan mematikan mesin mobilnya. Membuka pintu, lalu melihat Chan, "Turun. Katamu kalau kita ketemu mau makan ramen di pinggir Sungai Han."
 
"You remember it?"
 
"I remember fcking everything, Christ." Hongjoong keluar dari mobil dan kemudian menutup pintu mobilnya dengan kasar sehingga suaranya terdengar nyaring.
 
Membuat Chan hanya bisa menghela napas sembari menggelengkan kepalanya, kemudian menyusul Hongjoong keluar dari mobil. Tentu tidak membanting pintu mobil seperti Hongjoong karena tidak melihat urgensinya. Saat Chan akhirnya berada di samping Hongjoong—yang sebenarnya agak mengherankan lelaki itu mau menunggunya karena biasanya kalau sedang kesal, dia biasa ditinggalkan—dan akhirnya tidak bisa menahan rasa penasarannya.
 
"Tumben kamu menungguku, Joong."
 
"Kamu yang tahu jalannya."
 
Sebenarnya Chan tahu itu hanyalah alasan, tetapi Chan memutuskan untuk melangkah terlebih dahulu. Namun, akhirnya memutuskan berhenti sampai Hongjoong menyusulnya. Hanya saja, sepertinya Hongjoong masih kesal dengan Chan sehingga tidak mau berada di sampingnya dan membuatnya akhirnya menarik sebelah tangan Hongjoong untuk digandengnya. Memasukkan tatangan mereka yang bertaut ke saku hoodie abu-abunya yang dipakai dan pura-pura tidak tahu reaksi wajah Hongjoong yang sempat terlihat panik, lalu sekarang berusaha terlihat biasa.
 
Meski warna wajah Hongjoong tidak akan pernah bisa berbohong kepada Chan. Meski cahaya yang minim di sepanjang jalan mereka lalui, Chan bisa melihat wajah Hongjoong yang memerah yang membuatnya tersenyum lebar.
 
"Berhenti tersenyum, bodoh." Perkataan Hongjoong justru membuat Chan tidak bisa menahan tawanya. "Jangan tertawa atau aku tendang kamu!"
 
"Teryata masih tsundere," ejek Chan yang kemudian menahan tangan Hongjoong yang hendak melepaskan diri darinya, "pakai sebelah tanganmu kalau mau memukulku. Sebelahnya masih aku mau pegang."
 
Meski Chan sudah memberikan izin untuk dipukul—yang kemungkinan akan membuatnya merasa pegal di pagi hari nanti—nyatanya Hongjoong tidak melakukannya. Justru dia mendengarkan gumaman Hongjoong yang diperuntukkan kepadanya dan membuat Chan tertawa.
 
"Well, love make us look stupid, right?"
 
 
Read More

Hampir Melakukan Hal yang Akan Disesali

Tuesday, June 1, 2021

No comments

Sebenarnya Chan agak heran karena grup Kakao yang hampir tidak pernah diam, hari ini begitu sepi. Bahkan Felix yang biasanya akan memberikan kabar kepada semua orang kalau dia tengah memanggang kue—meski Chan tidak tahu hari ini jadwalnya atau tidak—dan pasti membuat semua orang muncul untuk merespon.

Tadinya Chan ingin mampir ke dorm yang lain untuk mengecek keadaan yang lain. Hanya merasa khawatir kalau ketenangan yang didapatkannya sekarang bukanlah jenis ketenangan yang baik, tetapi pada akhirnya Chan berjalan menuju dorm yang merupakan tempatnya tinggal bersama anggota yang lain.

Mereka baru-baru ini pindah dan setiap orang memiliki kamar masing-masing untuk memiliki sedikit wilayah privasi. Hal yang tentu diperlukan untuk mereka yang kehidupannya hampir tidak memiliki privasi lantaran semua orang tertarik untuk mengetahui tentang mereka melebihi hal yang telah diberikan. Meski mencoba berpikir sepositif apa pun bahwa orang-orang yang penasaran dengan kehidupan mereka sampai melewati batas privasi itu karena cinta, tetap saja itu rasanya salah.

Tidak ada yang pernah bilang kepadanya kalau menjadi idola berarti hampir tidak bisa memiliki privasi.

Chan merogoh sakunya untuk mengambil kartu akses apartemen yang menjadi dorm-nya. Sepertinya karena terlalu banyak hal yang dipikirkan, Chan tidak sadar juga mengambil ponsel dari sakunya dan menjatuhkannya tepat saat menempelkan kartu akses ke pintu. Pintunya terbuka, tetapi Chan tidak langsung masuk karena memungut ponselnya dan kemudian menghela napas panjang.

Foto yang menjadi lock screen ponselnya adalah kumpulan polaroid antara dirinya dengan Hongjoong semasa SMA. Dulu mereka pernah berjanji untuk debut bersama dan menjadi pendukung untuk satu sama lainnya. Namun, Chan sampai detik ini tidak pernah paham dengan keputusan Hongjoong yang keluar dari agency dan memutuskan untuk berkuliah Teknik Perminyakan di SNU. Lalu setelah lulus malah memutuskan untuk meninggalkan Seoul dan bekerja di Doha, 8 jam waktu tempuh menggunakan pesawat dan perbedaan waktu 6 jam yang membuat Chan terjaga setiap malam. Hanya untuk terus bisa berkomunikasi dengan Hongjoong di waktu yang tepat untuk lelaki itu.

"Sebenarnya, aku tahu apa tentangmu, Joong?" Chan bergumam dan mengantongi ponselnya. Masuk ke dalam apartemen dengan lampu yang telah dimatikan.

Membuat Chan mengernyit, karena ini masih terlalu awal untuk anggotanya tidur—apalagi mengingat Changbin dan Jisung yang tinggal bersamanya—dan saat membuka pintu kamarnya, ruangannya menjadi gelap. Chan dan kebiasaannya selalu menyalakan lampu kamarnya seringkali dimarahi oleh Minho karena membuang-buang energi dengan percuma.

"Oh, hai Minho." Chan tersenyum saat menyalakan lampu dan menemukan lelaki itu di kamarnya.

Meski sejujurnya dia merasa kaget dengan kehadiran Minho, karena rasanya mereka sudah memiliki kamar masing-masing. Apalagi kamar Chan bukanlah definisi kamar yang akan disukai oleh Minho karena nuasa yang gelap—dominan warna abu-abu serta hitam—dan juga karena kondisi kamarnya yang berantakan.

Menghampiri Minho dan menyodorkan ice americano yang dibelinya saat perjalanan pulang. "Kali ini one shot, oke. Kamu sudah terlalu banyak minum kopi hari ini."

"Enggak ada rasanya kalo cuma satu, Chan." Protes Minho, tetapi menerima gelas yang diberikan kepadanya. "Makasih udah dibeliin."

"Santai aja."

Chan memutuskan untuk duduk di lantai kamarnya yang dilapisi oleh karpet berbentuk Squidward yang diinjak-injak oleh warga Bikini Bottom. Dihadiahkan oleh Hongjoong untuknya saat berulang tahun ke 19. Meski Hongjoong bilang dia membelinya di seorang artist yang dilihatnya di internet, tetapi Chan bukannya tidak tahu kalau lelaki itu yang membuat karpet tersebut karena terus bercerita tentang adegan tersebut karena lucu.

Kebiasaan Chan kepada orang yang sudah dianggapnya sangat dekat, selalu mengulang cerita yang sudah disampaikannya sampai mendapatkan respon yang diinginkannya. Hal yang sudah Chan tidak lakukan sejak debut beberapa tahun yang lalu lantaran tahu akan membuat orang lain jengkel kepadanya.

Juga karena Chan melihat sendiri jemari Hongjoong yang hampir semuanya ditutupi dengan plester karena tertusuk jarum. Meski Chan bertanya apa itu karena membuat karpet untuknya, Hongjoong bilang itu karena kecerobohannya di dapur. Entah karena memang benar-benar karena kecelakaan di dapur atau karena Hongjoong tahu kalau Chan akan merasa bersalah jika diberitahu yang sebenarnya.

"Mikirin apaan?" Teguran Minho membuat Chan kembali kepada masa sekarang. Membuat tatapannya beralih dari karpet berbentuk Squidward kepada Minho yang duduk di tempat tidurnya. Chan hanya tersenyum, karena melihat gelas minuman yang diberikannya, isinya sudah tinggal es batunya. "Gak usah senyum seolah gak ada apa-apa, padahal lagi mikirin banyak hal."

Meski mendengar perkataan Minho yang seperti itu, Chan tetap tersenyum. Sejujurnya, dia merasa serba salah jika berhadapan dengan Minho, karena tidak seperti orang-orang sekitarnya pikirkan bahwa Chan tidak sadar perasaan lelaki itu kepadanya. Chan sadar serta sialnya, dia tidak bisa melakukan apa pun untuk memberikan batasan atau menghindari lantaran agensi mereka yang tiba-tiba memasangkannya dengan Minho karena fans grup mereka menganggap interaksi mereka yang lucu.

Lalu entah bagaimana ceritanya, jarak mereka semakin menipis dan Chan terbelalak dengan yang dilakukan Minho. Bibir mereka bertemu dan sejujurnya dititik ini, Chan ingin menyerah memikirkan Hongjoong. Setidaknya, saat ini ada yang benar-benar menginginkannya dan selalu ada untuknya. Perlahan Chan memejamkan mata dan hendak mengikuti suasana yang tercipta saat ini.

Namun, nyatanya suara pesan masuk membuat mata Chan terbuka kembali dan mendorong Minho untuk memberi jarak di antara mereka. Menoleh untuk melihat pesan yang masuk dan begitu melihat nama yang tertera serta pop up pesan terakhir yang ditampilkan, Chan langsung berusaha untuk berdiri. Karena gerakannya yang tiba-tiba, dia terhuyung dan kepalanya sedikit pusing.

Hanya saja, itu tidak membuat kakinya berhenti untuk melangkah—tidak, leboh tepatnya berlari—keluar dari kamarnya dan segera mengambil sepatunya di lantai. Keluar dengan tergesa-gesa, meninggalkan Minho sendirian di kamarnya dan Chan tidak memikirkan hal lain selain turun ke basement secepatnya.

"Brengsek!" Maki Minho dan menghela napas kasar. Melihat karpet yang berbentuk Squidward yang terinjak-injak yang Minho tahu siapa yang membuatnya dan melemparkan gelas plastik yang isi esnya sedikit mencair. "Aku membencimu ... AKU MEMBENCIMU KIM HONGJOONG!"
 
 
Read More

Ternyata, Bukan Hanya Dia yang Menyadari Rencana Itu

Wednesday, May 19, 2021

No comments

Minho melempar ponselnya ke ranjangnya. Kesal karena membaca pesan dari Seonghwa, meski seharusnya tidak ada perasaan apa pun yang dirasakan olehnya. Mereka sudah selesai sejak lama dan Seonghwa yang bersikap egois dengan mengingkari janjinya.

"Minho hyung, kenapa?" Changbin menatapnya dengan takut-takut yang membuatnya mengingat bahwa tadi dia meminta Felix untuk memanggil lelaki itu ke kamarnya. "Aku tidak melakukan hal berbahaya bersama Hyunjin, sungguh! Kalau tidak percaya, tanya Jisung."

Kalau ini dalam keadaan biasa, Minho pasti mendesak Changbin untuk menceritakan hal yang didengarnya barusan. Namun, dia menghela napas dan memutuskan untuk mengabaikan perkataan Changbin karena bukan itu tujuannya memanggil lelaki itu.

"Hari ini, kamu bantu Felix untuk membuat cookies di dorm sebelah."

Changbin menatap Minho dengan kebingungan, lalu kemudian matanya bergerak tidak tentu arah selama beberapa saat. Minho menghela napas, sudah menduga akan mendapatkan reaksi seperti ini dan baru akan mengatakan alasannya, Changbin berkata, "Oke, hyung."

Minho menyipitkan matanya. Rasanya aneh mendengar Changbin langsung mengiyakan tanpa memberikan bantahan, tetapi dengan cepat Minho menahan dirinya untuk mempertanyakan sikap lelaki itu. Karena Changbin dan menurut itu tidak pernah bisa disandingkan bersama. Setidaknya, harus ada argumen yang masuk akal untuk Changbin untuk bisa membuatnya menuruti perkataan seseorang.

"Minho hyung...," panggilan itu membuatnya menatap Changbin, "aku ke sebelah ya. Aku rasa yang lainnya berkumpul di sana, tetapi belum tentu membantu Yongbok."

"Seperti kamu bukanlah jajaran yang suka memakan adonan cookies Yongbok."

"Aku hanya memastikan rasanya oke." Changbin membela diri, lalu melirik jam yang berada di dinding. "Chan hyung sepertinya pulang sebentar lagi, jadi aku pergi ya, Minho hyung."

"Oke."

Changbin berbalik dan berjalan menuju pintu. Namun, setelah membuka pintunya, Chanbin tidak langsung keluar dan berbalik untuk memandang Minho. Mungkin lelaki itu sadar hal yang akan terjadi, sehingga Minho memutuskan untuk memandang ke arah lain.

"Hyung, kamu tahu kalau aku menyayangimu, 'kan?" Sejujurnya, Minho tidak menduga akan mendengar perkataan Changbin seperti ini. "Jadi, aku harap hyung tidak melakukan hal yang disesali di masa akan datang."

Minho tidak menjawab dan kemudian mendengar suara pintu yang tertutup. Menutup matanya dan menghela napas panjang, Saat membuka matanya, Minho menyakinkan diri sendiri bahwa tidak ada yang perlu disesali dengan hal yang direncanakannya.

Read More

Welcome to Moontory!

Tuesday, May 18, 2021

No comments

Selamat datang ke moontory!

Kalau kalian membuka blog ini lantaran membaca dari sosmed AU di Twitter (entah dari shxleav atau dari moonleaverse), maka ini adalah postingan yang sengaja dibuat untuk memudahkan kalian mencari hal-hal yang diinginkan.

Blog ini dibuat pada bulan Februari 2020 dan tadinya berfungsi untuk menampung cerita-cerita Produce Series. Namun, belakangan saya juga menyukai grup lain dan setelah mengalami naik turun selama tahun 2020, akhirnya blog ini kembali diaktifkan kembali.

Terima kasih karena telah meluangkan waktu berkunjung kemari ya.
 
Dengan sayang,
Azalea Shen. 
Read More

Ada Ragu untuk Menghubunginya Duluan

Saturday, May 15, 2021

No comments

Hongjoong menghela napas panjang dan membaca kembali pesan yang dikirimkan oleh Seonghwa. 

Dia kembali ke Seoul bukan karena tteoppoki seperti yang dipikirkan Seonghwa. Bukan juga karena menghabiskan jatah cutinya dan tidak punya tujuan untuk berpergian sendiri. Bahkan Hongjoong yang selama ini selalu berakhir dikerjar oleh HRD untuk mengambil jatah liburnya—atau berakhir hangus untuk tahun itu—justru yang meminta jadwal cutinya segera diterima. Membuatnya harus menyelesaikan banyak hal untuk memastikan saat kembali ke Seoul, tidak akan ada orag yang meneleponnya karena pekerjaan.

Menyimpan ponselnya di kantong. Berjalan menuju mall yang masuk dalam kategori mewah di Seoul—tetapi tidak di Doha—dan langkahnya terhenti saat melihat iklan besar di dinding salah satu merek makeup yang menjadikan grup Chan sebagai modelnya. Seharusnya Hongjoong senang karena Chan bisa lebih dikenal oleh orang-orang dan menjadi populer. Namun, melihat gambar Chan yang bersama dengan seseorang yang belakangan menjadi kapal buatan agensi untuk para fans grup SKZ nyatanya tidak membuatnya tenang. Bahkan, sejujurnya gambar inilah yang membuat alasan Hongjoong berada di Seoul.

"Banginho...," Hongjoong bergumam, lalu menghela napas dan melihat ke arah lain, "dunia perkapalan antar idol yang memuakkan."

Hongjoong berjalan kembali dan melangkah menuju salah satu toko yang menjual parfum. Sebenarnya Doha bukannya tidak mempunyai toko parfum, tetapi dia lupa membawa parfumnya. Begitu menemukan yang dicarinya, Hongjoong langsung mengambilnya dan memasukkan ke tas belanja toko tersebut. Tidak ada SPG yang mengikutinya karena Hongjoong sudah meminta untuk tidak diikuti dan biasanya, kalau hal yang diinginkannya telah ditemukan, dia akan pergi.

Kali itu, Hongjoong memutuskan untuk berkeliling dan sampai di deretan merek parfum yang Chan gunakan. Membuat Hongjoong melangkah menyusuri rak untuk menemukan milik Chan, meski tahu kemungkinan dia sudah memiliki banyak botol yang sama dari kiriman penggemarnya atau mungkin malah seleranya sudah berubah.

Setelah membayar parfum yang dipilihnya, Hongjoong berjalan menyusuri mall. Sebenarnya Hongjoong tahu tujuannya, tetapi merasa ragu untuk pergi.

Haruskah Hongjoong menelepon terlebih dahulu untuk keempat kalinya dan berakhir mendengar suara orang lain lagi?

Haruskah Hongjoong mengirimkan pesan terlebih dahulu untuk bertemu, hanya untuk mendengarkan kata perpisahan setelah selama ini dia berjuang dengan caranya?

Akhirnya, Hongjoong mengambil ponselnya dari saku, lalu membuka pesan Kakao milik Chan yang sejak kemarin diabaikannya. Tanggal 13, dia memang pergi bersama beberapa orang dari lapangan untuk mengunjungi bosnya yang merayakan hari besar keagamaannya. Tanggal 14, Hongjoong perjalanan dari Doha ke Incheon dan saat sampai di rumahnya, sudah tidak punya tenaga untuk memberikan kabar karena langsung tertidur. Membalas pesan Seonghwa juga karena dia dalam perjalanan dari Incheon ke Seoul.

"Kalau kita tidak dalam hubungan, aku tidak akan berada di sini." Hongjoong tahu perkataannya sembari melihat ponsel tidak akan diketahui oleh Chan karena dirinya tidak mengirimkan pesan suara. "Aku berada di sini karenamu, bodoh."

Hongjoong mengetikkan balasan, tetapi kemudian menghapusnya. Mencoba mengetiknya, tetapi kembali berakhir dihapusnya dan hanya bisa menghela napas.

"Brengsek," maki Hongjoong dan menyimpan ponselnya di saku, "Seonghwa bisa menertawakanku karena manusia tidak punya takut sepertiku, takut mengirimkan pesan kepadanya."


Read More

Mereka yang Bukan Hanya Jauh Raganya, Tetapi Juga Hati Keduanya

No comments

Sebenarnya, mereka sekarang apa?

Chan berbohong kalau dia sekarang tidak merasa gundah karena tidak ada kejelasan tentang dirinya dan juga Hongjoong. Meski mereka berhubungan jarak jauh dengan beda waktu enam jam, Chan yang harus menyembunyikan hubungannya dari fansnya, tetapi dia selalu berusaha untuk terus menghubungi Hongjoong. Hanya untuk menyadari bahwa tidak pernah pada momen yang tepat.

Meski sudah menyepakati waktu untuk saling menghubungi satu sama lain, selalu akhirnya tidak pernah benar-benar optimal. Kalau tidak Chan yang mendadak mendapatkan jadwal bersama grupnya, Hongjoong yang tiba-tiba harus melakukan hal lainnya bersama teman-temannya saat waktu liburnya.

Bahkan perhitungan waktu libur Chan dan Hongjoong berbeda.

Apa sesulit ini untuk menjalani hubungan seperti ini?

"Hyung, kenapa?" Chan menoleh dan melihat Felix yang menatapnya dengan khawatir. Membuat Chan hanya bisa tersenyum, apalagi saat mendengar, "Jangan selalu tersenyum dan menyimpan semuanya sendiri, hyung. Aku bisa mendengarkan ceritamu kapan pun."

"Aku tidak apa-apa, Yongbok."

"Pembohong."

Chan hanya tertawa melihat Felix yang cemberut dan sedikit kaget saat dipeluk olehnya. Meski tahu kalau anggotanya ini suka memeluk orang-orang yang dikenalnya, tetapi Chan seringkali tetap merasa terkejut jika dipeluk.

Mendadak, Chan mengingat kapan terakhir kali memeluk Hongjoong?

"Kesedihan ... pergi pergi dari Chan hyung," suara Felix membuat lamunan Chan buyar dan dia tertawa. Felix memang selalu tahu caranya membuat suasana menjadi lebih menyenangkan dan Chan merasakan punggungnya ditepuk-tepuk pelan, "Jangan memendam sedihnya lagi, hyung. Kalau tidak ingin membicarakannya padaku, bisa membicarakannya kepada orang yang membuat hyung bersedih."

Chan mendengarnya hanya tersenyum, meski kepalanya bertanya-tanya sendiri.

Bisakah untuk berbicara dengan Hongjoong tentang perasaannya tanpa harus merasa momen yang dilakukannya tidaklah tepat?
Read More

Hello Again

No comments
Saya pikir, tidak akan pernah kembali menulis di sini, tetapi lihat siapa yang memutuskan untuk kembali?
 

Terakhir menulis di sini bulan Oktober 2020 dan sekarang sudah May 2021. Wow ... waktu benar-benar berlalu dengan cepat ya. Sebenarnya menuliskan ini juga tidak yakin akan ada yang membacanya sih, tetapi yasudahlah.

Jadi, sebenarnya saya masih menulis cerita, hanya saja lebih di Wattpad daripada di Twitter. Sejujurnya saya lelah menuliskan sosmed AU karena memang itu bukanlah hal yang mudah. Menurut saya, membuat sepenuhnya narasi lebih mudah daripada sosmed AU. 

Selain itu, saya juga menyukai grup baru dan berakhir membuat akun Twitter baru untuk menuliskannya. Saat menuliskan hal ini, saya sedang mencoba kembali untuk menulis sosmed AU yang sudah terlantar. More Than Okay akan saya usahakan untuk diselesaikan. Juga saya nekad kembali menuliskan sosmed AU yang baru, tetapi bukan untuk PDX.

Memang saya tidak pernah bagus disandingkan dengan komitimen, sigh.

Semoga setelah ini, saya akan kembali aktif mengisi blog ini kembali ya.
Read More