Pagi Hari Minggu Itu

Thursday, October 22, 2020

No comments

Bunyi bel di apartemen membuat Wooseok yang tengah menyiapkan bekalnya, menghentikan kegiatannya. Menatap jam di dindingnya dan ternyata Jinhyuk datang tepat waktu. Saat membuka pintu, Jinhyuk tersenyum kepada Wooseok dan dia tidak mengatakan apapun. Membuka pintu apartemen lebih besar sehingga Jinhyuk bisa masuk dan Wooseok berjalan terlebih dahulu.

"Aku masak nasi goreng soalnya gak mau buang nasi," Wooseok menjelaskan saat Jinhyuk menatap meja makan sudah ada dua piring nasi goreng, "dan kamu kursi sebelah kiri. Telur matang, tapi gak kering dan pakai micin bukan garam."
 
"Kamu masih ingat?"
 
"Andai melupakanmu adalah hal mudah."
 
Jinhyuk mendengarnya hanya meringis, meski tidak bisa memungkiri kalau dirinya merasa senang. Wooseok baru duduk di depan Jinhyuk beberapa saat kemudian dan selama masa menunggu, lelaki itu melihat-lihat area dapur yang desainnya sama persis seperti miliknya. Namun, pengamatannya terus berlanjut, tetapi kali ini berpindah ke arah Wooseok yang tengah makan di depannya sembari melihat HP-nya.

Dia pikir, semua hal yang pada Wooseok itu sama seperti terakhir diingatnya. Namun, saat mengamati Wooseok dari jarak seperti ini, Jinhyuk sadar bahwa semuanya telah berubah. Tentang kebiasaan makan Wooseok yang biasanya anti memegang HP, sekarang memegang HP sembari jari-jarinya mengetikkan sesuatu. Wajah Wooseok juga sedikit berbeda karena ada riasan yang tidak tebal, terutama bagian matanya yang menggunakan eye shadow berwarna natural, tetapi ada kilau dari glitter yang entah di mata Jinhyuk terlihat tepat berada di kelopak mata lelaki itu.

"Kamu mau mulai makan kapan?" suara itu membuat Jinhyuk kaget dan Wooseok sekarang menatapnya dengan galak. Membuat Jinhyuk tanpa sadar tersenyum, karena Wooseok yang dikenalnya ternyata masih memiliki hal yang sama seperti terakhir kali diingatnya. "Aku enggak suka dilihatin saat makan dan kalau aku selesai makan, kamu belum menghabiskan makananmu, aku pergi sendiri."

"Astaga, jangan dong, Seok."

"Makanya mulai makan."

Jinhyuk meringis karena Wooseok memberikannya tatapan tajam. Salahnya memang karena mengamati Wooseok, tetapi mana bisa Jinhyuk mengabaikan lelaki itu kalau berada di jarak kurang dari satu meter dan seindah itu?

Kalau ada yang bisa dibilang untung, kecepatan makan Wooseok itu tetap sama seperti yang terakhir diingat Jinhyuk, cukup lambat dan ditambah dengan lelaki itu sering berhenti menyendokkan makanan ke mulut untuk mengeti sesuatu yang entah apa itu. Jinhyuk membuat asumsi, antara Wooseok membalas pesan seseorang di aplikasi chat atau ... membalas mention atau DM dari akun Twitter. Meski Jinhyuk masih kurang yakin kalau pemilik lunarzied adalah Wooseok, karena seingatnya lelaki itu selalu menulis antara kisah laki-laki dan perempuan.

Lalu, Jinhyuk tersadar kalau nasi goreng di piring Wooseok sisa sedikit dan membuatnya berusaha secepat mungkin makan. Berakhir tersedak dan Wooseok segera menyodorkan segelas air yang membuat Jinhyuk menandaskannya hingga habis. Saat tatapan keduanya bertemu dan napas Jinhyuk yang tersengal-sengal karena tersedak, Wooseok menghela napas panjang.

"Bodoh, makannya pelan-pelan aja."

"Kamu bilang mau ninggalin aku kalau kamu selesai duluan dari aku."

"Dan aku sudah berusaha dua kali lebih lambat dari biasanya, bodoh!" Jinhyuk tersentak saat mendengar Wooseok yang sedikit meninggikan suaranya, lalu melihat lelaki itu kembali menghela napas. "Makannya gak usah buru-buru. Aku tungguin meski aku habis duluan."

"Maaf, Seok."

"Aku sepertinya harus mempertegas kepadamu kalau kata maafmu tidak akan kuterima," Wooseok menatap Jinhyuk, "jadi daripada kamu mengumbar kata yang tidak aku terima, lebih baik lakukan dengan perbuatan untuk menunjukkan rasa sesalmu itu."

Jinhyuk tahu, kalau Wooseok sudah mengatakan seperti itu maka itu adalah keputusan final. Wooseok memang keras kepala seperti yang diingatnya dan kalau tidak bisa memberikan alasan yang valid untuk mengubah pandangannya, maka sikapnya akan tetap sama. Pada akhirnya, Jinhyuk hanya bisa tersenyum dan melanjutkan sarapannya tanpa kata. Wooseok juga tampaknya tidak ingin mengajak berbicara Jinhyuk dan seharusnya suasananya terasa aneh.

Namun, nyatanya Jinhyuk merasa begini lebih baik. Karena setidaknya mereka masih berhadapan satu sama lain, hal yang bahkan tidak pernah Jinhyuk bayangkan bisa terjadi lagi setelah kejadian waktu itu. Pada akhirnya, Wooseok selesai makan terlebih dahulu dan beranjak untuk mencuci piringnya. Saat kembali, Jinhyuk sudah menghabiskan sarapannya dan dia dengan cepat mengangkat piringnya saat Wooseok hendak mengambilnya.

"Aku yang cuci piringnya sendiri."

"Oh, oke."

Setelah mencuci piring, akhirnya mereka berdua keluar dari apartemen Doyoung dan berjalan bersisian menuju lift. Sembari menunggu, Jinhyuk melirik Wooseok yang masih memegang HP dan dia bisa melihat Twitter yang terbuka, foto profil gambar berwarna hijau yang sepertinya memang lunarzied.

"Kenapa serius sekali mengintip HP-ku?" pertanyaan itu membuat Jinhyuk salah tingkah dan berakhir mengusap tengkuknya. "Kenapa aku tanya, Jinhyuk?"

"Kamu ... lunarzied?"

"Bukannya kamu sudah tahu?" 
 
Wooseok tampak tidak terganggu dengan pertanyaan Jinhyuk dan masuk ke dalam lift yang pintunya terbuka. Jinhyuk segera menyusul langkah Wooseok dan berdiri di sebelahnya. Waktu itu dia memang hanya asal menebak lunarzied adalah Wooseok, tetapi kenapa saat tahu kebenarannya malah merasa lega? Seolah selama ini meski mereka tidak mengetahui keberadaan satu sama lainnya, tetapi tetap terhubung di tempat yang paling tidak terduga.

"Seok, serius kamu lunarzied?" Jinhyuk benar-benar penasaran sekarang. "Kenapa sekarang kamu mainnya di rps? Bukannya dulu mengambil jalur umum?"

"Bosan di jalur umum."

"Loh kenapa?"

"Memangnya orang bosan butuh alasan?"

Jinhyuk tidak menjawab karena pintu lift terbuka di lantai 1 dan orang lain yang berada di dalam lift bersama mereka, keluar. Keduanya tidak keluar karena menuju lantai dasar. Pintu lift kembali tertutup dan Jinhyuk memilih untuk menatap Wooseok dari sisi ini. Entah memang fungsi makeup untuk memperindah seseorang atau memang pada dasarnya Wooseok sudah indah, rasanya Jinhyuk bisa memandangi lelaki itu seharian.

Pintu lift kembali terbuka dan Wooseok melangkah duluan, kemudian berhenti dan menoleh ke arah Jinhyuk. Membuatnya khawatir kalau membuat Wooseok marah karena terang-terangan mengamatinya tadi. Kemudian, Jinhyuk merasa lega saat mendengar perkataan Wooseok, "mobil kamu yang mana? Aku gak tahu."

"Tunggu di sini aja, aku keluarin mobilku dulu dari parkiran."

"Kelamaan, aku ikutin kamu aja."

Jinhyuk mendengarnya hanya tersenyum dan berjalan lebih dahulu, tetapi tidak melangkah secepat biasanya karena ingin Wooseok berjalan di sisinya. Kecepatan jalan Jinhyuk itu di atas rata-rata orang biasa, jadi seringkali mendapatkan protes untuk memelankan jalannya atau membuat terpisah dari rombongan. Biasanya, Jinhyuk selalu beralasan kalau tidak bisa mengatur kecepatannya, padahal kenyataanya dia hanya tidak ingin melakukannya.

Karena orang yang bisa membuat Jinhyuk memelankan langkahnya hanyalah Wooseok dan dia tidak ingin memberikan privilese itu kepada orang lain.

Jalanan hari Minggu cukup lengang dari hari biasanya dan sampai di tujuan lebih cepat dari biasanya. Meski sepanjang jalan keduanya tidak berbicara apa pun, tetapi Jinhyuk tidak mempermasalahkannya karena mendengar Wooseok yang bergumam mengikuti lagu yang diputar di radio. Namun, Wooseok tidak kunjung turun dari mobil meski sudah melepaskan sabuk pengaman dan membuat Jinhyuk bingung.

Baru Jinhyuk ingin bertanya ada apa, Wooseok sudah berkata, "kamu mendingan cari hotel terdekat terus tidur."

"Ya?"

"Kamu mungkin bisa membohongi orang lain, tapi aku lihat kamu sejak tadi berusaha menahan kuap." Wooseok menatap Jinhyuk, lalu tersadar dia memilih kata yang mungkin tidak dimengerti. "Kuap itu maksudku menguap."

"Eh? Iya, makasih udah dijelasin."

Wooseok membuka pintu, dan mengeluarkan salah satu kakinya. Lalu, kembali menatap Jinhyuk, "aku enggak tahu alasanmu tidak tidur kemarin, tetapi kalau masih karenaku, aku minta maaf."

Jinhyuk ingin menjelaskan bukan seperti itu (meski memang benar perkataan Wooseok), tetapi lelaki itu sudah keluar dari mobilnya dan menutup pintu. Jinhyuk terdiam dan memandang Wooseok yang berjalan menjauh dari mobil dari kaca depan. Seharusnya, Jinhyuk tidak tersenyum karena membuat Wooseok merasa bersalah karena mengira dirinya tidak tidur karena lelaki itu, tetapi tubuhnya sepertinya punya pikiran sendiri.

Bohong kalau Jinhyuk tidak senang karena dikhawatirkan oleh Wooseok.
Read More

Menerima dan Memaafkan Adalah Dua Hal Berbeda

Wednesday, September 30, 2020

No comments


Wooseok menghela napas saat melihat kartu yang menjadi bukti kehadiran di tempat kerja. Meski menggunakan fingerprint untuk kehadiran, tetapi untuk bisa diizinkan pulang di pos pengamanan, Wooseok dan semua karyawan harus memperlihatkan tanda tangan dari pihak managemen. Sungguh sangat merepotkan, tetapi Wooseok mencoba menenangkan diri bahwa sebentar lagi dirinya bisa kembali bekerja di tempat biasanya. Berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya dan melakukan demo makeup. Bukan terjebak di satu tempat dan melakukan hal yang sama secara berulang-ulang.

"Apa gue ke dokter dulu ya?" gumam Wooseok karena sejak pagi selalu bersin dan kebetulan saat memegang keningnya, agak terasa hangat. "Tidur di lemari memang ide yang buruk."

Wooseok mengambil tasnya dari loker, lalu menguncinya. Mengantongi kuncinya dan memperlihatkan kartu yang sudah ditanda tangani managemen ke pihak keamanan, membiarkan badannya diraba untuk diperiksa dan lalu kemudian menanda tangani kertas yang berisi jam kepulangannya. Lalu baru ke mesin fingerprint untuk mengisi data di sistem waktu kepulangannya. Sungguh memusingkan sekali sistem di mall tempatnya bekerja dan untungnya Wooseok bisa pulang tepat waktu.

Menunggu gojek yang dipesannya di depan mall sembari menimbang apa harus mengirimkan pesan kepada Doyoung kalau dirinya akan ke klinik untuk mengecek keadaannya. Namun, pada akhirnya Wooseok tidak memberitahukan Doyoung karena cuitan di akunnya seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi tanda kalau dirinya agak tidak baik-baik saja. Lagipula lelaki itu katanya sedang menghadiri gathering yang diadakan kantornya, padahal Doyoung maunya tidur saj karena lembur di hari Jum'at adalah hal yang paling menyebalkan.

Kalau begini saja, Wooseok merasa bersyukur tidak bekerja sesuai bidangnya. Wooseok dengan mood swing yang kadang tidak bisa terkontrol dan kurang tidur adalah sama saja menambahkan bara untuk membuatnya semakin menyebalkan sebagai seorang manusia.

Gojek yang ditunggu akhirnya tiba dan sebentar saja Wooseok sudah berada di klinik langganannya kalau merasa tubuhnya tidak baik-baik saja. Menyapa semua pegawai klinik yang dilihatnya dan sebentar saja dirinya sudah berada di ruangan dokter. Menjelaskan apa yang terjadi hari ini (dan meski sebenarnya Wooseok tidak ingin mengakui bagian tertidur di lemari, tetap saja pada akhirnya dia mengaku) dan dokternya hanya menganggukkan kepala.

Sepertinya sudah terbiasa dengan kerandoman yang Wooseok lakukan, karena memang selama ini penyebab sakitmnya rata-rata karena sikapnya yang tidak bisa dikatakan biasa.

"Tubuhmu sepertinya kurang fit karena ... ya kamu mengertilah," dokter yang bernama Yohan itu tidak secara gamblang mengatakan penyebab sakitnya (karena sepertinya sudah terlalu capek untuk memberikan ceramah singkat untuk tidak melakukan hal seperti itu) dan menuliskan sesuatu di kertas resep, lalu menyerahkan kepada Wooseok, "aku meresepkan vitamin dan kalau bisa jangan melakukan hal random seperti itu lagi ya."

"Akan aku usahakan, dokter Yohan."

Saat keluar dari ruangan dokter, Wooseok berjalan menuju apotek. Seperti biasa, pasti ramai dan Wooseok memutuskan membuka aplikasi Evernote yang biasanya digunakan untuk menampung semua tulisannya. Mencoba mengetikkan apa yang ingin dituangkannya ke dalam tulisan, tetapi pada akhirnya memilih untuk menutup aplikasinya. Bukan karena tidak ada ide, tetapi karena namanya dipanggil untuk mengambil obat. Mendengarkan keterangan dari apoteker tentang obatnya yang harus diminum dan kemudian Wooseok berjalan ke kasir untuk membayar biaya pengobatannya.

Baru juga Wooseok selesai membayar obatnya, ada telpon masuk dan ternyata dari Doyoung. Begitu mengangkat, yang didengarnya adalah, "lo langsung pulang aja, gue hari ini pulang telat soalnya diajak makan sama divisi gue. Padahal gue butuh tidur, anjir!"

"Oh, oke."

"Mau gue bawain makanan gak?"

"Gak usah, gue mau masak sendiri."

"Oh yaudah kalo gitu. Gue tutup ya."

Wooseok tidak mengatakan apa pun karena suara sambungan telepon yang terputus. Dia menimbang apakah mampir ke supermarket di mall terdekat atau belanja di supermarket di area apartemen Doyoung sembari menatap aplikasi ojek online. Pada akhirnya Wooseok memutuskan untuk berbelanja di supermarket di area apartemen Doyoung karena dia sudah terlalu malas dengan kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya.

Meski sebenarnya di area apartemen Doyoung juga kemungkinan bertemu dengan yang dikenalnya juga ada, tetapi seharusnya kemungkinan itu lebih kecil. Jadi saat satu jam kemudian Wooseok sudah sibuk sendiri di supermarket untuk melihat-lihat bahan makanan untuk dipertimbangkan dibelinya, dia bersyukur karena....

"Wooseok?" panggilan itu membuat Wooseok menoleh dan mendapati Jinhyuk yang tengah memegang troli, menatapnya yang tengah berjongkok karena mengecek tanggal kadaluarsa yogurt. "Kamu juga belanja?"

Baru juga Wooseok ingin bersyukur karena tidak bertemu dengan yang mengenalinya, ternyata malah bertemu dengan orang terakhir yang ingin ditemuinya. Juga rasanya Wooseok ingin melontarkan balasan sarkastik karena pertanyaan Jinhyuk yang tidak bermutu itu.

"Kamu bisa lihat sendiri," Wooseok kemudian kembali fokus dengan kegiatannya, mengecek tanggal kadaluarsa dan mengambil tanggal terlama habis. Trik yang selalu dipakai Wooseok, jangan langsung mengambil yang dipajang di depan, tetapi cek bagian belakang karena biasanya masa kadaluarsanya berbeda. Memasukkan ke dalam trolinya dan menyadari Jinhyuk masih menatapnya, "ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?"

"Kamu apa ada waktu?"

"Kenapa?"

"Aku mau bicara sama kamu."

"Apa sekarang kita tidak tengah berbicara?" pertanyaan Wooseok itu mampu membuat Jinhyuk bungkam, kemudian membuatnya menghela napas. "Mau di mana? Aku belum makan, jadi kalau bisa jangan ajak aku ke tempat yang jauh."

"Mau tidak kalau makan di food court di daerah sini?"

Wooseok sebentar, karena tadinya niatnya adalah memasak di apartemen, tetapi kemudian menganggukkan kepalanya. "Oke."

Mereka kemudian berjalan beriringan dan membayar belanjaan masing-masing. Mendorong troli masing-masing ke daerah food court dan karena hari ini hari Sabtu, tentu saja ramai. Namun, setidaknya mereka mendapatkan meja dan Jinhyuk belum juga bertanya tentang menu, Wooseok sudah berkata, "nasi goreng spesial."

"Oh oke," Jinhyuk tampak terkejut, lalu kemudian tersenyum, "kamu gak berubah ya kalau sudah berhubungan dengan nasi goreng."

"Ya seleraku murah."

Setelah menyerahkan pesanan kepada pelayan, Jinhyuk menatap Wooseok yang memasang wajah datar. Membuatnya tidak bisa menahan senyumannya, karena seperti Wooseok yang selama ini diingatnya. Wooseok tidak akan berekspresi dalam keadaan diam, tetapi akan berbeda jika dia berbicara. Apalagi jika membicarakan topik yang disukai atau bergosip, wajahnya akan muncul berbagai ekspresi yang mungkin orang-orang tidak akan menyangka ada di diri Wooseok.

"Apa aku harus menontonmu tersenyum menatapmu?" pertanyaan Wooseok membuyarkan lamunan Jinhyuk dan kebetulan pesanan minuman mereka di antarkan ke meja. "Terima kasih, mbak."

"Ah, maaf, Wooseok."

"To be honest, aku masih belum memaafkan kamu," perkataan Wooseok itu membuat senyuman di wajah Jinhyuk perlahan memudar. Benar, mereka belum menyelesaikan masalah yang lalu dan sikap Wooseok yang menerimanya membuat Jinhyuk salah mengartikan..., "itu urusan kita yang belum selesai, tapi setidaknya sekarang kita sedang berproses."

Jinhyuk mendengarnya hanya bisa mengangguk dan menyedot teh esnya dengan gugup. Padahal Jinhyuk yang meminta waktu Wooseok untuk berbicara, tetapi dia sendiri yang gugup harus memulainya. 
 
"Jadi, mau ngomongin apa?"

"Aku tadinya mau minta maaf sama kamu," Jinhyuk menatap Wooseok, lalu tanpa sadar tersenyum getir, "tapi kamu sudah bilang belum memaafkan aku."

"Aku enggak mau munafik bilang memaafkan kamu, tetapi hati aku bilang belum."

"Iya, aku mengerti kamu tidak bisa memaafkan aku karena merusak kepercayaanmu."

"Yah, setidaknya kamu tahu kalau perbuatanmu salah," Wooseok menggendikkan bahunya sesaat, "aku masih proses mencoba maafin kamu, Jinhyuk. Menerima kamu ke dalam kehidupanku itu juga salah satu proses untuk menuju ke sana."

Jinhyuk ingin sekali bertanya apakah Wooseok tidak berniat untuk ditemukan olehnya meski semua hal tentangnya disimpan baik olehnya. Namun, Jinhyuk rasa itu bukanlah hal yang ingin didengar oleh Wooseok mengingat perkataan Doyoung yang bilang kalau lelaki itu akan sangat marah kalau orang lain membuka laci penyimpanannya.

"Aku harus apa untuk kamu bisa maafin aku, Wooseok?"

"Bersikap seperti biasa?" baru kali ini Jinhyuk mendengar suara Wooseok yang terdengar tidak yakin. "Aku juga sebenarnya bingung harus bagaimana dengan kamu. Di satu sisi aku masih menyimpan kemarah soal kamu yang merusak kepercayaan aku, di sisi lain aku juga mau kita berbaikan karena ini tidak bagus untuk mentalku."

Ah, lagi Jinhyuk teringat jika Wooseok menjadi sekarang karena perbuatannya. Mental Wooseok yang tidak stabil sampai tidak bisa bekerja di bidang sesuai dengan jurusan kuliahnya dan itu membuat Jinhyuk merasakan nyeri di dadanya.

"Aku tahu," Jinhyuk menatap Wooseok yang juga menatapnya dengan datar, "aku penyebab kamu seperti sekarang. Aku yang bikin mentalmu tidak baik-baik saja dan harusnya aku mengerti kenapa kamu mencoba menghindariku selama ini."

"Memangnya kamu tahu apa?" pertanyaan Wooseok itu membuat Jinhyuk terkejut. Karena ada nada gusar yang didengar oleh Jinhyuk. "Kamu itu sama seperti dahulu, selalu membuat asumsi sendiri dan mencocokkannya dengan keadaan. Padahal apa yang kamu pikirkan dan kenyataan memangnya seperti itu?"

"Wooseok, aku...."

"Mental aku memang bermasalah dan setelah pertengkaran itu aku baru tahu alasannya, tapi aku sudah punya itu jauh sebelum kenal kamu," tatapan Wooseok yang terasa dingin membuat Jinhyuk tanpa sadar menelan ludahnya, "dan itu juga bagian dari usahamu untuk cari tahu apa yang terjadi padaku setelah kita putus kontak. Karena jujur aja aku tidak mungkin sendirian berusaha memaafkan, sementara kamu tidak ada usahanya."

Jinhyuk terdiam, sementara Wooseok meminum es jeruknya. Mungkin merasa haus setelah mengatakan kalimat-kalimat panjang tanpa jeda. Pesanan mereka akhirnya datang ke meja dan keduanya makan dalam diam. Setelah selesai makan, Wooseok meminta struk pembayaran dan membayar bagiannya. Jinhyuk ingin sekali bertanya apa struk itu bernasib seperti struk-struk lainnya yang dilihatnya kemarin? Disimpan di laci kamarnya, tetapi Jinhyuk tidak mengatakan apa pun meski dirinya tersenyum.

"Wooseok," panggil Jinhyuk saat mereka berjalan bersisian menuju tower tempat mereka tinggal. Wooseok hanya menjawab dengan gumaman dan tidak menoleh ke arah Jinhyuk, "aku akan berusaha."

"Ya."

"Jadi sampai saat itu tiba, kamu jangan hilang lagi."

"Enggak berjanji," jawab Wooseok yang berbelok ke lobi tower dan Jinhyuk mengikutinya. Mereka membalas sapaan resepsionis, kemudian menunggu pintu lift terbuka, "terakhir aku mengiyakan janjimu, kamu melanggarnya."

Jinhyuk hanya bisa tersenyum getir. Benar, Jinhyuk dulu yang mengajak Wooseok berjanji untuk melewati perkuliahan dengan usaha sendiri dan tidak seperti teman-teman mereka yang melakukan segala cara untuk bernilai baik di atas kertas, tetapi dirinya juga yang melanggarnya. Wajar Wooseok tidak punya rasa percaya kepadanya.

"Kamu tidak perlu janji," pintu lift terbuka dan mereka membiarkan orang yang berada di dalam lift untuk keluar, lalu mereka berdua masuk. Jinhyuk menekan lantai unit mereka dan saat pintu lift tertutup, dia melanjutkan, "hanya perlu tidak menghilang seperti dulu. Sampai aku tidak bisa menghubungimu lagi dan seolah hilang dari hidupku."

Wooseok tidak mengatakan apa pun sebagai jawaban. Begitu mereka tiba di unit masing-masing, Jinhyuk menunggu Wooseok masuk ke unitnya. Pintu hampir tertutup di depannya, lalu tiba-tiba kembali terbuka dan Wooseok menatap Jinhyuk.

"Selamat malam, Jinhyuk."

Jinhyuk mendadak membeku, apalagi melihat lelaki itu tersenyum tipis. Belum sempat memberikan balasan, Wooseok sudah menutup pintu unitnya dan Jinhyuk menangkup wajahnya dengan sebelah tangannya. Jujur, dia bingung dengan sikap Wooseok, tetapi tidak bisa menampik mendengar ucapan selamat malam untuknya secara langsung membuat senyuman di wajahnya tidak bisa dikontrol untuk muncul.

Wooseok dan segala tingkah lakunya yang sejak Jinhyuk mengetahui eksistensi lelaki itu, tidak bisa mengabaikannya.
Read More

Biru Malam

Tuesday, September 15, 2020

No comments

Jinhyuk yang menerima kartu akses unit Doyoung, segera menuju lift. Meski tadi dia mendapatkan tatapan heran serta pertanyaan apa mengenal Doyoung, yang bisa Jinhyuk jawab dengan senyuman. Kepalanya bahkan tidak bisa diajak bekerja sama untuk merangkai kata untuk menjawab basa-basi resepsionis. Saat pintu lift terbuka, Jinhyuk segera masuk dan menekan lantai unitnya dan unit Doyoung berada. Rasanya detik demi detik berlalu begitu lambat di dalam lift, sampai akhirnya pintu lift terbuka di lantai yang dituju.

Berjalan dengan tergesa ke depan unit Doyoung dan menempelkan kartu akses. Begitu mendengar suara terbuka, Jinhyuk segera masuk dan kemudian mengambil HP-nya untuk menelepon Doyoung. Sepertinya lelaki itu juga menunggu untuk dihubungi, terbukti dengan cepatnya mengangkat telpon dan belum Jinhyuk mengatakan halo, sudah terdengar, "lo cari di setiap sudut rumah, literally sudut rumah. Dia suka duduk di sudut rumah kalau lagi begini."

"Oke."

Hanya itu respon yang bisa Jinhyuk berikan dan dia mulai mencari di setiap sudut unit apartemen ini. Meski Jinhyuk perlahan mulai mengingat cerita Wooseok saat mereka masih berteman baik di bangku kuliah. Bercerita jika Wooseok merasa suasana hatinya memburuk, dia akan mencari sudut tergelap dan sempit di ruangan untuk dia duduk. Tidak peduli jika itu akan membuatnya gatal-gatal setelahnya karena kulitnya Wooseok cukup sensitif dengan debu.

"Gimana?" suara Doyoung tepat di ruangan kamar terakhir yang Jinhyuk masuki.

"Gak ada!"

Jinhyuk menyerukan setengah berteriak, frustrasi. Lalu melihat sekitarnya dan menyadari aroma ruangan ini seperti milik Wooseok. Membuatnya melihat sekeliling dan menemukan dua rak buku cukup tinggi berwarna hitam dan dengan deretan fanbook yang Wooseok buat dengan penname lamanya juga dengan nama Lunar. Membuat hatinya mencelos karena merasa bodoh tidak menyadari akun yang diikutinya selama 3 tahun belakangan adalah milik Wooseok.

Dia bisa mendengar geraman kesal di ujung telpon, lalu mata Jinhyuk terpaku kepada satu lemari hitam di ruangan. Instingnya mengatakan Wooseok ada di sana, karena mendadak dia teringat apa yang dikatakan Wooseok saat di bangku kuliah.

Jika tidak ada sudut ruangan yang cukup gelap untuknya, Wooseok akan memasukkan diri ke lemari.

"Lo di mana sekarang?" suara Doyoung membuat Jinhyuk yang sudah berada di depan lemari, melihat sekelilingnya.

"Kamar."

"Yang ada kamar mandinya?"

"Enggak."

"Buka lemari kalau begitu," bahkan sebelum Doyoung mengatakan hal itu, Jinhyuk sudah membukanya. Menemukan Wooseok yang memejamkan mata, telinganya disumpal oleh headset dan sebelah tangannya memegang HP, "ada gak? Jinhyuk ... halo, Jinhyuk?!"

Jinhyuk berusaha untuk mengontrol suaranya agar tidak bergetar, tetapi sepertinya tidak bisa. "Ada."

Rasanya sekarang dia dihantam kenyataan bahwa selama mereka berpisah, Jinhyuk tidak tahu apa pun tentang Wooseok. Tidak tahu penyebab Wooseok yang selama berkuliah hampir tidak pernah melakukan kebiasaan berada di pojokan yang sempit dan gelap atau berada di dalam lemari, sekarang kembali melakukannya. Gelombang demi gelombang rasa penyesalan menghantam Jinhyuk, membuat matanya memburam dan dadanya sesak.

"Dia gimana keadaannya?" suara Doyoung akhirnya terdengar setelah cukup lama terdiam. "Dia gak terluka, 'kan?"

"Enggak...," Jinhyuk sudah tidak peduli suaranya didengar oleh Doyoung seperti apa, karena sebelah tangannya digunakan untuk menutup matanya dan menundukkan kepalanya agar setidaknya bisa kembali bernapas, "aku enggak tahu dia terluka apa enggak? Dia enggak bakalan begini kalau aku tidak dibutakan ambisi waktu itu."

"Jin...."

"Kalau waktu itu aku percaya dengan kemampuanku sendiri ... kalau waktu itu aku tidak memutuskan untuk menyalin saat UAS tekgas ... dia gak akan kayak gini," Jinhyuk memutuskan menjauhkan tangannya dari matanya dan menatap Wooseok yang seperti tidak mendengar suaranya yang sekarang bergetar. Tidak mengetahui air matanya yang entah sejak kapan sudah mengalir begitu saja, "ini semua salah aku. Kita enggak akan begini kalau aku enggak egois menggadaikan kepercayaan demi satu huruf di atas selembar kertas."

Helaan napas bisa Jinhyuk dengar dan tatapannya memburam. Tangannya hendak menyentuh wajah Wooseok, tetapi berakhir tergantung di udara. Begitu dekat, tetapi rasanya begitu jauh bagi Jinhyuk. Sesekali Wooseok bergerak untuk membenarkan posisinya yang jelas tidur sembari duduk itu tidaklah mungkin bisa sepenuhnya nyaman.

"Lo tahu, Jinhyuk? Sebenarnya lo bukan penyebab utamanya," Doyoung menghela napas panjang, yang bagi Jinhyuk terdengar seperti mencoba menenangkannya, "semua udah dimulai jauh sebelum kalian saling mengenal. Masalah lo dan Wooseok itu cuma momen membuat dia figure out what really happen."

"Kamu gak perlu menghiburku, semua ini salahku."

"Lo salah, tapi bukan yang utama," Doyoung lagi-lagi menghela napas, "karena kalau memang lo alasan utama semua yang salah di hidupnya, dia gak akan menyimpan semua hal tentang lo. Dia gak bakalan berusaha di batas gak wajar untuk menghindari lo."

"Tapi...."

"Kalau lo gak percaya, buka laci di meja panjang yang ada di kamar." Perkataan Doyoung itu tidak langsung direspon oleh Jinhyuk. "Kalau lo udah lihat semuanya, silahkan simpulkan sendiri. Gue tahu sebenernya kurang ajar ngasih tahu sampe sejauh ini, tapi tiga tahun gue lihat dia menangisi hal-hal yang bisa mengingatkannya ke lo lebih dari cukup."

"Kamu cinta dia, Doyoung?"

"Enggak!" Jinhyuk cukup kaget mendengar Doyoung menjawabnya yang terdengar seperti membentak dan tidak tampak dipikir untuk diucapkan. "Anjis kenapa tiap gue peduli sama Ucok selalu dianggap naksir dia? Gak boleh apa gue cuma kepengen dia hidup buat nebus dosa masa lalu?"

"Maksudnya?"

"Kakak gue sama kayak Ucok dan dia mati karena merasa gak ada yang peduli serta mengerti dirinya," helaan napas Doyoung terdengar lebih berat dari sebelum-sebelumnya, "udah jangan banyak nanya lagi. Pindahin dia ke kasur terus lo lihat laci! Ah anjing, kaga lihat gue lagi nerima telpon bentar apa?!"

Jinhyuk tidak bisa bertanya lantaran sambungan telpon sudah terputus. Menatap Wooseok di depannya cukup lama, lalu perlahan merengkuh lelaki itu ke dekapannya untuk bisa memindahkannya. Wooseok sesekali menggeliat, lalu bergumam, "Hyuka."

Butuh perjuangan untuk membuat air mata Jinhyuk tidak menetes kembali agar tidak membangunkan Wooseok kalau sampai terkena wajah lelaki itu. Setelah berhasil memindahkan ke tempat tidur, Jinhyuk menatap Wooseok dan kemudian melepaskan headset serta mengambil HP di tangan lelaki itu. Saat melihat lagu apa yang diputar oleh Wooseok, napasnya tercekat karena ... tidak ada yang diputar.

Entah Wooseok tidak mendengarkan apa yang terjadi di depannya atau sekarang tengah berpura-pura terlelap, Jinhyuk sudah tidak tahu lagi.

Meletakkan headset serta HP di atas nakas, lalu bergerak menuju laci yang dimaksud Doyoung. Ada rasa ragu yang menghampiri saat tangannya sudah berada di tarikan laci, lalu kemudian perlahan menariknya. Disambut dengan beberapa kotak berbagai ukuran. Ada kumpulan kertas dan saat Jinhyuk ambil beberapa menampilkan pesanan mereka saat berada di kafe janji hati.

Meski agak memburam, Jinhyuk bisa melihat tanggalnya, 18 Januari. Lalu di belakangnya 18 Maret. Lalu entah berapa lama Jinhyuk melihat-lihat semua struk yang sering menjadi bahan pertengkaran keduanya kalau sedang jalan karena Jinhyuk selalu membuangnya, tetapi Wooseok selalu menyuruhnya untuk memberikan kepadanya. Dulu, Jinhyuk pikir untuk perhitungan mereka membayar makanan atau minuman masing-masing, tetapi sekarang Jinhyuk mulai sadar ada tujuan lainnya.

Apa untuk ini?

Tangannya bergerak menuju kumpulan kertas berwarna pink norak yang dulu selalu dikeluhkannya harus dihabiskan karena Chaeyeon kalau membelikannya alat tulis selalu memberikan warna pink dengan segala cara dan upaya. Membuatnya seringkali diledek oleh teman-teman kelasnya karena alat tulisnya yang feminim, tetapi Wooseok tidak pernah sekali pun menertawakannya. Justru selalu bilang setidaknya dia beruntung punya saudara yang peduli dengannya meski caranya bagi Jinhyuk menyebalkan.

Tulisan-tulisan itu tidaklah rapi dan sampai detik ini, Jinhyuk masih tidak bisa menulis rapi. Jauh berbeda dengan Wooseok yang tulisannya seperti keluaran mesin printer saking rapinya dan ukurannya yang konsisten. Jinhyuk tidak pernah mengira jika Wooseok akan menyimpan semua ini, padahal daripada isinya highlight bab perkuliahan, kebanyakan justru Jinhyuk iseng menuliskan tentang mau makan siang apa atau cerita absurd (yang seringnya bisa diubah Wooseok menjadi cerita yang menarik untuk dibaca oleh orang-orang) atau malah gambar emoji yang tentu saja alay di masa sekarang.

Matanya kemudian melihat potongan-potongan tiket menonton. Benda lainnya yang sering Jinhyuk ingin buang dan berakhir dibawa oleh Wooseok dengan alasan nanti bergiliran membayar kalau menonton. Meski kalau menonton ujungnya Wooseok tidur di lengannya karena katanya menganggap tempat gelap adalah waktunya untuk tertidur. Membuat Jinhyuk sering mengejek kalau menonton tidak akan membawa Wooseok karena ujungnya menonton sendirian. Namun, pada akhirnya mana Jinhyuk pergi menonton kalau Wooseok tidak ikut dengannya. Meski yang mengajak teman-temannya yang tidak akrab dengan Wooseok dan hanya tahu sebatas nama.

Di sebelahnya ada tumpukkan foto-foto yang membuat Jinhyuk tanpa sadar tersenyum. Dia mungkin adalah sedikit dari orang yang selalu menyeret teman-temannya untuk photo box di tempat yang cukup jauh dari kampusnya. Pada akhirnya, setiap minggu yang Jinhyuk bawa adalah Wooseok karena meski dia mengeluh, tetapi kalau sudah memasuki hari Jum'at akan berpakaian lebih rapi dari biasanya dan beralasan Jinhyuk selalu membawanya ke tempat photo box pada hari itu.

Kegiatan yang tidak dilakukannya lagi semenjak Wooseok menghilang. Bahkan Jinhyuk hanya punya 1 foto di dompetnya dari ratusan foto yang telah mereka ambil. Foto yang tempo hari dipostingnya di Twitter, tetapi Wooseok menyuruhnya untuk menghapus. Sisa foto lainnya tidak dia tahu diletakkan di mana, karena kebiasaan Jinhyuk yang meletakkan secara sembarangan. Merasa akan selalu ada kesempatan untuk menciptakan kenangan lewat foto bersama Wooseok.

Hal yang nyatanya tiga tahun belakangan mengajarkan bahwa jangan terlalu sombong untuk mengira akan selalu ada kesempatan lain untuk Jinhyuk.

Matanya Jinhyuk memburam dan gelombang kesedihan menghantamnya. Jinhyuk selama ini berpikir Wooseok menghilang dari hidupnya karena membencinya. Menghilang dan menghapus eksistensinya dari dunia Wooseok. Bahkan saat mereka waktu itu bertemu pertama kali di lift PDX dan dijudesin oleh Wooseok, dipikiran Jinhyuk lelaki itu tidak mau melihatnya lagi ada di dunianya.

Namun, semua yang dilihatnya sekarang mengatakan sebaliknya.

Jinhyuk mendorong laci hingga tertutup, lalu menyadari ada laci kedua. Dia bahkan belum selesai berdebat dengan kepalanya, tetapi tangannya bergerak sendiri untuk menariknya. Membuatnya melihat kumpulan gantungan kunci yang selalu dibeli Jinhyuk di mana pun dia berada. Dari gantungan kunci tempat wisata sampai gantungan kunci norak yang entah apa faedahnya diciptakan. Dulu, Jinhyuk seringkali menggerutu karena Wooseok tidak mau menggunakan setidaknya satu gantungan kunci yang diberikannya.

Namun, sekarang dia mulai mengerti alasan Wooseok tidak mau menggunakannya. Bukan karena malu, tetapi Wooseok memilih untuk mengumpulkannya dan menjaganya. Padahal Jinhyuk yang membelikannya saja seringkali berakhir kehilangan gantungan kuncinya dan hanya tertinggal gantungannya di barang-barang yang digunakannya. Membuat Jinhyuk mengusap wajahnya dengan kasar, lalu mendongakkan kepalanya agar air matanya tidak jatuh.

Saat kemudian menunduk untuk melihat isi laci selanjutnya, ada snow globe yang tampak tidak utuh. Beberapa pecahannya tampak ada sedikit jejak darah dan membuat dada Jinhyuk merasa nyeri. Dia tidak tahu alasan mengapa benda pemberiannya itu tidak lagi utuh, tetapi jejak darah itu membuat Jinhyuk berpikir apa Wooseok memunguti setiap pecahan dengan tangannya? Jinhyuk menyentuh salah satu pecahan dan rasa tajam serta pedih terasa di telunjuknya. Melihat telunjuknya yang mengeluarkan darah meski setitik, membuat Jinhyuk tidak bisa membayangkan bagaimana wujud jemari Wooseok saat mengumpukan semua pecahan ini.

Mengalihkan pandangannya kepada kotak lainnya yang berbentuk bintang kecil-kecil dan Jinhyuk menutup matanya dengan sebelah tangannya. Mengigit bibirnya agar tidak ada isakan yang lolos darinya dan membangunkan Wooseok.

Jinhyuk ingat ... seminggu sebelum pengakuannya kepada Wooseok kalau berbuat curang di UAS mata kuliah Teknik Eksplorasi Gas Bumi, dia bilang ingin merasakan momen cringe yang dilihatnya di Twitter (yang sebenarnya tidak sama dengan keinginannya) yaitu seseorang memberikannya 1000 bintang kertas. Membuat Wooseok bertanya bukannya seharusnya kumpulan kata penyemangat sejumlah hari dalam setahun dan Jinhyuk menjawab dia ingin sesuatu yang berbeda. Karena dia menyukai matahari dan matahari adalah bintang. Jadi Jinhyuk ingin seseorang memberikan 1000 bintang kepadanya.

Padahal waktu itu Wooseok cuma memasang wajah masa bodoh dan memilih melanjutkan mempelajari modul di tangannya. Jinhyuk juga dengan cepat melupakan idenya itu karena rasanya konyol dan tidak akan mungkin ada seseorang yang mau mengabulkan permintaan konyolnya itu.

Ternyata Jinhyuk salah.

Wooseok tidak menganggap perkataannya konyol. Dia tetap membuatkan untuk Jinhyuk, padahal mereka tidak bertemu selama ini. Padahal Wooseok punya hak penuh untuk membenci Jinhyuk karena merusak kepercayaannya untuk bersikap jujur selama perkuliahan mereka di tengah orang-orang yang melakukan segala cara agar nilai di atas kertas menjadi sempurna. Jinhyuk pikir, apa yang dirasakannya selama Wooseok menghilang dari kehidupannya adalah karma untuknya. Selalu bepikir bahwa Wooseok sudah sepenuhnya melupakannya dan bisa melanjutkan hidup tanpanya.

Bukan seperti ini.

Bukan dengan menyimpan semua kenangannya bersama Wooseok. Hal-hal yang Jinhyuk rasa remeh dan kebanyakan tidak ada artinya. Jinhyuk bisa merasakan cinta di setiap benda-benda yang dilihatnya itu, lebih besar daripada yang dimiliki olehnya.

Membuatnya bertanya-tanya apa sebenarnya Jinhyuk pantas dicintai sebegininya setelah yang terjadi kepada mereka?

"Oh, baguslah lo belum balik," suara itu membuat Jinhyuk menjauhkan tangannya dari matanya dan melihat di pintu sana ada Doyoung yang bersedekap, "keluar. Kita butuh bicara."

Jinhyuk berbalik dan menutup laci yang dilihatnya seja tadi. Melangkahkan kaki keluar dari kamar Wooseok dan menutup pintu dengan sepelan mungkin. Mengikuti langkah Doyoung yang membawanya ke ruang tamu. Berhadapan satu sama lain dan Doyoung menyodorkan segelas air mineral kepadanya.

"Lo kacau, minum dulu," komentarnya yang tidak dijawab oleh Jinhyuk, tetapi menerima gelas yang diberikan untuknya. Saat minum, Doyoung menghela napas dan berkata, "gue anggap lo udah lihat semuanya."

"Dia ... dia gak benci aku?"

"Mulutnya selalu bilang kepada orang-orang mengenal kalian, dia benci sama lo." Doyoung melirik Jinhyuk sesaat, lalu memilih menyalakan TV untuk membuka Netflix. "Tapi orang benci mana ada modelannya kayak gitu? Nyimpen semua barang dari lo dan bakalan marah banget kalau ada yang buka lacinya itu."

Jinhyuk benar-benar kehilangan kemampuan untuk merangkai kata. Rasa penyesalannya yang tidak berusaha mencari Wooseok selama ini karena takut akan ditolak. Jinhyuk yang takut hatinya akan tersakiti jika tahu Wooseok bisa baik-baik saja hidup tanpanya dan menemukan orang lain yang bisa dipercaya serta menyayanginya sepenuh hati.

"Selesaikan apa yang kalian sudah mulai." Doyoung mematikan TV karena tidak ada yang menarik baginya, lalu melihat Jinhyuk. "Dia akan mendengarkan lo ... selalu akan mendengarkan lo pada akhirnya."

"Tapi...."

"Pertama, berhenti nyalahin diri sendiri. Karena seperti gue bilang di telpon, masalah sama lo cuma membuat dia akhirnya bisa mengetahui apa yang salah sama dirinya sejak lama." Doyoung menghela napas. "Kedua, dia akan tetap memilih lo pada akhirnya. Mau orang-orang datang dan mencoba menggantikan lo, pada akhirnya dia tetap milih lo yang bahkan dia gatau apa punya rasa yang sama dengannya apa enggak."

Tidak ada percakapan setelah itu dan Jinhyuk akhirnya pulang tanpa mengatakan apa pun. Kartu akses sudah dikembalikan kepada Doyoung dan sepanjang langkahnya menuju unitnya, Jinhyuk tidak tahu harus merasakan apa. Terlalu banyak emosi yang muncul pada dirinya hingga terasa begitu menyesakkan.

Saat membuka pintu, Chaeyeon menyambutnya dengan wajah yang siap memarahinya. Namun, ekspresinya berubah begitu melihat Jinhyuk dan bahkan belum mendapatkan izin untuk memeluk adiknya itu, dia sudah melakukannya. Mengeluarkan semua perasaannya dengan tangisannya dan tahu membuat adiknya panik karena takut Jinhyuk akan merasakan sesak napas seperti biasanya.

Namun, nyatanya saat itu tidak ada rasa sesak yang membuatnya biasanya membutuhkan inhaler. Ada rasa sesak, tetapi juga ada rasa beban yang rasanya setengah terangkah dari Jinhyuk saat menangis.
Read More

Mimpi Buruk yang Menghampiri

Monday, September 14, 2020

No comments

Sebenarnya Wooseok agak merasa bersalah karena menjadi satu-satunya orang di grup CNF (cosmetic and fragnance) yang bisa pulang tepat waktu. Namun, Wooseok juga tidak mau berlama-lama di tempat kerja karena masih punya kehidupan yang lainnya. Sebenarnya kalau dibilang kehidupan yang penting juga tidak termasuk penting, tetapi saat Wooseok menulis rasanya sedikit yang ada di pikirannya bisa terurai.

Namun, Wooseok rasanya ingin bisa mengabaikan eksistensi Minhyun yang menghampirinya saat berada di dalam supermarket mall. Hendak membeli beberapa sayuran karena di kulkas apartemen Doyoung sudah tidak ada hal itu. Maklum saja, Doyoung kalau nyemil sukanya makan sayuran seperti wortel atau selada, sehingga dua hal itu harus Wooseok stok hampir setiap hari.

Doyoung kalau lapar menjadi menyebalkan soalnya.

"Sepertinya kamu sering belanja kemari," teguran itu hanya Wooseok jawab dengan senyuman, lalu mendorong trolinya untuk ke bagian sayuran. Pura-pura tidak sadar akan tatapan Minhyun kepadanya dan Wooseok berjongkok untuk memilih wortel yang berada di rak paling bawah, "kamu sering masak ya, Wooseok?"

"Iya, pak."

"Minhyun," perkataan lelaki itu membuat Wooseok melirik sebentar, lalu kembali fokus memilih wortel dan memasukannya ke plastik yang dipegangnya jika merasa masuk standarnya, "kamu bisa memanggilku dengan Minhyun, Wooseok."

"Maaf pak, saya tidak bisa." Wooseok akhirnya berdiri karena merasa sudah cukup membeli setidaknya sampai stok besok, lalu menatap Minhyun. "Anda bukan orang yang masuk ke dalam lingkungan pertemanan saya dan tidak berminat untuk menambah seseorang di lingkaran pertemanan saya. Permisi."

Wooseok memasukkan plastik berisi wortelnya ke dalam troli, kemudian mendorongnya. Sebenarnya dia tahu melakukan hal yang menyebalkan dan kemungkinan besar bisa membuatnya semakin tidak betah bekerja di mall ini. Namun, Wooseok tidak mau lebih lama lagi berpura-pura senang didekati oleh Minhyun.

Setelah membayar belanjaannya, Wooseok berjalan sembari menenteng tas belanjaan di bahunya. Tangannya menekan aplikasi ojek online dan mencoba memesan ojek, tetapi sampai langkahnya berada di depan pintu masuk mall, tidak ada yang mengambil orderannya. Membuat Wooseok menghela napas panjang dan memijit pelipisnya dengan sebelah tangannya.

"Wooseok." Panggilan itu membuatnya menoleh dengan tidak minat dan Minhyun berada di sebelahnya. Membuat Wooseok bertanya-tanya dari belah mana ucapannya yang kurang jelas kepada lelaki ini? "Kamu mau saya antar pulang?"

Wooseok tidak langsung menjawab dan menatap Minhyun, lalu menghela napas karena tahu dari caranya menatap, lelaki ini tidak akan menyerah begitu saja. "Sepertinya kalau saya menolak bapak tidak ada gunanya."

"Apa saya terlihat semenyebalkan itu?"

"Jujur? Iya."

Wooseok tidak tahu apa yang lucu dari perkataanya sehingga Minhyun tertawa. Pada akhirnya, Wooseok berada di dalam mobil Minhyun yang dia tahu merupakan salah satu mobil mewah. Terima kasih atas infonya dari majalan otomotif yang Doyoung selalu beli dan berakhir Wooseok baca karena tidak punya bacaan saat berkunjung.

Sepanjang perjalanan, Wooseok hanya merespon satu patah kata yang terdiri dari iya, tidak dan mungkin. Tidak punya mood untuk merespon pembicaraan Minhyun karena dia tidaklah bodoh untuk menyadari kalau lelaki itu tampak tertarik kepadanya. Wooseok hanya tidak ingin hal sama yang terjadi pada Xiao akan terulang kembali.

Ah benar, Wooseok belum ada menyapa Xiao semenjak kejadian hari itu. Dia tahu lelaki itu tidak baik-baik saja, tetapi Wooseok juga masih berpikir untuk menyapanya karena takut justru semakin menyiram cuka ke lukanya.

"Kamu yakin tidak mau diantar ke tempat tinggalmu?" tanya Minhyun saat membelokkan mobil ke deretan gedung yang berada di jalan menuju gedung PDX.

"Tidak," jawab Wooseok dan kemudian berkata, "tolong berhenti di sini."

Minhyun memelankan laju mobilnya dan menepikannya. Wooseok melepaskan sabuk pengaman dan menatap Minhyun sebentar, lalu menundukkan kepalanya. "Terima kasih atas tumpangannya."

Wooseok tidak begitu mau tahu apa yang Minhyun ingin katakan, karena dia mengambil tas belanjanya yang berada di bawah kakinya dan membuka pintu mobil. Begitu keluar, Wooseok langsung menutup pintu mobil dan berjalan menuju kafe yang tidak jauh dari PDX. Sengaja tidak meminta untuk di antarkan langsung ke PDX karena tidak mau mendengar lebih banyak pertanyaan yang mengarah ke kehidupan pribadinya.

Saat Wooseok sudah duduk di salah satu sofa dekat jendela yang mengarah ke jalanan, dia melihat Minhyun keluar dari mobilnya. Wooseok sudah menghela napas dengan kesal, lalu yang dilihatnya adalah lelaki itu berhenti melangkah karena ada lelaki lain yang berdiri di depannya. Tidak mau tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi sepertinya cukup dramatis karena saat Minhyun memutuskan berbalik, sebelah tangannya ditahan oleh lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya itu.

"Kopinya kak, silahkan." Suara itu membuat Wooseok menoleh dan mengucapkan terima kasih, lalu kembali menatap ke luar jendela.

Hanya saja Wooseok yang baru menyedot es kopinya, hampir tersedak karena melihat adegan yang sepertinya berciuman. Wooseok menepuk pelan dadanya karena hampir tersedak meski pikirannya bergumam gila juga pemandangan yang dilihatnya itu. Dia pikir dramatisasi suatu kejadian hanya ada di drama dan cerita, bukan benar-benar terjadi di depan matanya.

"Wooseok," panggilan yang suaranya terdengar asing, membuatnya mengalihkan padangan dan hampir saja kehilangan kemampuan memegang gelas di tangannya saat melihat orang yang tidak dipersilahkan untuk duduk di depannya. Pegangannya pada gelas menguat dan Wooseok memaksakan diri untuk bernapas seperti biasanya, "um ... hai. Apa kabar?"

"Sebelum bertemu denganmu, tadinya aku baik-baik saja."

Suasana di antara mereka terasa berat dan Wooseok jelas tidak memberikan tatapan ramah kepada lelaki di depannya ini. Membuat Wooseok hanya bisa menghela napas panjang dan meminum es kopinya. Berpikir bahwa hidupnya memang serangkaian kesialan yang selalu terjadi. Bahwa meski sudah berada di kota ini untuk menghindari lelaki di depannya, kenyataannya mereka tetap bertemu.

"Aku tahu kamu membenci eksistensiku dan ibuku," lelaki di depannya berusaha berbicara dengan hati-hati dan menatap Wooseok, "tetapi itu tidak bisa menutup kenyataan kita bersaudara, Wooseok. Jadi aku berharap...."

"Lo berharap gue bersikap baik dengan orang yang menjadi selingkuhan bapak gue, gitu?" sela Wooseok dan meletakkan gelas es kopinya di meja dengan hentakan yang cukup keras. Entah apa gelasnya retak atau tidak, Wooseok tidak mau peduli dan menatap lelaki di depannya dengan tatapan menusuk. "Lo mau gue manggil lo, abang Jinhoo, gitu?"

"Woo...."

"Berhenti manggil gue!" bentak Wooseok dan menghela napas panjang. "Apa kalian gak cukup ngambil bapak gue dari ibu gue? Apa kalian gak cukup nyakitin gue dan ibu gue saat napas terakhir yang dicari bapak gue adalah kalian? Apa gak cukup kalian bikin gue jadi yatim piatu?"

Wooseok tersengal karena mengatakan hal sepanjang itu tanpa jeda, kemudian membuang pandangannya ke arah jendela yang menghadap jalanan. Sudah tidak ada mobil Minhyun dan Wooseok jadi merasa menyesal tadinya tidak meminta berhenti di gedung PDX. Bukan di kafe dan malah menemukan orang yang menjadi bagian dari mimpi buruk di hidupnya.

"Maaf," suara Jinhoo terdengar bersalah dan Wooseok tidak mau repot-repot melihat wajah lelaki itu karena tidak ingin matanya berkabut karena kemarahan yang dirasakannya, "ibuku memang salah karena tidak mau melepaskan ayah sampai akhir, tapi pada akhirnya kita berdua sama-sama korban di sini."

"Pergi."

"Wooseok, aku...."

Wooseok menatap sinis Jinhoo. "Apa gue terlihat ingin diajak berbicara? Apa gue terlihat akan memaafkan perbuatan ibu lo? Apa gue terlihat ingin bertemu dengan lo setelah dengan sengaja tinggal di kota yang gak familiar ini?"

Jinhoo tidak mengatakan apa pun, sementara Wooseok mengambil tas belanjanya dan berdiri dari tempat duduknya. Berjalan keluar dari kafe dan menuju PDX dengan mata berkabut. Napasnya terasa berat dan menahan air matanya tidak menetes dari matanya ternyata sesulit itu. Saat baru melangkahkan kaki ke dalam lobi, Wooseok bertemu pandang dengan Jinhyuk. Membuatnya membuang pandangan ke arah lain dan seolah tidak melihat Jinhyuk.

Namun, Wooseok berharap apa pada seseorang yang bernama Jinhyuk? Dia yang sejak dahulu bisa saja berlari dari ujung gedung perkuliahan kepadanya hanya karena melihat eksistensinya, apalagi kalau hanya dalam jarak seperti ini?

"Wooseok," panggilan Jinhyuk yang terdengar dari jarak dekat olehnya, nyatanya tidak membuatnya menoleh, "kamu tidak apa-apa?"

Wooseok tidak menjawab, tetapi merasa sebelah bahunya dipegang dan dipaksa untuk menghadap Jinhyuk. Keduanya saling bertatapan cukup lama, lalu Wooseok memutuskan kontak mata karena takut lebih lama mereka bertatapan, maka dinding pertahanannya runtuh.

"Mau pulang bareng?" Jinhyuk akhirnya mengatakan sesuatu dan mungkin mencoba untuk tidak bertanya lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Aku ambil tas dan kunci mobil ke atas. Kamu tunggu di sini ya."

Wooseok tidak mengiyakan, tetapi dia mendengar langkah menjauh dan membuatnya melirik. Melihat Jinhyuk yang berjalan menuju lift dan Wooseok memilih duduk di salah satu kursi yang ada di lobi. Lalu saat hendak mengirim pesan ke Doyoung, lelaki itu sudah mengirimkan pesan yang amat sangat tidak biasa.

Lembur malam ini, padahal hampir selama Wooseok tahu Doyoung bekerja di PDX, tidak pernah ada lembur di kamusnya. Dia selalu sukses pulang tepat waktu, padahal mendengar ceritanya Doyoung, teman-teman di timnya sedang lembur. Kalau ini keadaan biasa, Wooseok akan menyelamati Doyoung karena akhirnya mengalami apa yang biasanya karyawan kantor alami, lembur jika pekerjaan tidak selesai sampai jam kerja biasanya selesai.

"Wooseok," panggilan itu membuatnya mengalihkan pandangan dari HP dan Jinhyuk berada di depannya. Tali ransel berada di kedua bahu Jinhyuk dan mereka saling bertatapan cukup lama. Lalu kemudian, Jinhyuk mengulurkan tangannya dengan posisi menadah ke depan Wooseok, "ayo ... pulang?"

Ada keraguan dari nada bicara Jinhyuk dan uluran tangannya perlahan mulai bergerak mundur. Namun, Wooseok menerimanya dan mengenggamnya. Menukarkan dinginnya tangannya karena merasa kehidupannya tidak baik-baik saja dengan hangatnya tangan Jinhyuk. Wooseok berdiri dari tempatnya dan membawa tas belanjaan di bahu sebelah kiri.

Mereka berjalan bersisian, dengan tangan saling mengenggam dan tangan yang saling menempel satu sama lainnya karena jarak yang cukup dekat. Wooseok mengabaikan beberapa tatapan yang ditujukan kepadanya, karena yang dipikirannya sekarang adalah kembali ke apartemen Doyoung dan duduk di pojokkan kamar. Kalau lemari kamarnya muat menampung dirinya, Wooseok mau duduk di dalam lemari untuk menenangkan dirinya.
Read More

Pembicaraan Tengah Malam

Sunday, September 13, 2020

No comments

Jinhyuk berusaha meredakan kegugupannya saat HP-nya menampilkan telpon masuk dari Wooseok. Jantungnya berdebar lebih cepat dari beberapa saat yang lalu dan dengan tangan sedikit gemetar, Jinhyuk menggeser ikon mengangkat telpon. Tidak ada suara Wooseok, tetapi Jinhyuk bisa mendengar suara halaman buku dibalik.

"Wooseok...?" panggil Jinhyuk tidak yakin.

"Kenapa belum tidur jam segini?" pertanyaan itu membuat Jinhyuk tanpa sadar tersenyum miris. Dia tidak mungkin bilang kalau alasannya adalah Wooseok, meski untuk malam ini alasannya sedikit berbeda dari malam-malam sebelumnya. Malam ini Jinhyuk terjaga karena..., "bodoh, kenapa yakin banget aku akan meneleponmu dan bukannya tidur?"

"Tapi kamu menelepon, Wooseok."

"Karena aku tadinya hanya mau memastikan kamu sudah tidur," ada helaan napas dan Jinhyuk bisa mendengar halaman buku yang tengah dibalik. Membuat Jinhyuk bertanya-tanya buku apa yang dibaca oleh Wooseok, "aku tidak perlu cerita alasanku masih terjaga, tapi kamu cerita alasanmu terjaga,"

"Kamu," Jinhyuk spontan mengatakan itu, lalu buru-buru menambahkan, "aku bilang akan terjaga untuk nemanin kamu sampai tidur."

Jinhyuk bisa mendengar helaan napas dan gumaman bodoh yang ditunjukkan kepadanya. Membuatnya tersenyum dan Jinhyuk mencari posisi berbaring. Menyalakan mode loudspeaker dan meletakkan HP-nya di sampingnya.

"Wooseok, kamu sedang apa sekarang?"

"Baca buku."

"Novel? Judulnya apa?"

"Bukan novel," ada jeda sejenak, "fanbook aku, Romantic Universe."

Jinhyuk mendengarnya tanpa sadar langsung berbalik untuk menghadap HP-nya. "Aku tidak ingat kamu punya fanbook judulnya Romantic Universe? Pakai penname Embroidered Starlight 'kan?"

"Aku cetak untuk diri sendiri. Pairingnya Sumjenn dan kalau kamu tidak tahu, Seungsik dan Jennie." Jawaban Wooseok itu membuat Jinhyuk hanya bisa bergumam oh. "Aku sudah berhenti menulis di Embroidered Starlight."

"Tapi masih menulis?" Jinhyuk tidak bisa menahan diri untuk bertanya, lalu teringat dengan Lunar di Twitter. "Kamu tahu tidak, Wooseok? Di Twitter ada akun RPS dan kalau kamu tidak tahu RPS, itu kepanjangan real person slash gitu. Balik ke RPS, ada yang gaya tulisannya mirip banget sama kamu, namanya Lunar."

"Oh ya?" Wooseok tidak terdengar heran atau terdiam beberapa saat, reaksi orang-orang kalau memang dirinya yang memiliki suatu akun Twitter yang ketahuan oleh teman di dunia nyata. "Memangnya si Lunar ini nulis apaan sampai kamu bilang tulisannya mirip denganku?"

"Dia nulis macam-macam sih, sama kayak kamu yang enggak bisa setia di satu kapal."

"Karena ada banyak dunia alternatif yang bisa dibuat dan membatasi diri untuk satu kapal rasanya aneh saja," Wooseok terdiam beberapa saat, lalu melanjutkan, "tapi aku heran mendengar kamu tahu istilah fanfiksi. Memangnya kamu masih tetap baca cerita?"

"Masih," Jinhyuk ragu mengatakan apa yang dipikirannya, tetapi kemudian dia tersenyum, "aku membaca banyak cerita dari berbagai akun Twitter untuk mencoba menemukanmu."

"Mencari orang kok lewat akun Twitter?"

"iya ya?" Jinhyuk tertawa pelan. "Kalau dipikirkan kembali, bodoh banget ya aku mencari kamu di dunia Twitter dan bukannya mencari di dunia nyata."

Wooseok tidak mengatakan apa pun, tetapi bunyi halaman yang dibalik bisa Jinhyuk dengar. Cukup lama keduanya tidak berbicara dan saat Jinhyuk ingin mengatakan sesuatu, suara Wooseok terdengar berdeham, lalu, "kamu mau aku bacakan Romantic Universe?"

"Memangnta tidak apa-apa?"

"Aku menawarkan, berarti sudah siap dengan semua resikonya."

"Termasuk besok pagi tenggorokanmu sakit?"

Wooseok tidak menjawab dan Jinhyuk pikir lelaki itu tidak melanjutkan niatnya. Namun, deheman yang didengar Jinhyuk dan kemudian suara, "aku akan mulai sebentar lagi. Cari posisi nyaman," yang membuatnya menurut.

"Udah."

"Aku gak pernah mendongeng, jadi kalo aneh, yaudah terima aja," perkataan Wooseok membuat Jinhyuk tersenyum dan melihat langit-langit kamarnya yang memantulkan cahaya dari lampu di atas nakas. Helaan napas Wooseok, kemudian terdengar, "Seungsik pikir, kelas kepenulisan yang dibukanya secara berkala ini hanya akan berlalu seperti hari-hari biasanya. Bertemu dengan orang-orang yang ingin belajar menulis fiksi atau malah modus kepadanya dan Seungwoo."

Jinhyuk berusaha untuk fokus mendengarkan cerita Wooseok, meski kepalanya sialnya malah membayangkan Seungwoo yang merupakan temannya. Beginilah nasib kalau punya nama seperti idol Korea, suka halunya malah jatuh ke orang-orang terdekat atau malah ke diri sendiri.

"Namun, hari itu Seungsik bertemu dengannya. Perempuan yang tampak tidak peduli terhadap sekelilingnya dan menarik perhatian Seungsik karena pakaiannya yang seperti hendak ke undangan pernikahan, terlihat mahal."

Mata Jinhyuk perlahan memberat, tetapi dia berusaha untuk tetap terjaga, Namun, entah mengapa hari itu Jinhyuk tidak bisa menahan matanya untuk tetap terbuka dan perlahan tidak mendengar suara apa pun. Tidak sadar kalau akhirnya mendengkur (tidak keras, tetapi biasanya Jinhyuk mendengkur kalau dia sudah lama tidak tidur) dan Wooseok tidak menghentikan membaca cerita hingga satu bab selesai.

"Hyuka bego," helaan napas Wooseok dan kemudian dia menguap cukup nyaring, "berhenti pikirin aku. Jangan bikin aku semakin membenci diriku sendiri."

Tentu tidak akan ada jawaban karena Jinhyuk kalau tertidur seperti orang mati, tidak akan mendengarkan suara yang ada meski yang paling nyaring sekali pun. Satu-satunya cara untuk membangunkan Jinhyuk kalau masih tertidur seperti ini adalah memercikkan air ke wajahnya atau melempar kucing ke mukanya.

"Selamat dini hari, Hyuka."

Sambungan telpon terputus dan Woosek di seberang sana meletakkan buku di atas nakas. HP-nya dihubungkan dengan kabel pengisi daya dan meletakkannya di atas buku yang ada di nakas. Memejamkan mata dan berharap saja tidak akan bermimpi hantu akibat menuruti keinginan Sejeong untuk menonton film hantu.
Read More

Saat Hidup Seperti (Fan) Fiksi

No comments
Wooseok menyadari saat tiba di area, semua orang tampak sibuk berbenah. Bahkan hampir semua OB yang masuk pada shift pagi ini bisa dilihatnya tengah sibuk menyapu dan mengepel. Penasaran dengan apa yang terjadi, akhirnya Wooseok yang sudah selesai menata tetster di counter miliknya, mendatangi counter sebelah.

"Hyewon, gue boleh nanya?" Wooseok mencoba bertanya, tetapi dasarnya tidak bisa melihat perempuan kerepotan memajang sampel sendirian, akhirnya dia membantu juga. "Ini di susun di mana? Gue bantuin deh."

"Makasih ya kak," Hyewon menundukkan kepalanya, lalu tangannya mengambil kardus lainnya di laci, "tadi kakak nanya apa? Gue gak fokus jadi gak dengerin."

"Mau nanya. Ini kenapa semua orang pada lebih sibuk dari kemarin? Kayaknya kemaren biasa aja."

"Kakak gak tahu kalau pemilih mall bakalan datang hari ini?" pertanyaan Hyewon itu membuat Wooseok tidak menjawab. "Ah pasti si Minjoo lupa masukin kakak ke grup besar! Nanti gue marahin dia karena gak masukin kakak, padahal punya nomor kakak."

Wooseok tidak mengatakan apa pun setelah itu, karena dia membantu secepat yang dibisanya. Lalu saat selesai dengan kotaknya dan Hyewon juga selesai dengan kotaknya, perempuan itu berkata, "kak Wooseok, mendingan kakak bersihin testernya kakak. Soalnya pemilik mall ini agak OCD gitu. Kalau kotor sedikit aja, nanti managemen dimarahin dan imbas ke jam pulangnya kita."

"Oh, oke," Wooseok menyerahkan kotak kosong kepada Hyewon, "makasih infonya ya. Gue balik ke counter ya."

Setelah kembali ke wilayahnya, Wooseok membuka salah satu laci yang memang berisi peralatan membersihkan counter dan memutuskan untuk mengambil tisu basah. Mulai membersihkan tester liquid lipstic karena memang ini yang paling cepat kotor. Lalu dilanjutkan ke makeup lainnya dan setelah semuanya bersih, baru membersihkan estalase counter.

Saat Wooseok berbalik dari membersihkan estalase, dia sedikit tersentak karena terkejut ada orang di belakangnya. Orang yang kemarin mengajaknya mengobrol dan untung saja gerakan refleks Wooseok yang selalu mencoba melempar benda di tangannya kalau merasa terancam, tidak dilakukannya saat ini. Lelaki itu tersenyum kepada Wooseok yang membuatnya menyipitkan matanya.

"Halo, kita bertemu lagi ... Kim Wooseok," sapanya dan Wooseok tidak menatap lelaki itu, justru melirik ke arah lain dan melihat Hyewon, Minjoo serta beberapa perempuan yang merupakan bagian dari CNF tampak gugup. Wooseok kembali menatap lelaki itu saat mendengar deheman dan perkataan, "saya agak tersinggung kamu tidak menjawab sapaan tadi."

"Maaf pak, saya sepertinya masih loading karena terbangun terlalu pagi," Wooseok memaksa wajahnya untuk memasang ekspresi senyuman default yang biasa digunakannya untuk menghadapi pelanggan, "tapi bapak siapa ya kalau boleh tahu? Saya rasa pintu mall jam segini harusnya belum terbuka untuk umum."

Lelaki di depannya tertawa pelan dengan reaksi Wooseok dan dia sekarang merasa serba salah. Mau melanjutkan pembicaraan, tetapi kedua tangannya memegang kain lap serta cairan pembersih kaca yang tidak elok untuk dilihat. Namun, kalau Wooseok meletakkan peratan kebersihan yang dipakainya ini ke tempatnya, terasa tidak sopan meninggalkan lelaki di depannya.

Masih pagi padahal, tetapi Wooseok sudah disuruh untuk berpikir cukup rumit.

"Nama saya Hwang Minhyun," lelaki itu mengulurkan tangannya di depan Wooseok, membuat lelaki itu menatapnya karena tidak kunjung disambur, "kamu tidak mau bersalaman dengan saya?"

"Bukannya tidak mau pak, tapi tangan saya memegang ini dan baru mengelap sesuatu yang kotor."

"Saya tidak masalah," lelaki yang bernama Minhyun itu tetap tersenyum, "tidak masalah bukan kalau kita berkenalan secara formal?"

Wooseok hanya memasang senyuman dan sebelah tangannya yang tidak digunakan untuk bersalaman, memegang cairan pembersih serta kain lap. Tangan yang bisa digunakannya untuk menjabat tangan, akhirnya menyambut uluran lelaki itu dan merasa tangannya dicengkram cukup kuat. "Nama saya Kim Wooseok."

"Kamu orang baru di brand ini ya?"

"Iya pak, kantor mengirimkan kemari karena belum menemukan orang yang tepat untuk mengisi di sini," Wooseok tetap tersenyum, tetapi saat mencoba menarik tangannya, cengkramannya tidak dilepaskan, "maaf pak kalau saya tidak sopan, tetapi boleh tangannya dilepaskan?"

"Oh, maaf."

Wooseok tahu lelaki itu sengaja untuk berlama-lama memegang tangannya, tetapi tidak menemukan alasan mengapa dia melakukannya. Namun, Wooseok tahu lelaki di depannya ini pasti memiliki jabatan yang cukup tinggi karena situasi di sekitarnya tampak tegang dan saat melirik ke sembarang arah, dia bisa melihat managemen yang dianggapnya menyebalkan, tengah menatap dengan cemas.

"Wooseok," panggilan itu membuatnya menatap lelaki di depannya, "menurut kamu, bagaimana managemen mall ini?"

"Hah?" Wooseok tidak bisa menahan reaksinya, lalu dengan cepat menguasai keadaan. "I think it's okay in general."

"That's it?"

"Pardon?"

"Apa hanya itu yang kamu pikirkan?" tanya Minhyun sembari tersenyum. "Sepertinya saya yakin kamu punya banyak keluhan yang bisa disampaikan."

Wooseok tidak merespon, tetapi tetap tersenyum di depan Minhyun. Namun, kepalanya jadi mengingat kata Doyoung kalau rant di Twitter miliknya bisa dibaca oleh pihak mall dan membuat Wooseok berpikir apa lelaki ini membacanya? Namun, Wooseok yakin lelaki itu tidak tahu namanya sebelum hari ini, lantaran waktu pulang kerja selalu dia pastikan melepaskan name tag di bajunya.

"Saya pastikan kamu baik-baik saja jika jujur menyampaikan apa yang kamu rasakan selama berada di sini."

"Oh ya?" Wooseok tetap tersenyum meski sebenarnya respon spontannya tadi sarkastis. "Bagaimana saya yakin akan baik-baik saja kalau sebelum ini sudah diperingatkan oleh teman-teman CNF untuk tidak berbuat kesalahan di depan anda atau jam pulang kami yang tergadaikan?"

Minhyun sepertinya tidak menduga akan diberikan pertanyaan seperti itu oleh Wooseok, sementara lelaki itu melirik jam tangannya, lalu menatap lelaki di depannya. "Maaf kalau saya lancang, tetapi saya hendak mengembalikan apa yang ada di tangan ke dalam laci dan melakukan pembukuan penjualan. Permisi."

Wooseok berlalu dari hadapan Minhyun, membuka laci yang merupakan tempat penyimpanan peralatan kebersihan dan menguncinya. Lalu berjalan menuju laci yang sekaligus menjadi meja untuk menuliskan nota dan menyimpan semua kunci laci counter-nya. Membuka laci dan mengambil buku besar yang digunakan untuk pembukuan penjualan produk. Lalu sebelum menutup laci, dia melihat hand sanitizer dan mengambilnya. Menyemprotkan ke tangannya, lalu mengusap untuk membersihkan tangannya.

"Saya boleh minta itu?" suara Minhyun membuat Wooseok yang tadinya mau mengembalikan ke laci, mendongak menatap lelaki itu. "Tangan saya tadi berjabat tangan denganmu yang memegang kain kotor, jadi ya saya ingin memastikan kuman di tangan mati."

Wooseok tidak mengatakan apa pun, tetapi menyemprotkan hand sanitizer beberapa kali ke tangan Minhyun. Setelah kegiatan itu, Wooseok pikir dirinya bisa terbebas serta bisa berkegiatan lainnya, tetapi nyatanya Minhyun justru berkeliling di counter dan membuatnya kesal.

Apa tidak bisa harinya di mall ini tidak kesal untuk beberapa saat saja?

"Saya baru melihat ini," Minhyun mengambil contour, higlight dan blush yang berada pada 1 pallete. Membuat Wooseok menghentikan kegiatannya menulis, "ini apa, Wooseok?"

"Three in one palette, pak," Wooseok menjawab dan terpaksa mendekati Minhyun karena memaksa untuk membuka dengan cara yang salah, "ini contour, higlight dan blush yang berada pada 1 pallete. Bapak salah membukanya, harusnya seperti ini."

Wooseok memperagakan membuka palette yang tadi di buka Minhyun dan tidak berminat mengembalikan ke lelaki itu. "Bapak mau beli tidak? Ini produk best seller dari kami dan sering habis di tempat lainnya."

"Kamu bilang tadi ini belum jam operasional mall. Kenapa jadi berjualan kepada saya, Wooseok?"

"Prinsip saya, yang mampir kemari harus ditawari produk, meski pada akhirnya tidak membeli." Wooseok sadar Minhyun menatapnya sembari tersenyum (meski dia merasa senyumannya kali ini berbeda dari sebelumnya). "Orang-orang yang ke tempat saya jaga setidaknya tahu product knowlege agar kalau suatu saat membutuhkannya, mereka tahu harus beli ke mana."

"Hmm, good explanation." Minhyun menganggukkan kepalanya dan melirik jam tangannya. "Lima menit lagi mall akan buka, saya undur diri ya, Wooseok."

"Iya, pak Minhyun."

Wooseok tetap tersenyum dan saat merasa Minhyun menjauh, dia merasa lega. Meletakkan palette yang dipegangnya ke tempat asalnya, lalu saat berbalik malah melihat Minhyun kembali melangkah ke arahnya. Wooseok pikir Minhyun benar-benar ingin membeli palette yang ditawarinya secara basa-basi, bukan mendengar hal ini saat lelaki ini berada di depannya.

"Jam makan siang, ayo kita makan bersama."

"Apa?"

"Kalau kamu tidak tahu, grupmu punya keistimewaan untuk bisa makan di luar kantin saat jam makan siang," Wooseok bahkan tidak bisa memproses apa yang terjadi padanya saat ini. Lalu malah mendengar kalimat lainnya yang membuatnya mendadak pusing lantaran, "saya anggap diammu berarti setuju. Sampai berjumpa jam dua belas siang, Wooseok."

Setelah itu, Minhyun akhirnya pergi dari hadapan Wooseok. Setelah lelaki itu dan para managemen menghilang dari pandangannya Wooseok, dia memejamkan mata dan memijit pelipisnya. Lalu merasa tubuhnya diguncang dari dua sisi serta mendengar Hyewon serta Minjoo yang bertanya apa yang Wooseok obrolkan dengan Minhyun yang ternyata pemilik mall tempatnya bekerja.

Wooseok rasa hidupnya sekarang menjadi fanfic seperti One Night Lover pairing Seungzz buatannya.
Read More

Mari Ucapkan Terima Kasih Pada Choki-Choki

Saturday, September 12, 2020

No comments

Wooseok duduk di belakang pengemudi ojek online yang dipesannya sembari memeluk sekardus yupi rasa stroberi. Sengaja membelinya di supermarket mall tempatnya bekerja karena malas mampir kalau sudah naik ojek. Pikirannya kembali ke momen tadi bertemu dengan lelaki muda yang menggunakan setelan jas berwarna abu-abu gelap. Tiba-tiba saja menghampirinya dan mengajaknya mengobrol. Padahal Wooseok sudah memberikan wajah galak yang seharusnya sudah jelas dirinya tidak mau diajak berbicara.

Karena jarak mall tempatnya bekerja dengan kantornya Doyoung cukup jauh, setengah jam kemudian baru sampai. Wooseok memberikan tambahan uang kepada pengemudi ojek online yang mengantarnya dan mendapatkan banyak ucapan terima kasih. Bukannya apa, Wooseok tahu rasanya bekerja di front liner dan menghadapi banyak orang dengan berbagai kepribadian. Jadi memberi sedikit tidaklah apa-apa bagi Wooseok.

Dia duduk di salah satu kursi yang disediakan di lobi PDX. Beberapa kali Wooseok mendapatkan pandangan ingin tahu dari orang-orang yang lewat, mungkin karena heran dengan lelaki menggunakan kemeja ungu, dasi serta celana hitam duduk di lobi sembari memainkan HP. Wooseok tidak menyangkal kalo warna kemejanya itu pasti akan menarik perhatian orang-orang dari jauh sekali pun. Mungkin memang itu tujuan perusahaannya memilih warna ungu, Wooseok juga tidak mau ambil pusing sebenarnya.

"Beneran dong dibeliin sekardus," suara itu membuat Wooseok mengalihkan pandangan dari HP-nya dan Doyoung sudah berada di depannya. Di pundaknya ada tali ransel, tetapi hanya bagian kiri yang tersampir tali ransel. Wooseok hanya melengos dan Doyoung mengambil kardus yupi yang memang diperuntukkan untuknya, "mau langsung pulang atau jemput Seje?"

"Jadi nyamuk lagi gue," sahut Wooseok yang membuat Doyoung tertawa, "yaudah ayo jemput dia. Gue tadi WA katanya dia bakalan lama di toko soalnya bantuin stocking yang punya toko."

"Gaslah."

Wooseok berdiri dari kursinya dan melangkah di samping Doyoung. Tidak tahu kalau dari kejauhan ada Jinhyuk yang menatapnya dan Sejin di samping lelaki itu menepuk pelan punggungnya.

"Sabar ya, dia kemari ternyata bukan buat lo," Sejin masih menepuk-nepuk pelan punggung Jinhyuk, "seengaknya udah ada perkembangan lo ketemu sama dia dan berinteraksi, meski digalakin."

"Sejin, salah gak sih gue merasa sebal lihat dia sama anak IT itu dekat?"

"Gak salah sih, tapi ya lo gapunya hak juga buat melarang," Sejin menyahut dan melirik apple watch di tangan kirinya, "lama bener si oren ya ampun. Ngeberesin tas apa ngeberesin masa depan?"

Jinhyuk hanya menggelengkan kepalanya mendengar gerutuan Sejin itu. Tidak lama kemudian, Seungwoo dan Byungchan bergabung dengan mereka. Masih tetap menunggu Seungyoun karena mereka janjian makan malam bersama meski tidak dalam rangka apa pun. Soalnya hanya hari ini waktu yang mereka semua bisa hadir.

"Lama bener lo, anjir!" makian Sejin itu membuat lamunan Jinhyuk buyar dan yang dimaki hanya bisa tertawa.

"Sorry ... sorry, anak magang konsul sama gue makanya lama."

"Modus aja lo, heran," komentar Sejin yang hanya direspon tawa oleh Seungyoun. Membuat Jinhyuk, Seungwoo dan Byungchan hanya menggelengkan kepalanya, karena Sejin ketara sekali sebal dengan Seungyoun, padahal dia sendiri kalau didekati juga pura-pura tidak peduli. Heran dengan kisah dua orang ini maunya sebenarnya seperti apaan. Kemudian Sejin melengos sembari menatao Seungyoun, "kalau mobil gue gak masuk bengkel aja, udah gue tinggal lo."

"Iya bos iya, gue salah."

Namun, sepertinya memang Jinhyuk harus bertemu dengan Wooseok lagi atau bagaimana, karena saat sampai di restoran yang mereka pilih untuk makan malam, ada lelaki itu dan Doyoung. Wooseok sibuk HP-nya, sementara Doyoung entah tengah mengunyah apa. Jinhyuk ingin menyapa, tetapi tidak lama kemudian ada perempuan yang menghampiri meja dua orang itu, menghalangi Jinhyuk untuk melihat Wooseok.

"Matanya tolong jangan segitunya buat dipake melihat," tegur Byungchan yang membuat Jinhyuk menatap lelaki yang paling muda di antara mereka, "biasa aja bang lihatnya. Lo lihat kayak nge-gap pacar selingkuh."

"Gue lihatnya biasa aja?"

"Tanya deh sama semua yang di meja ini, gimana lo natapnya, bang," Byungchan kemudian mengangkat bahunya, "ya kalo gak percaya kata gue yaudah, tapi lo cepetan milih menunya dong, bang! Gue udah laper banget ini dan tinggal lo doang yang belum milih."

Jinhyuk mendengarnya hanya bisa tersenyum, meski ekspresinya merasa sebal. "Iya ... iya, maaf."

Setelah menyebutkan yang ingin dimakannya dari berbagai menu yang ada, Jinhyuk kembali menatap meja yang ada Wooseok, Doyoung serta perempuan yang tidak dikenalnya. Tetap saja Wooseok tidak bisa terlihat karena terhalang oleh perempuan yang memunggungi Jinhyuk, membuatnya hanya bisa menghela napas panjang.

Jinhyuk berusaha untuk mengabaikan Wooseok dan terlibat dengan pembicaraan tidak jelas teman-temannya, tetapi yang terjadi adalah matanya selalu mencuri pandang ke meja lain. Mencoba menajamkan telinga untuk mendengar suara di meja sana, meski sia-sia karena mejanya cukup ribut suara Sejin yang berdebat dengan Seungyoun dengan dikompori oleh Byungchan agar keduanya semakin ribut.

Saat akhirnya perempuan yang menghalangi pandangan Jinhyuk akhirnya berdiri dari tempatnya, ternyata Wooseok serta Doyoung juga melakukan hal yang sama. Jinhyuk melihat perempuan yang sejak tadi menghalangi pandangan Jinhyuk dengan entengnya menggandeng Wooseok, meski lelaki itu tampak tidak peduli. Melewati mejanya Jinhyuk tanpa peduli sekitar, sementara Doyoung yang berjalan di belakang keduanya, sempat melirik mejanya dan memberikan senyuman (yang di mata Jinhyuk terlihat menyebalkan).

Sepanjang sisa waktunya bersama yang lain, Jinhyuk menjadi lebih diam dari biasanya. Membuat Byungchan serta Seungyoun mengejek Jinhyuk. Sementara Sejin hanya menggelengkan kepala dan Seungwoo tumben sekali berkomentar, "cemburu itu wajar, tapi ingat kalau gak punya hak."

Kalau ada yang dibilang untung, setelah berpisah dengan keempat temannya, Jinhyuk bisa langsung pulang. Byungchan yang biasanya selalu minta diantarkan pulang oleh Jinhyuk, hari ini tumben sekali tidak menolak diantarkan oleh Seungwoo. Jinhyuk tidak begitu mau tahu apakah Byungchan akhirnya sadar kalau Seungwoo menaruh rasa kepadanya atau memang murni lelaki itu bosan diantar olehnya.

"Komuk gak usah cemberut gitu. Salah siapa pas beliin gue yupi gak sekalian beli choki-choki?" suara itu membuat Jinhyuk yang tengah menunggu lift, menoleh. Melihat Doyoung tengah memeluk kotak yang ada tulisan yupi, sementara Wooseok berjalan di sebelahnya dengan wajah kesal. "Udah, besok aja belinya, gak usah kayak orang susah gitu."

"Ya guenya mau sekarang."

"Ya napa tadi kaga beli sekalian, Ucok?"

"Tadi gak kepengen."

"Gojek aja udah, gak usah jadi orang susah."

"Nanti dibeliin satu bungkus isi lima itu, bukan sekotak!"

"Auklah, ribet amat jadi lo," Doyoung melengos dan saat pintu lift terbuka, melangkah masuk, lalu berbalik. Melihat Wooseok yang masih berada di luar dan begitu juga dengan Jinhyuk, "lo dua pada mau masuk lift kaga? Kalo gak, gue tutup nih."

Jinhyuk akhirnya masuk, kemudian Wooseok juga masuk meski masih tetap memasang wajah kesal. Jinhyuk tidak bisa menahan diri untuk melirik Wooseok yang tetap memandang ke depan. Ekspresi kesalnya itu tidak bisa membuat Jinhyuk berpikir kalau itu menggemaskan, tetap sama seperti yang diingatnya selama ini. Saat pintu lift terbuka karena telah sampai di lantai mereka, Doyoung dan Wooseok melangkah keluar.

Jinhyuk tetap tinggal di dalam dan kemudian saat pintu lift tertutup, dia kembali menekan lantai basement. Saat sampai di basement, Chaeyeon menelepon untuk bertanya kenapa dirinya belum pulang dan Jinhyuk menjawab, "bentar, ada yang kelupaan dibeli."

Padahal kalau Jinhyuk melakukan ini, belum tentu juga bakalan mendapatkan respon dari Wooseok. Namun, nyatanya Jinhyuk butuh waktu setengah jam untuk menemukan choki-choki satu kotak, bukan yang dibungkus dengan plastik isi 5. Meski saat perjalan pulang, Jinhyuk berpikir bagaimana cara memberikan kepada Wooseok tanpa membuat lelaki itu sebal kepadanya?

Menatap pintu apartemen di mana Wooseok tinggal dan tadinya Jinhyuk ingin menekan bel. Namun, pada akhirnya diurungkan niatnya dan setelah menatap HP yang menampilkan chat-nya bersama Wooseok, akhirnya dia mengirimkan pesan bahwa berada di depan pintu. Hanya dibaca dan tidak ada balasan, yang membuat Jinhyuk menghela napas.

Menyerah menunggu balasan dan memutuskan menekan bel pintu. Belum selesai suara bel berbunyi, pintu sudah terbuka dan Wooseok yang muncul. Menggunakan kaus hitam, celana coklat tua selutut dan menatap Jinhyuk tanpa ekspresi.

"Gak sabaran," itu kalimat pertama yang Jinhyuk dengar secara langsung setelah kejadian di lift PDX, memarahinya saat menegur lelaki itu, "ada apa?"

Jinhyuk yang akhirnya tersadar karena terlalu lama menatap Wooseok, menyerahkan sekotak choki-choki (yang perlu dengan drama didapatkannya karena harus bertengkar dengan anak kecil karena itu kotak terakhir di toko yang didatanginya). Wooseok menatap kotak itu, lalu menatap Jinhyuk, "buat kamu."

"Oh ... oke," Wooseok akhirnya menerima kotak choki-choki yang diberikan kepadanya, "harus bayar berapa?"

"Tidak usah, itu untuk kamu."

Wooseok tidak langsung merespon, menatap Jinhyuk cukup lama dan membuat jantung lelaki itu berdebar tidak karuan karena banyak hal. Berdebar karena terlalu merindukan Wooseok yang ada di depannya. Berdebar kalau-kalau dirinya dimarahi karena tidak mau menerima bayaran. Berdebar karena tidak tahu harus melakukan apa pada reaksi Wooseok yang tidak bisa dibayangkannya.

"Makasih," akhirnya Wooseok mengatakan sesuatu, tetapi yang tidak bisa membuat Jinhyuk merespon adalah lelaki itu tersenyum kepadanya, "selamat malam, Jinhyuk."

Pintu di depannya akhirnya tertutup, dengan Jinhyuk yang bahkan tidak bisa merespon ucapan selamat malam untuknya. Setelah akhirnya bisa memproses apa yang terjadi, Jinhyuk menutup matanya dengan sebelah tangannya sembari menunduk dan tidak bisa mengendalikan senyumannya.

Sementara Doyoung yang baru keluar dari kamarnya sembari mengeringkan rambut dengan handuk, mengangkat sebelah alisnya karena melihat Wooseok mendekap kotak choki-choki di sofa. Padahal tadi sebelum masuk kamar untuk mandi, Doyoung masih ingat kalau Wooseok berkeras tidak mau gojek.

"Berubah pikiran untuk gojek lo?" tanya Doyoung yang membuat Wooseok menatapnya.

"Gak," jawaban Wooseok itu membuat Doyoung mengkernyit, "tapi tadi ada yang WA gue buat keluar dan ngasih ini."

Doyoung mendengarnya hanya membeo, "oh," lalu teringat sesuatu, "itu medallion-nya apaan? Pikachu apa My Little Pony?"

"Penting amat itu ditanyakan?" suaranya saja yang terdengar tidak minat, tetapi kotak yang didekapannya akhirnya dipegang dan ternyata ada gambar My Little Pony. "My Little Pony nih, mau lo koleksi?"

"Kaga ah, itu kan dari butolnya lo. Disimpen aja buat bukti kenangan lo sama dia, lol," sahut Doyoung yang mendapatkan lemparan bantal sofa dari Wooseok. Tentu saja Doyoung dengan gesit menghindar dan berakhir mengenai tembok di belakangannya, "kurang-kurangi tsun lo ye padahal omongan gue emang kenyataannya."

"Shut up!"

Doyoung berjalan ke dapur untuk mengambil minuman, sementara Wooseok menatap kotak di tangannya dan menghela napas. Tentu saja membuatnya tersenyum sebentar, lalu memasang ekspresi seperti biasanya karena mendengar langkah Doyoung yang mendekatinya. Daripada mendengar ejekan lelaki itu, lebih baik bersikap biasa dan membuka kotaknya, untuk mengambil 1 choki-choki untuk dimakannya.
Read More

Petang Itu, Dia Tahu Hal Baru Tentangnya

Thursday, September 10, 2020

No comments

Wooseok sebenarnya cukup lelah karena sejak tadi keluar masuk hampir semua toko yang ada di mall ini. Dari toko pakaian, tempat yang menjual camilan atau minuman, sampai dengan toko kecantikan. Meski untuk yang terakhir, Wooseok harus menabahkan diri berada di sana cukup lama. Selain karena menunggu Chaeyeon yang dilema dengan warna liquid lipstick yang selalu warna sama dari pouch makeup-nya (Wooseok sempat membukanya karena perempuan itu ribet sendiri membenarkan maskara yang padahal menurutnya tidak ada masalah), juga karena hampir semua orang yang menjadi SPG mau pun SPG brand brand kecantikan adalah temannya.

"Kak, sumpah aku kaget loh pas tahu kakak kerja jadi SPB," perkataan Chaeyeon yang sudah kelima kalinya didengar Wooseok hanya bisa direspon dengan senyuman, "bukannya aku merendahkan ya kak, sumpah aku gak ada niatan begitu. Cuma ... emang pas aja gituloh sama kakak yang sejak dulu bisa rekomendasiin aku produk-produk yang cocok sama kulitku."

"Hahaha ... padahal kalau mau menyindir juga kakak gak masalah sih."

"Ih gaklah!" Chaeyeon menatap Wooseok sembari mengibaskan sebelah tangannya yang tidak memegang kantong belanjaan. Mungkin hanya ada tiga tas kecil dari tiga toko kecantikan yang berbeda. Sisa kantong belanjaanya Chaeyeon yang membawanya adalah Wooseok. "Justru orang kayak kakak itu dibutuhkan di masyarakat ini. Masa ya kak, aku tuh pernah mampir ke toko dan sama SPG-nya direkomendasikan warna paling terang dengan alasan itu bikin pangling. Kayak ... halo? Aku suka sama warna kulitnya aku dan makeup itu cuma buat ngeratain doang, bukan buat naikin warnanya."

"Napas, Chae ... napas," Wooseok tertawa karena perempuan itu berbicara tanpa terputus, "makasih udah menganggap pekerjaan kakak itu biasa aja."

"Ih siapa yang berani bilang pekerjaan kakak biasa aja? Sini maju ngadepin aku! Kayak dia kalau ke counter gak nanyak SPG atau SPB cocoknya dengan warna kulitnya apaan?!"

Wooseok mendengarnya hanya tersenyum, lalu mengikuti langkah Chaeyeon yang masuk ke salah satu yang menjual produk kecantikan dengan berbagai merk, meski sebenarnya tokonya sebenarnya diperuntukkan sebagai apotek. Namun, Wooseok bingung saat Chaeyeon langsung ke kasir tanpa membawa barang apa pun.

Apalagi saat mendengar, "mbak, ada inhaler? Kalau ada, stoknya berapa banyak ya?"

"Chae, kamu asma?" Wooseok tentu saja tidak bisa untuk tidak bertanya, membuat perempuan itu menoleh dengan cepat, lalu matanya melebar seolah dia baru saja melakukan kesalahan. "Kakak marah nih kalau kamu gak mau ngasih tahu."

Chaeyeon terdiam, sementara kasir yang ditanya oleh Chaeyeon pergi ke tempat penyimpanan obat, sepertinya mencoba mengecek permintaan perempuan itu apa ada stoknya. Wooseok baru mau bertanya lagi, tetapi akhirnya Chaeyeon menghela napas dan memainkan jarinya di dekat wajahnya.

"Tapi kakak janji gak nyalahin diri sendiri ya kalau aku kasih tahu."

"Hah?"

"Sama janji kakak pura-pura gatau di depan bang Jinhyuk!"

Wooseok semakin bingung dengan kalimat-kalimat yang dikatakan oleh Chaeyeon, tetapi memutuskan untuk menganggukkan kepala. "Oke, kakak janji."

"Jadi ... sebenarnya ini buat kak Jinhyuk," Chaeyeon masih memainkan jarinya, tetapi tidak berani menatap Wooseok, "soalnya ... kak Jinhyuk semenjak ditinggal kakak sering sesak napas."

"Dia punya asma?" Wooseok masih belum sepenuhnya mengerti, tetapi teringat kalau Jinhyuk memang kadang merokok waktu kuliah. Itu kalau dia tengah stress berat dengan tugas yang tidak kunjung berhenti meminta dikerjakan, sementara belum ada tidur berhari-hari. "Apa gara-gara kebiasaan merokoknya waktu kuliah?"

"Loh bang Jinhyuk merokok?!" Chaeyeon malah terlihat terkejut dan menatapnya, yang membuat Wooseok sedikit pusing karena kenapa jadinya omongan mereka berputar seperti ini? "Setahu aku, kak Jinhyuk itu sesak napas kalau kebanyakan mikirin kak Wooseok, bukan karena rokok. Atau jangan-jangan abang selama ini nipu aku ya dengan bawa-bawa nama kak Wooseok?"

Wooseok masih belum mendapatkan benang merah antara terlalu banyak memikirkannya (meski ada sedikit bagian hati Wooseok yang merasa bersyukur kalau dirinya tidak dilupakan oleh Jinhyuk) dengan sesak napas. Chaeyeon tidak menjelaskan lebih lanjut lantaran kasir yang tadi ditanya oleh Chaeyeon sudah kembali dan menginformasikan jumlah inhaler yang tersedia. Membuat perempuan itu bilang untuk membeli semuanya dan mengeluarkan kartu kredit yang sejak tadi dilihat oleh Wooseok.

"Chae ... Jinhyuk ada masalah dengan jiwanya?" tanya Wooseok yang sebenarnya lebih mirip gumaman. Membuat Chaeyeon yang baru selesai menanda tangani struk dari electronic data capture atau mudahnya alat yang biasa untuk menggesekkan pembayaran yang menggunakan kartu. "Kamu yang jelas ngomongnya, kakak marah nih karena kamu muter-muter."

"Emang bang Jinhyuk gak baik-baik aja kak," Chaeyeon mengambil belanjaannya dan memasukkannya ke dalam salah satu tas brand kecantikan yang dipegangnya, "tepatnya, bang Jinhyuk gak baik-baik aja setelah kakak menghilang."

Wooseok tidak tahu harus bereaksi apa saat ini. Dia pikir yang selama ini hanya merasakan sakit hanyalah Wooseok, tidak pernah sedetik pun terlintas jika Jinhyuk juga merasakan penderitaan karena mereka berpisah. Alasannya tentu karena Wooseok tidak pernah merasa dicari oleh Jinhyuk selama ini, meski dirinya juga selama ini selalu mencari segala cara untuk tidak bersinggungan dengan orang-orang yang kemungkinan besar kenal dengan Jinhyuk dan memberitahukan keadaannya.

"Bang Jinhyuk itu...," Chaeyeon menghela napas, lalu memutuskan untuk menggandeng lengan Wooseok untuk melangkah keluar dan mencari tempat makan untuk mereka bisa berbicara dengan lebih nyaman. Setelah Chaeyeon menemukan tempat yang diinginkannya, mereka berdua masuk dan duduk di salah satu meja. Sembari menunggu pelayan menghampiri mereka, Chaeyeon menatap Wooseok yang sejak tadi tidak berekspresi apa pun, "...kak, jangan salahin diri sendiri ya, please. Ini bukan salah kakak."

Wooseok tidak menjawab itu dan menatap Chaeyeon, "Jinhyuk kenapa?"

"Itu ... bang Jinhyuk awalnya punya gangguan tidur. Lalu dua tahun belakangan semakin memburuk dengan bang Jinhyuk akan tiba-tiba sesak napas kalau terlalu memikirkan kakak." Chaeyeon tidak tahu apakah ini keputusan benar menceritakan keadaan Jinhyuk kepada Wooseok, tetapi sudah terlanjur sampai di sini. "Kata dokter, kondisi kesehatan bang Jinhyuk itu normal, gak ada asma. Tapi abang terus sesak napas dan akhirnya dirujuk ke psikiatri gitu, kak."

Wooseok tidak mengatakan apa pun, tetapi mulai menyesali keputusannya yang menghilang dari kehidupan Jinhyuk. Pemikiran-pemikiran yang dengan cepat melintas di kepala Wooseok, membuatnya merasa pusing, apalagi semakin lama semakin terasa negatif dan membuatnya takut kalau tiba-tiba ada mendengar suara yang menyuruhnya untuk mati.

"Kak Wooseok," panggilan dari Chaeyeon dan tangannya yang terasa digenggam membuat Wooseok menatap perempuan itu yang tampak mencoba terlihat baik-baik saja dengan tersenyum, "udah kak, jangan salahin diri sendiri. Kakak pasti punya alasan buat pergi selama tiga tahun ini dan gak ada yang berubah meski kakak nyalahin diri sendiri."

"Tapi ... kakak jahat banget sama abang kamu, Chae," Wooseok berusaha suaranya tidak bergetar, tetapi tidak bisa, "aku bikin Jinhyuk kayak gitu. Kenapa kamu masih mau ketemu sama aku dan pegang tangan aku seperti sekarang?"

"Kalian yang punya masalahnya, bukan aku, kak," Chaeyeon tersenyum, "aku gak tahu masalah kalian apa, tapi aku senang saat ketemu sama kakak dan kita pergi kayak gini. Karena berarti kakak gak sepenuhnya benci sama abang."

Gengaman tangan Chaeyeon terlepas saat pelayan datang membawakan buku menu. Baru juga Chaeyeon membuka buku menu, ada telpon yang masuk dan saat diangkat, Wooseok bisa mendengar kata abang yang berarti peneleponnya adalah Jinhyuk. Menjelaskan kalau mereka hendak makan malam, lalu Chaeyeon melihat Wooseok dengan ragu.

"Kalau dia mau gabung, gak apa-apa." Wooseok padahal hanya mengatakan hal itu awalnya demi kesopanan, tetapi entah kenapa rasanya ada sedikit beban yang terangkat saat mendengar apa yang dikatakannya. "Sama sekalian tanyain dia mau makan apa, biar kalau sampai dia gak perlu nontonin kita makan."

Lalu Wooseok malah mendengar Chaeyeon yang balik mengomeli Jinhyuk karena dikira membohongi lelaki itu. Sudah membawa-bawa nama Wooseok, membuat lelaki itu menghela napas.

"Chae, loudspeaker please," perkataan Wooseok membuat perempuan itu menjauhkan HP dari telinganya, lalu menekan tombol yang diminta. Mengulurkan kepada Wooseok, Chaeyeon bermaksud untuk menyerahkannya, tetapi tidak diambilnya dan mendengar, "jangan buat gue berubah pikiran, Lee Jinhyuk."

Cukup mengatakan itu, lalu Wooseok mendorong pelan tangan Chaeyeon untuk kembali bercakap dengan keadaan normal. Entah apa yang dilakukan oleh Jinhyuk di ujung sana, sampai-sampai mendengar omelan Chaeyeon karena dibebaskan memilih menu makanan untuknya dan diingatkan untuk menyetir dengan waras.

Satu jam kemudian, baru Jinhyuk datang. Napasnya terengah seperti orang berlari (atau memang benar-benar berlari, Wooseok tidak mau begitu tahu) dan pesanan Jinhyuk sudah ada. Mereka memang sengaja meminta kepada pelayan untuk memasakkan pesanan mereka setengah jam yang lalu dan Jinhyuk mengambil tempat duduk di samping Chaeyeon.

"Sorry lama banget ya. Jalanan abis pulang kerja macet banget," Jinhyuk mencoba menjelaskan, padahal tidak ada yang meminta dan semua orang juga tahu jam pulang kerja pasti macet. Lalu Jinhyuk menatap Wooseok dan berkata, "oh iya Seok, aku gak...."

Perkataan Jinhyuk terhenti karena Wooseok memberi gestur diam dengan menempelkan jari telunjuknya di bibirnya. Membuat Jinhyuk tampak salah tingkah, lalu berakhir mengusap tengkuknya. Chaeyeon sebenarnya ingin sekali menertawakan Jinhyuk karena dia biasanya mana mau diam kalau bertemu dengan orang yang disenanginya.

Saat Jinhyuk hendak memakan menu yang dipilih Chaeyeon, dia mendelik ke arah adiknya karena sengaja sekali memesan capcai, padahal tahu Jinhyuk tidak begitu suka memakan beberapa sayuran sekaligus. Jinhyuk bisa makan sayur, tapi hanya satu jenis untuk sekali makan.

"Jangan protes, yang milih kak Wooseok!" Chaeyeon tersenyum lebar, terlalu lebar malah yang membuat Jinhyuk ingin mengumamkan sepatah dua kata makian karena sedang dijebak. "Tanyain aja kalau gak percaya yang milih itu kak Wooseok."

Jinhyuk hanya bisa melirik Wooseok yang duduk di depannya, tengah makan nasi goreng (membuatnya diam-diam tersenyum karena setidaknya masih seperti yang diingatnya) dan pada akhirnya mulai memakan capcainya. Benar-benar agenda Chaeyeon yang ingin membuatnya makan banyak sayuran tahun ini terlaksana karena membawa-bawa nama Wooseok.

Mana bisa Jinhyuk membantah kalau memang itu yang Wooseok pilih.

Setelah selesai makan dan Jinhyuk yang membayar makanan mereka (dengan pura-pura tidak sadar saja tatapan sebal Wooseok karena biasanya kalau mereka makan bersama selalu membayar masing-masing makanan yang dipesan), mereka keliling mall tanpa tujuan selama beberapa saat. Chaeyeon berada di tengah-tengah Jinhyuk dan Wooseok. Menggandeng keduanya sembari mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak begitu Jinhyuk dengarkan karena seringnya mencuri pandang ke arah Wooseok yang tersenyum dan merespon perkataan Chaeyeon. Kantong belanjaannya yang membawa adalah Jinhyuk dan Wooseok karena kedua tangan Chaeyeon digunakan untuk menggandeng kedua lelaki.

Jinhyuk pikir, kesempatan seperti ini hanya ada dalam angannya, tidak akan pernah menjadi nyata.

Namun, nyatanya mereka di sini. Meski keduanya dipisahkan oleh Chaeyeon karena Wooseok tampaknya tidak ingin berinteraksi dengan Jinhyuk. Setidaknya, Wooseok tidak mengusir Jinhyuk, meski masih belum mau berbicara langsung dengannya.

Saat akhirnya Chaeyeon sudah tidak mau jalan-jalan lagi, dia melepaskan gandengan dengan Jinhyuk, tetapi masih menggandeng Wooseok. Membuat Jinhyuk mati-matian tidak memasang eskpresi galak, sementara Chaeyeon memasang wajah menggoda karena bisa melakukan apa yang Jinhyuk ingin lakukan saat ini.

"Wooseok, pulang bareng aja. Kita satu gedung apartemen juga." Jinhyuk tahu tadi sudah disuruh untuk diam, tetapi mana mungkin dia bisa benar-benar diam? Nanti yang ada Wooseok malah pulang sendirian, padahal mereka menuju tempat yang sama. Tidak ada respon, lalu Jinhyuk menambahkan perkataannya dengan ragu. "...gimana Seok?"

Tidak ada respon yang membuat Jinhyuk jadi merasa serba salah. Kalau ada yang dibilang untung, Chaeyeon yang masih menggandeng Wooseok, menoleh untuk menatap lelaki itu dan berkata, "kak, ayo pulang bareng! Kita harus melanjutkan perghibahan soal beauty vlogger yang dimulai di counter natrep tadi."

"Oke."

Jinhyuk merasa sedih sendiri karena perkataannya tidak direspon, tetapi perkataan adiknya direspon. Namun, Jinhyuk hanya bisa menghela napas dan mengingatkan diri sendiri kalau begini masih lebih baik daripada waktu pertama kali mereka bertemu di lift. Pura-pura tidak mengenalinya dan malah menyuruhnya diam saat hendak menanyakan kabar.

Meski saat perjalanan pulang, Jinhyuk benar-benar merasa seperti supir yang tengah mengantarkan majikan karena Chaeyeon dan Wooseok duduk di belakang. Benar-benar berghibah dengan istilah-istilah yang Jinhyuk tidak pahami, tetapi tidak bisa membuatnya tidak tersenyum karena dari nada suara Wooseok jelas terdengar emosinya dan membuatnya membayangkan ekspresi lelaki itu. Seperti yang Jinhyuk ingat selama ini, Wooseok kalau bercerita bukan hanya suaranya saja yang bereaksi, tetapi wajahnya.

"Dadah kak Wooseok! Nanti kita main lagi ya!" Chaeyeon melambaikan tangan dan Jinhyuk berada di samping adiknya itu. Mereka sudah tiba di gedung apartemen dan lebih spesifiknya, di depan apartemen yang juga tinggal teman kantornya Jinhyuk (tidak bisa dibilang teman juga sebenarnya, mereka hanya tahu nama satu sama lain) bagian IT.

"Iya," Wooseok tersenyum, tetapi tentu saja jelas arahnya kepada Chaeyeon, bukan juga diperuntukkan kepada Jinhyuk, "jangan lupa kerjakan tugas kuliahnya."

"Siap kak!"

Wooseok akhirnya berbalik dan menempelkan kartu ke pintu unit yang ditinggalinya. Jinhyuk tetap tinggal, sementara Chaeyeon sudah sejak tadi berjalan ke unit mereka tinggal. Menunggu sampai punggung Wooseok menghilang karena dihalangi oleh pintu, lalu berbalik karena mendengar teriakan Chaeyeon untuk segera ke unit mereka tinggal.
Read More