Monday, September 14, 2020

Mimpi Buruk yang Menghampiri


Sebenarnya Wooseok agak merasa bersalah karena menjadi satu-satunya orang di grup CNF (cosmetic and fragnance) yang bisa pulang tepat waktu. Namun, Wooseok juga tidak mau berlama-lama di tempat kerja karena masih punya kehidupan yang lainnya. Sebenarnya kalau dibilang kehidupan yang penting juga tidak termasuk penting, tetapi saat Wooseok menulis rasanya sedikit yang ada di pikirannya bisa terurai.

Namun, Wooseok rasanya ingin bisa mengabaikan eksistensi Minhyun yang menghampirinya saat berada di dalam supermarket mall. Hendak membeli beberapa sayuran karena di kulkas apartemen Doyoung sudah tidak ada hal itu. Maklum saja, Doyoung kalau nyemil sukanya makan sayuran seperti wortel atau selada, sehingga dua hal itu harus Wooseok stok hampir setiap hari.

Doyoung kalau lapar menjadi menyebalkan soalnya.

"Sepertinya kamu sering belanja kemari," teguran itu hanya Wooseok jawab dengan senyuman, lalu mendorong trolinya untuk ke bagian sayuran. Pura-pura tidak sadar akan tatapan Minhyun kepadanya dan Wooseok berjongkok untuk memilih wortel yang berada di rak paling bawah, "kamu sering masak ya, Wooseok?"

"Iya, pak."

"Minhyun," perkataan lelaki itu membuat Wooseok melirik sebentar, lalu kembali fokus memilih wortel dan memasukannya ke plastik yang dipegangnya jika merasa masuk standarnya, "kamu bisa memanggilku dengan Minhyun, Wooseok."

"Maaf pak, saya tidak bisa." Wooseok akhirnya berdiri karena merasa sudah cukup membeli setidaknya sampai stok besok, lalu menatap Minhyun. "Anda bukan orang yang masuk ke dalam lingkungan pertemanan saya dan tidak berminat untuk menambah seseorang di lingkaran pertemanan saya. Permisi."

Wooseok memasukkan plastik berisi wortelnya ke dalam troli, kemudian mendorongnya. Sebenarnya dia tahu melakukan hal yang menyebalkan dan kemungkinan besar bisa membuatnya semakin tidak betah bekerja di mall ini. Namun, Wooseok tidak mau lebih lama lagi berpura-pura senang didekati oleh Minhyun.

Setelah membayar belanjaannya, Wooseok berjalan sembari menenteng tas belanjaan di bahunya. Tangannya menekan aplikasi ojek online dan mencoba memesan ojek, tetapi sampai langkahnya berada di depan pintu masuk mall, tidak ada yang mengambil orderannya. Membuat Wooseok menghela napas panjang dan memijit pelipisnya dengan sebelah tangannya.

"Wooseok." Panggilan itu membuatnya menoleh dengan tidak minat dan Minhyun berada di sebelahnya. Membuat Wooseok bertanya-tanya dari belah mana ucapannya yang kurang jelas kepada lelaki ini? "Kamu mau saya antar pulang?"

Wooseok tidak langsung menjawab dan menatap Minhyun, lalu menghela napas karena tahu dari caranya menatap, lelaki ini tidak akan menyerah begitu saja. "Sepertinya kalau saya menolak bapak tidak ada gunanya."

"Apa saya terlihat semenyebalkan itu?"

"Jujur? Iya."

Wooseok tidak tahu apa yang lucu dari perkataanya sehingga Minhyun tertawa. Pada akhirnya, Wooseok berada di dalam mobil Minhyun yang dia tahu merupakan salah satu mobil mewah. Terima kasih atas infonya dari majalan otomotif yang Doyoung selalu beli dan berakhir Wooseok baca karena tidak punya bacaan saat berkunjung.

Sepanjang perjalanan, Wooseok hanya merespon satu patah kata yang terdiri dari iya, tidak dan mungkin. Tidak punya mood untuk merespon pembicaraan Minhyun karena dia tidaklah bodoh untuk menyadari kalau lelaki itu tampak tertarik kepadanya. Wooseok hanya tidak ingin hal sama yang terjadi pada Xiao akan terulang kembali.

Ah benar, Wooseok belum ada menyapa Xiao semenjak kejadian hari itu. Dia tahu lelaki itu tidak baik-baik saja, tetapi Wooseok juga masih berpikir untuk menyapanya karena takut justru semakin menyiram cuka ke lukanya.

"Kamu yakin tidak mau diantar ke tempat tinggalmu?" tanya Minhyun saat membelokkan mobil ke deretan gedung yang berada di jalan menuju gedung PDX.

"Tidak," jawab Wooseok dan kemudian berkata, "tolong berhenti di sini."

Minhyun memelankan laju mobilnya dan menepikannya. Wooseok melepaskan sabuk pengaman dan menatap Minhyun sebentar, lalu menundukkan kepalanya. "Terima kasih atas tumpangannya."

Wooseok tidak begitu mau tahu apa yang Minhyun ingin katakan, karena dia mengambil tas belanjanya yang berada di bawah kakinya dan membuka pintu mobil. Begitu keluar, Wooseok langsung menutup pintu mobil dan berjalan menuju kafe yang tidak jauh dari PDX. Sengaja tidak meminta untuk di antarkan langsung ke PDX karena tidak mau mendengar lebih banyak pertanyaan yang mengarah ke kehidupan pribadinya.

Saat Wooseok sudah duduk di salah satu sofa dekat jendela yang mengarah ke jalanan, dia melihat Minhyun keluar dari mobilnya. Wooseok sudah menghela napas dengan kesal, lalu yang dilihatnya adalah lelaki itu berhenti melangkah karena ada lelaki lain yang berdiri di depannya. Tidak mau tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi sepertinya cukup dramatis karena saat Minhyun memutuskan berbalik, sebelah tangannya ditahan oleh lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya itu.

"Kopinya kak, silahkan." Suara itu membuat Wooseok menoleh dan mengucapkan terima kasih, lalu kembali menatap ke luar jendela.

Hanya saja Wooseok yang baru menyedot es kopinya, hampir tersedak karena melihat adegan yang sepertinya berciuman. Wooseok menepuk pelan dadanya karena hampir tersedak meski pikirannya bergumam gila juga pemandangan yang dilihatnya itu. Dia pikir dramatisasi suatu kejadian hanya ada di drama dan cerita, bukan benar-benar terjadi di depan matanya.

"Wooseok," panggilan yang suaranya terdengar asing, membuatnya mengalihkan padangan dan hampir saja kehilangan kemampuan memegang gelas di tangannya saat melihat orang yang tidak dipersilahkan untuk duduk di depannya. Pegangannya pada gelas menguat dan Wooseok memaksakan diri untuk bernapas seperti biasanya, "um ... hai. Apa kabar?"

"Sebelum bertemu denganmu, tadinya aku baik-baik saja."

Suasana di antara mereka terasa berat dan Wooseok jelas tidak memberikan tatapan ramah kepada lelaki di depannya ini. Membuat Wooseok hanya bisa menghela napas panjang dan meminum es kopinya. Berpikir bahwa hidupnya memang serangkaian kesialan yang selalu terjadi. Bahwa meski sudah berada di kota ini untuk menghindari lelaki di depannya, kenyataannya mereka tetap bertemu.

"Aku tahu kamu membenci eksistensiku dan ibuku," lelaki di depannya berusaha berbicara dengan hati-hati dan menatap Wooseok, "tetapi itu tidak bisa menutup kenyataan kita bersaudara, Wooseok. Jadi aku berharap...."

"Lo berharap gue bersikap baik dengan orang yang menjadi selingkuhan bapak gue, gitu?" sela Wooseok dan meletakkan gelas es kopinya di meja dengan hentakan yang cukup keras. Entah apa gelasnya retak atau tidak, Wooseok tidak mau peduli dan menatap lelaki di depannya dengan tatapan menusuk. "Lo mau gue manggil lo, abang Jinhoo, gitu?"

"Woo...."

"Berhenti manggil gue!" bentak Wooseok dan menghela napas panjang. "Apa kalian gak cukup ngambil bapak gue dari ibu gue? Apa kalian gak cukup nyakitin gue dan ibu gue saat napas terakhir yang dicari bapak gue adalah kalian? Apa gak cukup kalian bikin gue jadi yatim piatu?"

Wooseok tersengal karena mengatakan hal sepanjang itu tanpa jeda, kemudian membuang pandangannya ke arah jendela yang menghadap jalanan. Sudah tidak ada mobil Minhyun dan Wooseok jadi merasa menyesal tadinya tidak meminta berhenti di gedung PDX. Bukan di kafe dan malah menemukan orang yang menjadi bagian dari mimpi buruk di hidupnya.

"Maaf," suara Jinhoo terdengar bersalah dan Wooseok tidak mau repot-repot melihat wajah lelaki itu karena tidak ingin matanya berkabut karena kemarahan yang dirasakannya, "ibuku memang salah karena tidak mau melepaskan ayah sampai akhir, tapi pada akhirnya kita berdua sama-sama korban di sini."

"Pergi."

"Wooseok, aku...."

Wooseok menatap sinis Jinhoo. "Apa gue terlihat ingin diajak berbicara? Apa gue terlihat akan memaafkan perbuatan ibu lo? Apa gue terlihat ingin bertemu dengan lo setelah dengan sengaja tinggal di kota yang gak familiar ini?"

Jinhoo tidak mengatakan apa pun, sementara Wooseok mengambil tas belanjanya dan berdiri dari tempat duduknya. Berjalan keluar dari kafe dan menuju PDX dengan mata berkabut. Napasnya terasa berat dan menahan air matanya tidak menetes dari matanya ternyata sesulit itu. Saat baru melangkahkan kaki ke dalam lobi, Wooseok bertemu pandang dengan Jinhyuk. Membuatnya membuang pandangan ke arah lain dan seolah tidak melihat Jinhyuk.

Namun, Wooseok berharap apa pada seseorang yang bernama Jinhyuk? Dia yang sejak dahulu bisa saja berlari dari ujung gedung perkuliahan kepadanya hanya karena melihat eksistensinya, apalagi kalau hanya dalam jarak seperti ini?

"Wooseok," panggilan Jinhyuk yang terdengar dari jarak dekat olehnya, nyatanya tidak membuatnya menoleh, "kamu tidak apa-apa?"

Wooseok tidak menjawab, tetapi merasa sebelah bahunya dipegang dan dipaksa untuk menghadap Jinhyuk. Keduanya saling bertatapan cukup lama, lalu Wooseok memutuskan kontak mata karena takut lebih lama mereka bertatapan, maka dinding pertahanannya runtuh.

"Mau pulang bareng?" Jinhyuk akhirnya mengatakan sesuatu dan mungkin mencoba untuk tidak bertanya lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Aku ambil tas dan kunci mobil ke atas. Kamu tunggu di sini ya."

Wooseok tidak mengiyakan, tetapi dia mendengar langkah menjauh dan membuatnya melirik. Melihat Jinhyuk yang berjalan menuju lift dan Wooseok memilih duduk di salah satu kursi yang ada di lobi. Lalu saat hendak mengirim pesan ke Doyoung, lelaki itu sudah mengirimkan pesan yang amat sangat tidak biasa.

Lembur malam ini, padahal hampir selama Wooseok tahu Doyoung bekerja di PDX, tidak pernah ada lembur di kamusnya. Dia selalu sukses pulang tepat waktu, padahal mendengar ceritanya Doyoung, teman-teman di timnya sedang lembur. Kalau ini keadaan biasa, Wooseok akan menyelamati Doyoung karena akhirnya mengalami apa yang biasanya karyawan kantor alami, lembur jika pekerjaan tidak selesai sampai jam kerja biasanya selesai.

"Wooseok," panggilan itu membuatnya mengalihkan pandangan dari HP dan Jinhyuk berada di depannya. Tali ransel berada di kedua bahu Jinhyuk dan mereka saling bertatapan cukup lama. Lalu kemudian, Jinhyuk mengulurkan tangannya dengan posisi menadah ke depan Wooseok, "ayo ... pulang?"

Ada keraguan dari nada bicara Jinhyuk dan uluran tangannya perlahan mulai bergerak mundur. Namun, Wooseok menerimanya dan mengenggamnya. Menukarkan dinginnya tangannya karena merasa kehidupannya tidak baik-baik saja dengan hangatnya tangan Jinhyuk. Wooseok berdiri dari tempatnya dan membawa tas belanjaan di bahu sebelah kiri.

Mereka berjalan bersisian, dengan tangan saling mengenggam dan tangan yang saling menempel satu sama lainnya karena jarak yang cukup dekat. Wooseok mengabaikan beberapa tatapan yang ditujukan kepadanya, karena yang dipikirannya sekarang adalah kembali ke apartemen Doyoung dan duduk di pojokkan kamar. Kalau lemari kamarnya muat menampung dirinya, Wooseok mau duduk di dalam lemari untuk menenangkan dirinya.

No comments

Post a Comment