Tuesday, September 15, 2020

Biru Malam


Jinhyuk yang menerima kartu akses unit Doyoung, segera menuju lift. Meski tadi dia mendapatkan tatapan heran serta pertanyaan apa mengenal Doyoung, yang bisa Jinhyuk jawab dengan senyuman. Kepalanya bahkan tidak bisa diajak bekerja sama untuk merangkai kata untuk menjawab basa-basi resepsionis. Saat pintu lift terbuka, Jinhyuk segera masuk dan menekan lantai unitnya dan unit Doyoung berada. Rasanya detik demi detik berlalu begitu lambat di dalam lift, sampai akhirnya pintu lift terbuka di lantai yang dituju.

Berjalan dengan tergesa ke depan unit Doyoung dan menempelkan kartu akses. Begitu mendengar suara terbuka, Jinhyuk segera masuk dan kemudian mengambil HP-nya untuk menelepon Doyoung. Sepertinya lelaki itu juga menunggu untuk dihubungi, terbukti dengan cepatnya mengangkat telpon dan belum Jinhyuk mengatakan halo, sudah terdengar, "lo cari di setiap sudut rumah, literally sudut rumah. Dia suka duduk di sudut rumah kalau lagi begini."

"Oke."

Hanya itu respon yang bisa Jinhyuk berikan dan dia mulai mencari di setiap sudut unit apartemen ini. Meski Jinhyuk perlahan mulai mengingat cerita Wooseok saat mereka masih berteman baik di bangku kuliah. Bercerita jika Wooseok merasa suasana hatinya memburuk, dia akan mencari sudut tergelap dan sempit di ruangan untuk dia duduk. Tidak peduli jika itu akan membuatnya gatal-gatal setelahnya karena kulitnya Wooseok cukup sensitif dengan debu.

"Gimana?" suara Doyoung tepat di ruangan kamar terakhir yang Jinhyuk masuki.

"Gak ada!"

Jinhyuk menyerukan setengah berteriak, frustrasi. Lalu melihat sekitarnya dan menyadari aroma ruangan ini seperti milik Wooseok. Membuatnya melihat sekeliling dan menemukan dua rak buku cukup tinggi berwarna hitam dan dengan deretan fanbook yang Wooseok buat dengan penname lamanya juga dengan nama Lunar. Membuat hatinya mencelos karena merasa bodoh tidak menyadari akun yang diikutinya selama 3 tahun belakangan adalah milik Wooseok.

Dia bisa mendengar geraman kesal di ujung telpon, lalu mata Jinhyuk terpaku kepada satu lemari hitam di ruangan. Instingnya mengatakan Wooseok ada di sana, karena mendadak dia teringat apa yang dikatakan Wooseok saat di bangku kuliah.

Jika tidak ada sudut ruangan yang cukup gelap untuknya, Wooseok akan memasukkan diri ke lemari.

"Lo di mana sekarang?" suara Doyoung membuat Jinhyuk yang sudah berada di depan lemari, melihat sekelilingnya.

"Kamar."

"Yang ada kamar mandinya?"

"Enggak."

"Buka lemari kalau begitu," bahkan sebelum Doyoung mengatakan hal itu, Jinhyuk sudah membukanya. Menemukan Wooseok yang memejamkan mata, telinganya disumpal oleh headset dan sebelah tangannya memegang HP, "ada gak? Jinhyuk ... halo, Jinhyuk?!"

Jinhyuk berusaha untuk mengontrol suaranya agar tidak bergetar, tetapi sepertinya tidak bisa. "Ada."

Rasanya sekarang dia dihantam kenyataan bahwa selama mereka berpisah, Jinhyuk tidak tahu apa pun tentang Wooseok. Tidak tahu penyebab Wooseok yang selama berkuliah hampir tidak pernah melakukan kebiasaan berada di pojokan yang sempit dan gelap atau berada di dalam lemari, sekarang kembali melakukannya. Gelombang demi gelombang rasa penyesalan menghantam Jinhyuk, membuat matanya memburam dan dadanya sesak.

"Dia gimana keadaannya?" suara Doyoung akhirnya terdengar setelah cukup lama terdiam. "Dia gak terluka, 'kan?"

"Enggak...," Jinhyuk sudah tidak peduli suaranya didengar oleh Doyoung seperti apa, karena sebelah tangannya digunakan untuk menutup matanya dan menundukkan kepalanya agar setidaknya bisa kembali bernapas, "aku enggak tahu dia terluka apa enggak? Dia enggak bakalan begini kalau aku tidak dibutakan ambisi waktu itu."

"Jin...."

"Kalau waktu itu aku percaya dengan kemampuanku sendiri ... kalau waktu itu aku tidak memutuskan untuk menyalin saat UAS tekgas ... dia gak akan kayak gini," Jinhyuk memutuskan menjauhkan tangannya dari matanya dan menatap Wooseok yang seperti tidak mendengar suaranya yang sekarang bergetar. Tidak mengetahui air matanya yang entah sejak kapan sudah mengalir begitu saja, "ini semua salah aku. Kita enggak akan begini kalau aku enggak egois menggadaikan kepercayaan demi satu huruf di atas selembar kertas."

Helaan napas bisa Jinhyuk dengar dan tatapannya memburam. Tangannya hendak menyentuh wajah Wooseok, tetapi berakhir tergantung di udara. Begitu dekat, tetapi rasanya begitu jauh bagi Jinhyuk. Sesekali Wooseok bergerak untuk membenarkan posisinya yang jelas tidur sembari duduk itu tidaklah mungkin bisa sepenuhnya nyaman.

"Lo tahu, Jinhyuk? Sebenarnya lo bukan penyebab utamanya," Doyoung menghela napas panjang, yang bagi Jinhyuk terdengar seperti mencoba menenangkannya, "semua udah dimulai jauh sebelum kalian saling mengenal. Masalah lo dan Wooseok itu cuma momen membuat dia figure out what really happen."

"Kamu gak perlu menghiburku, semua ini salahku."

"Lo salah, tapi bukan yang utama," Doyoung lagi-lagi menghela napas, "karena kalau memang lo alasan utama semua yang salah di hidupnya, dia gak akan menyimpan semua hal tentang lo. Dia gak bakalan berusaha di batas gak wajar untuk menghindari lo."

"Tapi...."

"Kalau lo gak percaya, buka laci di meja panjang yang ada di kamar." Perkataan Doyoung itu tidak langsung direspon oleh Jinhyuk. "Kalau lo udah lihat semuanya, silahkan simpulkan sendiri. Gue tahu sebenernya kurang ajar ngasih tahu sampe sejauh ini, tapi tiga tahun gue lihat dia menangisi hal-hal yang bisa mengingatkannya ke lo lebih dari cukup."

"Kamu cinta dia, Doyoung?"

"Enggak!" Jinhyuk cukup kaget mendengar Doyoung menjawabnya yang terdengar seperti membentak dan tidak tampak dipikir untuk diucapkan. "Anjis kenapa tiap gue peduli sama Ucok selalu dianggap naksir dia? Gak boleh apa gue cuma kepengen dia hidup buat nebus dosa masa lalu?"

"Maksudnya?"

"Kakak gue sama kayak Ucok dan dia mati karena merasa gak ada yang peduli serta mengerti dirinya," helaan napas Doyoung terdengar lebih berat dari sebelum-sebelumnya, "udah jangan banyak nanya lagi. Pindahin dia ke kasur terus lo lihat laci! Ah anjing, kaga lihat gue lagi nerima telpon bentar apa?!"

Jinhyuk tidak bisa bertanya lantaran sambungan telpon sudah terputus. Menatap Wooseok di depannya cukup lama, lalu perlahan merengkuh lelaki itu ke dekapannya untuk bisa memindahkannya. Wooseok sesekali menggeliat, lalu bergumam, "Hyuka."

Butuh perjuangan untuk membuat air mata Jinhyuk tidak menetes kembali agar tidak membangunkan Wooseok kalau sampai terkena wajah lelaki itu. Setelah berhasil memindahkan ke tempat tidur, Jinhyuk menatap Wooseok dan kemudian melepaskan headset serta mengambil HP di tangan lelaki itu. Saat melihat lagu apa yang diputar oleh Wooseok, napasnya tercekat karena ... tidak ada yang diputar.

Entah Wooseok tidak mendengarkan apa yang terjadi di depannya atau sekarang tengah berpura-pura terlelap, Jinhyuk sudah tidak tahu lagi.

Meletakkan headset serta HP di atas nakas, lalu bergerak menuju laci yang dimaksud Doyoung. Ada rasa ragu yang menghampiri saat tangannya sudah berada di tarikan laci, lalu kemudian perlahan menariknya. Disambut dengan beberapa kotak berbagai ukuran. Ada kumpulan kertas dan saat Jinhyuk ambil beberapa menampilkan pesanan mereka saat berada di kafe janji hati.

Meski agak memburam, Jinhyuk bisa melihat tanggalnya, 18 Januari. Lalu di belakangnya 18 Maret. Lalu entah berapa lama Jinhyuk melihat-lihat semua struk yang sering menjadi bahan pertengkaran keduanya kalau sedang jalan karena Jinhyuk selalu membuangnya, tetapi Wooseok selalu menyuruhnya untuk memberikan kepadanya. Dulu, Jinhyuk pikir untuk perhitungan mereka membayar makanan atau minuman masing-masing, tetapi sekarang Jinhyuk mulai sadar ada tujuan lainnya.

Apa untuk ini?

Tangannya bergerak menuju kumpulan kertas berwarna pink norak yang dulu selalu dikeluhkannya harus dihabiskan karena Chaeyeon kalau membelikannya alat tulis selalu memberikan warna pink dengan segala cara dan upaya. Membuatnya seringkali diledek oleh teman-teman kelasnya karena alat tulisnya yang feminim, tetapi Wooseok tidak pernah sekali pun menertawakannya. Justru selalu bilang setidaknya dia beruntung punya saudara yang peduli dengannya meski caranya bagi Jinhyuk menyebalkan.

Tulisan-tulisan itu tidaklah rapi dan sampai detik ini, Jinhyuk masih tidak bisa menulis rapi. Jauh berbeda dengan Wooseok yang tulisannya seperti keluaran mesin printer saking rapinya dan ukurannya yang konsisten. Jinhyuk tidak pernah mengira jika Wooseok akan menyimpan semua ini, padahal daripada isinya highlight bab perkuliahan, kebanyakan justru Jinhyuk iseng menuliskan tentang mau makan siang apa atau cerita absurd (yang seringnya bisa diubah Wooseok menjadi cerita yang menarik untuk dibaca oleh orang-orang) atau malah gambar emoji yang tentu saja alay di masa sekarang.

Matanya kemudian melihat potongan-potongan tiket menonton. Benda lainnya yang sering Jinhyuk ingin buang dan berakhir dibawa oleh Wooseok dengan alasan nanti bergiliran membayar kalau menonton. Meski kalau menonton ujungnya Wooseok tidur di lengannya karena katanya menganggap tempat gelap adalah waktunya untuk tertidur. Membuat Jinhyuk sering mengejek kalau menonton tidak akan membawa Wooseok karena ujungnya menonton sendirian. Namun, pada akhirnya mana Jinhyuk pergi menonton kalau Wooseok tidak ikut dengannya. Meski yang mengajak teman-temannya yang tidak akrab dengan Wooseok dan hanya tahu sebatas nama.

Di sebelahnya ada tumpukkan foto-foto yang membuat Jinhyuk tanpa sadar tersenyum. Dia mungkin adalah sedikit dari orang yang selalu menyeret teman-temannya untuk photo box di tempat yang cukup jauh dari kampusnya. Pada akhirnya, setiap minggu yang Jinhyuk bawa adalah Wooseok karena meski dia mengeluh, tetapi kalau sudah memasuki hari Jum'at akan berpakaian lebih rapi dari biasanya dan beralasan Jinhyuk selalu membawanya ke tempat photo box pada hari itu.

Kegiatan yang tidak dilakukannya lagi semenjak Wooseok menghilang. Bahkan Jinhyuk hanya punya 1 foto di dompetnya dari ratusan foto yang telah mereka ambil. Foto yang tempo hari dipostingnya di Twitter, tetapi Wooseok menyuruhnya untuk menghapus. Sisa foto lainnya tidak dia tahu diletakkan di mana, karena kebiasaan Jinhyuk yang meletakkan secara sembarangan. Merasa akan selalu ada kesempatan untuk menciptakan kenangan lewat foto bersama Wooseok.

Hal yang nyatanya tiga tahun belakangan mengajarkan bahwa jangan terlalu sombong untuk mengira akan selalu ada kesempatan lain untuk Jinhyuk.

Matanya Jinhyuk memburam dan gelombang kesedihan menghantamnya. Jinhyuk selama ini berpikir Wooseok menghilang dari hidupnya karena membencinya. Menghilang dan menghapus eksistensinya dari dunia Wooseok. Bahkan saat mereka waktu itu bertemu pertama kali di lift PDX dan dijudesin oleh Wooseok, dipikiran Jinhyuk lelaki itu tidak mau melihatnya lagi ada di dunianya.

Namun, semua yang dilihatnya sekarang mengatakan sebaliknya.

Jinhyuk mendorong laci hingga tertutup, lalu menyadari ada laci kedua. Dia bahkan belum selesai berdebat dengan kepalanya, tetapi tangannya bergerak sendiri untuk menariknya. Membuatnya melihat kumpulan gantungan kunci yang selalu dibeli Jinhyuk di mana pun dia berada. Dari gantungan kunci tempat wisata sampai gantungan kunci norak yang entah apa faedahnya diciptakan. Dulu, Jinhyuk seringkali menggerutu karena Wooseok tidak mau menggunakan setidaknya satu gantungan kunci yang diberikannya.

Namun, sekarang dia mulai mengerti alasan Wooseok tidak mau menggunakannya. Bukan karena malu, tetapi Wooseok memilih untuk mengumpulkannya dan menjaganya. Padahal Jinhyuk yang membelikannya saja seringkali berakhir kehilangan gantungan kuncinya dan hanya tertinggal gantungannya di barang-barang yang digunakannya. Membuat Jinhyuk mengusap wajahnya dengan kasar, lalu mendongakkan kepalanya agar air matanya tidak jatuh.

Saat kemudian menunduk untuk melihat isi laci selanjutnya, ada snow globe yang tampak tidak utuh. Beberapa pecahannya tampak ada sedikit jejak darah dan membuat dada Jinhyuk merasa nyeri. Dia tidak tahu alasan mengapa benda pemberiannya itu tidak lagi utuh, tetapi jejak darah itu membuat Jinhyuk berpikir apa Wooseok memunguti setiap pecahan dengan tangannya? Jinhyuk menyentuh salah satu pecahan dan rasa tajam serta pedih terasa di telunjuknya. Melihat telunjuknya yang mengeluarkan darah meski setitik, membuat Jinhyuk tidak bisa membayangkan bagaimana wujud jemari Wooseok saat mengumpukan semua pecahan ini.

Mengalihkan pandangannya kepada kotak lainnya yang berbentuk bintang kecil-kecil dan Jinhyuk menutup matanya dengan sebelah tangannya. Mengigit bibirnya agar tidak ada isakan yang lolos darinya dan membangunkan Wooseok.

Jinhyuk ingat ... seminggu sebelum pengakuannya kepada Wooseok kalau berbuat curang di UAS mata kuliah Teknik Eksplorasi Gas Bumi, dia bilang ingin merasakan momen cringe yang dilihatnya di Twitter (yang sebenarnya tidak sama dengan keinginannya) yaitu seseorang memberikannya 1000 bintang kertas. Membuat Wooseok bertanya bukannya seharusnya kumpulan kata penyemangat sejumlah hari dalam setahun dan Jinhyuk menjawab dia ingin sesuatu yang berbeda. Karena dia menyukai matahari dan matahari adalah bintang. Jadi Jinhyuk ingin seseorang memberikan 1000 bintang kepadanya.

Padahal waktu itu Wooseok cuma memasang wajah masa bodoh dan memilih melanjutkan mempelajari modul di tangannya. Jinhyuk juga dengan cepat melupakan idenya itu karena rasanya konyol dan tidak akan mungkin ada seseorang yang mau mengabulkan permintaan konyolnya itu.

Ternyata Jinhyuk salah.

Wooseok tidak menganggap perkataannya konyol. Dia tetap membuatkan untuk Jinhyuk, padahal mereka tidak bertemu selama ini. Padahal Wooseok punya hak penuh untuk membenci Jinhyuk karena merusak kepercayaannya untuk bersikap jujur selama perkuliahan mereka di tengah orang-orang yang melakukan segala cara agar nilai di atas kertas menjadi sempurna. Jinhyuk pikir, apa yang dirasakannya selama Wooseok menghilang dari kehidupannya adalah karma untuknya. Selalu bepikir bahwa Wooseok sudah sepenuhnya melupakannya dan bisa melanjutkan hidup tanpanya.

Bukan seperti ini.

Bukan dengan menyimpan semua kenangannya bersama Wooseok. Hal-hal yang Jinhyuk rasa remeh dan kebanyakan tidak ada artinya. Jinhyuk bisa merasakan cinta di setiap benda-benda yang dilihatnya itu, lebih besar daripada yang dimiliki olehnya.

Membuatnya bertanya-tanya apa sebenarnya Jinhyuk pantas dicintai sebegininya setelah yang terjadi kepada mereka?

"Oh, baguslah lo belum balik," suara itu membuat Jinhyuk menjauhkan tangannya dari matanya dan melihat di pintu sana ada Doyoung yang bersedekap, "keluar. Kita butuh bicara."

Jinhyuk berbalik dan menutup laci yang dilihatnya seja tadi. Melangkahkan kaki keluar dari kamar Wooseok dan menutup pintu dengan sepelan mungkin. Mengikuti langkah Doyoung yang membawanya ke ruang tamu. Berhadapan satu sama lain dan Doyoung menyodorkan segelas air mineral kepadanya.

"Lo kacau, minum dulu," komentarnya yang tidak dijawab oleh Jinhyuk, tetapi menerima gelas yang diberikan untuknya. Saat minum, Doyoung menghela napas dan berkata, "gue anggap lo udah lihat semuanya."

"Dia ... dia gak benci aku?"

"Mulutnya selalu bilang kepada orang-orang mengenal kalian, dia benci sama lo." Doyoung melirik Jinhyuk sesaat, lalu memilih menyalakan TV untuk membuka Netflix. "Tapi orang benci mana ada modelannya kayak gitu? Nyimpen semua barang dari lo dan bakalan marah banget kalau ada yang buka lacinya itu."

Jinhyuk benar-benar kehilangan kemampuan untuk merangkai kata. Rasa penyesalannya yang tidak berusaha mencari Wooseok selama ini karena takut akan ditolak. Jinhyuk yang takut hatinya akan tersakiti jika tahu Wooseok bisa baik-baik saja hidup tanpanya dan menemukan orang lain yang bisa dipercaya serta menyayanginya sepenuh hati.

"Selesaikan apa yang kalian sudah mulai." Doyoung mematikan TV karena tidak ada yang menarik baginya, lalu melihat Jinhyuk. "Dia akan mendengarkan lo ... selalu akan mendengarkan lo pada akhirnya."

"Tapi...."

"Pertama, berhenti nyalahin diri sendiri. Karena seperti gue bilang di telpon, masalah sama lo cuma membuat dia akhirnya bisa mengetahui apa yang salah sama dirinya sejak lama." Doyoung menghela napas. "Kedua, dia akan tetap memilih lo pada akhirnya. Mau orang-orang datang dan mencoba menggantikan lo, pada akhirnya dia tetap milih lo yang bahkan dia gatau apa punya rasa yang sama dengannya apa enggak."

Tidak ada percakapan setelah itu dan Jinhyuk akhirnya pulang tanpa mengatakan apa pun. Kartu akses sudah dikembalikan kepada Doyoung dan sepanjang langkahnya menuju unitnya, Jinhyuk tidak tahu harus merasakan apa. Terlalu banyak emosi yang muncul pada dirinya hingga terasa begitu menyesakkan.

Saat membuka pintu, Chaeyeon menyambutnya dengan wajah yang siap memarahinya. Namun, ekspresinya berubah begitu melihat Jinhyuk dan bahkan belum mendapatkan izin untuk memeluk adiknya itu, dia sudah melakukannya. Mengeluarkan semua perasaannya dengan tangisannya dan tahu membuat adiknya panik karena takut Jinhyuk akan merasakan sesak napas seperti biasanya.

Namun, nyatanya saat itu tidak ada rasa sesak yang membuatnya biasanya membutuhkan inhaler. Ada rasa sesak, tetapi juga ada rasa beban yang rasanya setengah terangkah dari Jinhyuk saat menangis.

No comments

Post a Comment