Menerima dan Memaafkan Adalah Dua Hal Berbeda
MORE THAN OKAY
·
No comments
Wednesday, September 30, 2020
Wooseok menghela napas saat melihat kartu yang menjadi bukti kehadiran di tempat kerja. Meski menggunakan fingerprint untuk kehadiran, tetapi untuk bisa diizinkan pulang di pos pengamanan, Wooseok dan semua karyawan harus memperlihatkan tanda tangan dari pihak managemen. Sungguh sangat merepotkan, tetapi Wooseok mencoba menenangkan diri bahwa sebentar lagi dirinya bisa kembali bekerja di tempat biasanya. Berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya dan melakukan demo makeup. Bukan terjebak di satu tempat dan melakukan hal yang sama secara berulang-ulang.
"Apa gue ke dokter dulu ya?" gumam Wooseok karena sejak pagi selalu bersin dan kebetulan saat memegang keningnya, agak terasa hangat. "Tidur di lemari memang ide yang buruk."
Wooseok mengambil tasnya dari loker, lalu menguncinya. Mengantongi kuncinya dan memperlihatkan kartu yang sudah ditanda tangani managemen ke pihak keamanan, membiarkan badannya diraba untuk diperiksa dan lalu kemudian menanda tangani kertas yang berisi jam kepulangannya. Lalu baru ke mesin fingerprint untuk mengisi data di sistem waktu kepulangannya. Sungguh memusingkan sekali sistem di mall tempatnya bekerja dan untungnya Wooseok bisa pulang tepat waktu.
Menunggu gojek yang dipesannya di depan mall sembari menimbang apa harus mengirimkan pesan kepada Doyoung kalau dirinya akan ke klinik untuk mengecek keadaannya. Namun, pada akhirnya Wooseok tidak memberitahukan Doyoung karena cuitan di akunnya seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi tanda kalau dirinya agak tidak baik-baik saja. Lagipula lelaki itu katanya sedang menghadiri gathering yang diadakan kantornya, padahal Doyoung maunya tidur saj karena lembur di hari Jum'at adalah hal yang paling menyebalkan.
Kalau begini saja, Wooseok merasa bersyukur tidak bekerja sesuai bidangnya. Wooseok dengan mood swing yang kadang tidak bisa terkontrol dan kurang tidur adalah sama saja menambahkan bara untuk membuatnya semakin menyebalkan sebagai seorang manusia.
Gojek yang ditunggu akhirnya tiba dan sebentar saja Wooseok sudah berada di klinik langganannya kalau merasa tubuhnya tidak baik-baik saja. Menyapa semua pegawai klinik yang dilihatnya dan sebentar saja dirinya sudah berada di ruangan dokter. Menjelaskan apa yang terjadi hari ini (dan meski sebenarnya Wooseok tidak ingin mengakui bagian tertidur di lemari, tetap saja pada akhirnya dia mengaku) dan dokternya hanya menganggukkan kepala.
Sepertinya sudah terbiasa dengan kerandoman yang Wooseok lakukan, karena memang selama ini penyebab sakitmnya rata-rata karena sikapnya yang tidak bisa dikatakan biasa.
"Tubuhmu sepertinya kurang fit karena ... ya kamu mengertilah," dokter yang bernama Yohan itu tidak secara gamblang mengatakan penyebab sakitnya (karena sepertinya sudah terlalu capek untuk memberikan ceramah singkat untuk tidak melakukan hal seperti itu) dan menuliskan sesuatu di kertas resep, lalu menyerahkan kepada Wooseok, "aku meresepkan vitamin dan kalau bisa jangan melakukan hal random seperti itu lagi ya."
"Akan aku usahakan, dokter Yohan."
Saat keluar dari ruangan dokter, Wooseok berjalan menuju apotek. Seperti biasa, pasti ramai dan Wooseok memutuskan membuka aplikasi Evernote yang biasanya digunakan untuk menampung semua tulisannya. Mencoba mengetikkan apa yang ingin dituangkannya ke dalam tulisan, tetapi pada akhirnya memilih untuk menutup aplikasinya. Bukan karena tidak ada ide, tetapi karena namanya dipanggil untuk mengambil obat. Mendengarkan keterangan dari apoteker tentang obatnya yang harus diminum dan kemudian Wooseok berjalan ke kasir untuk membayar biaya pengobatannya.
Baru juga Wooseok selesai membayar obatnya, ada telpon masuk dan ternyata dari Doyoung. Begitu mengangkat, yang didengarnya adalah, "lo langsung pulang aja, gue hari ini pulang telat soalnya diajak makan sama divisi gue. Padahal gue butuh tidur, anjir!"
"Oh, oke."
"Mau gue bawain makanan gak?"
"Gak usah, gue mau masak sendiri."
"Oh yaudah kalo gitu. Gue tutup ya."
Wooseok tidak mengatakan apa pun karena suara sambungan telepon yang terputus. Dia menimbang apakah mampir ke supermarket di mall terdekat atau belanja di supermarket di area apartemen Doyoung sembari menatap aplikasi ojek online. Pada akhirnya Wooseok memutuskan untuk berbelanja di supermarket di area apartemen Doyoung karena dia sudah terlalu malas dengan kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya.
Meski sebenarnya di area apartemen Doyoung juga kemungkinan bertemu dengan yang dikenalnya juga ada, tetapi seharusnya kemungkinan itu lebih kecil. Jadi saat satu jam kemudian Wooseok sudah sibuk sendiri di supermarket untuk melihat-lihat bahan makanan untuk dipertimbangkan dibelinya, dia bersyukur karena....
"Wooseok?" panggilan itu membuat Wooseok menoleh dan mendapati Jinhyuk yang tengah memegang troli, menatapnya yang tengah berjongkok karena mengecek tanggal kadaluarsa yogurt. "Kamu juga belanja?"
Baru juga Wooseok ingin bersyukur karena tidak bertemu dengan yang mengenalinya, ternyata malah bertemu dengan orang terakhir yang ingin ditemuinya. Juga rasanya Wooseok ingin melontarkan balasan sarkastik karena pertanyaan Jinhyuk yang tidak bermutu itu.
"Kamu bisa lihat sendiri," Wooseok kemudian kembali fokus dengan kegiatannya, mengecek tanggal kadaluarsa dan mengambil tanggal terlama habis. Trik yang selalu dipakai Wooseok, jangan langsung mengambil yang dipajang di depan, tetapi cek bagian belakang karena biasanya masa kadaluarsanya berbeda. Memasukkan ke dalam trolinya dan menyadari Jinhyuk masih menatapnya, "ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?"
"Kamu apa ada waktu?"
"Kenapa?"
"Aku mau bicara sama kamu."
"Apa sekarang kita tidak tengah berbicara?" pertanyaan Wooseok itu mampu membuat Jinhyuk bungkam, kemudian membuatnya menghela napas. "Mau di mana? Aku belum makan, jadi kalau bisa jangan ajak aku ke tempat yang jauh."
"Mau tidak kalau makan di food court di daerah sini?"
Wooseok sebentar, karena tadinya niatnya adalah memasak di apartemen, tetapi kemudian menganggukkan kepalanya. "Oke."
Mereka kemudian berjalan beriringan dan membayar belanjaan masing-masing. Mendorong troli masing-masing ke daerah food court dan karena hari ini hari Sabtu, tentu saja ramai. Namun, setidaknya mereka mendapatkan meja dan Jinhyuk belum juga bertanya tentang menu, Wooseok sudah berkata, "nasi goreng spesial."
"Oh oke," Jinhyuk tampak terkejut, lalu kemudian tersenyum, "kamu gak berubah ya kalau sudah berhubungan dengan nasi goreng."
"Ya seleraku murah."
Setelah menyerahkan pesanan kepada pelayan, Jinhyuk menatap Wooseok yang memasang wajah datar. Membuatnya tidak bisa menahan senyumannya, karena seperti Wooseok yang selama ini diingatnya. Wooseok tidak akan berekspresi dalam keadaan diam, tetapi akan berbeda jika dia berbicara. Apalagi jika membicarakan topik yang disukai atau bergosip, wajahnya akan muncul berbagai ekspresi yang mungkin orang-orang tidak akan menyangka ada di diri Wooseok.
"Apa aku harus menontonmu tersenyum menatapmu?" pertanyaan Wooseok membuyarkan lamunan Jinhyuk dan kebetulan pesanan minuman mereka di antarkan ke meja. "Terima kasih, mbak."
"Ah, maaf, Wooseok."
"To be honest, aku masih belum memaafkan kamu," perkataan Wooseok itu membuat senyuman di wajah Jinhyuk perlahan memudar. Benar, mereka belum menyelesaikan masalah yang lalu dan sikap Wooseok yang menerimanya membuat Jinhyuk salah mengartikan..., "itu urusan kita yang belum selesai, tapi setidaknya sekarang kita sedang berproses."
Jinhyuk mendengarnya hanya bisa mengangguk dan menyedot teh esnya dengan gugup. Padahal Jinhyuk yang meminta waktu Wooseok untuk berbicara, tetapi dia sendiri yang gugup harus memulainya.
"Jadi, mau ngomongin apa?"
"Aku tadinya mau minta maaf sama kamu," Jinhyuk menatap Wooseok, lalu tanpa sadar tersenyum getir, "tapi kamu sudah bilang belum memaafkan aku."
"Aku enggak mau munafik bilang memaafkan kamu, tetapi hati aku bilang belum."
"Iya, aku mengerti kamu tidak bisa memaafkan aku karena merusak kepercayaanmu."
"Yah, setidaknya kamu tahu kalau perbuatanmu salah," Wooseok menggendikkan bahunya sesaat, "aku masih proses mencoba maafin kamu, Jinhyuk. Menerima kamu ke dalam kehidupanku itu juga salah satu proses untuk menuju ke sana."
Jinhyuk ingin sekali bertanya apakah Wooseok tidak berniat untuk ditemukan olehnya meski semua hal tentangnya disimpan baik olehnya. Namun, Jinhyuk rasa itu bukanlah hal yang ingin didengar oleh Wooseok mengingat perkataan Doyoung yang bilang kalau lelaki itu akan sangat marah kalau orang lain membuka laci penyimpanannya.
"Aku harus apa untuk kamu bisa maafin aku, Wooseok?"
"Bersikap seperti biasa?" baru kali ini Jinhyuk mendengar suara Wooseok yang terdengar tidak yakin. "Aku juga sebenarnya bingung harus bagaimana dengan kamu. Di satu sisi aku masih menyimpan kemarah soal kamu yang merusak kepercayaan aku, di sisi lain aku juga mau kita berbaikan karena ini tidak bagus untuk mentalku."
Ah, lagi Jinhyuk teringat jika Wooseok menjadi sekarang karena perbuatannya. Mental Wooseok yang tidak stabil sampai tidak bisa bekerja di bidang sesuai dengan jurusan kuliahnya dan itu membuat Jinhyuk merasakan nyeri di dadanya.
"Aku tahu," Jinhyuk menatap Wooseok yang juga menatapnya dengan datar, "aku penyebab kamu seperti sekarang. Aku yang bikin mentalmu tidak baik-baik saja dan harusnya aku mengerti kenapa kamu mencoba menghindariku selama ini."
"Memangnya kamu tahu apa?" pertanyaan Wooseok itu membuat Jinhyuk terkejut. Karena ada nada gusar yang didengar oleh Jinhyuk. "Kamu itu sama seperti dahulu, selalu membuat asumsi sendiri dan mencocokkannya dengan keadaan. Padahal apa yang kamu pikirkan dan kenyataan memangnya seperti itu?"
"Wooseok, aku...."
"Mental aku memang bermasalah dan setelah pertengkaran itu aku baru tahu alasannya, tapi aku sudah punya itu jauh sebelum kenal kamu," tatapan Wooseok yang terasa dingin membuat Jinhyuk tanpa sadar menelan ludahnya, "dan itu juga bagian dari usahamu untuk cari tahu apa yang terjadi padaku setelah kita putus kontak. Karena jujur aja aku tidak mungkin sendirian berusaha memaafkan, sementara kamu tidak ada usahanya."
Jinhyuk terdiam, sementara Wooseok meminum es jeruknya. Mungkin merasa haus setelah mengatakan kalimat-kalimat panjang tanpa jeda. Pesanan mereka akhirnya datang ke meja dan keduanya makan dalam diam. Setelah selesai makan, Wooseok meminta struk pembayaran dan membayar bagiannya. Jinhyuk ingin sekali bertanya apa struk itu bernasib seperti struk-struk lainnya yang dilihatnya kemarin? Disimpan di laci kamarnya, tetapi Jinhyuk tidak mengatakan apa pun meski dirinya tersenyum.
"Wooseok," panggil Jinhyuk saat mereka berjalan bersisian menuju tower tempat mereka tinggal. Wooseok hanya menjawab dengan gumaman dan tidak menoleh ke arah Jinhyuk, "aku akan berusaha."
"Ya."
"Jadi sampai saat itu tiba, kamu jangan hilang lagi."
"Enggak berjanji," jawab Wooseok yang berbelok ke lobi tower dan Jinhyuk mengikutinya. Mereka membalas sapaan resepsionis, kemudian menunggu pintu lift terbuka, "terakhir aku mengiyakan janjimu, kamu melanggarnya."
Jinhyuk hanya bisa tersenyum getir. Benar, Jinhyuk dulu yang mengajak Wooseok berjanji untuk melewati perkuliahan dengan usaha sendiri dan tidak seperti teman-teman mereka yang melakukan segala cara untuk bernilai baik di atas kertas, tetapi dirinya juga yang melanggarnya. Wajar Wooseok tidak punya rasa percaya kepadanya.
"Kamu tidak perlu janji," pintu lift terbuka dan mereka membiarkan orang yang berada di dalam lift untuk keluar, lalu mereka berdua masuk. Jinhyuk menekan lantai unit mereka dan saat pintu lift tertutup, dia melanjutkan, "hanya perlu tidak menghilang seperti dulu. Sampai aku tidak bisa menghubungimu lagi dan seolah hilang dari hidupku."
Wooseok tidak mengatakan apa pun sebagai jawaban. Begitu mereka tiba di unit masing-masing, Jinhyuk menunggu Wooseok masuk ke unitnya. Pintu hampir tertutup di depannya, lalu tiba-tiba kembali terbuka dan Wooseok menatap Jinhyuk.
"Selamat malam, Jinhyuk."
Jinhyuk mendadak membeku, apalagi melihat lelaki itu tersenyum tipis. Belum sempat memberikan balasan, Wooseok sudah menutup pintu unitnya dan Jinhyuk menangkup wajahnya dengan sebelah tangannya. Jujur, dia bingung dengan sikap Wooseok, tetapi tidak bisa menampik mendengar ucapan selamat malam untuknya secara langsung membuat senyuman di wajahnya tidak bisa dikontrol untuk muncul.
Wooseok dan segala tingkah lakunya yang sejak Jinhyuk mengetahui eksistensi lelaki itu, tidak bisa mengabaikannya.