Tuesday, September 8, 2020

Kisah Pada Malam Itu


Doyoung tahu dia tiba satu jam lebih awal dari waktu kepulangan Wooseok dan Sejeong. Jadilah dia masuk ke dalam mall dan membeli makanan untuk makan malamnya. Melewati counter tempat Wooseok serta Sejeong bekerja dari kemarin hingga hari ini. Wooseok masih terlihat bersikap seperti biasanya, meski matanya sedikit sembab. Wajanya tidak seperti tadi pagi, tetapi Doyoung tidak menganggap apa yang dilihatnya adalah hal yang valid.

Karena Wooseok orang yang pintar berakting untuk terlihat baik-baik saja.

Doyoung menimbang untuk mencari tahu akun Twitter dengan ID akusiapaya karena komentarnya yang mencurigakan. Dia tidak suka menerka tanpa bukti, tetapi hampir semua tebakannya benar dan itu membuat Doyoung terganggu. Sembari menunggu pesanannya diantar, Doyoung membuka Twitter akusiapaya dan kebanyakan isinya RT atau QRT cerita akun rps milik Wooseok.

"Terima kasih," Doyoung tersenyum saat pesanannya akhirnya sampai di mejanya, lalu menatap HP-nya, "hhh, mari cari tahu koordinat lokasinya."

Tidak butuh waktu lama untuk Doyoung mengetahui hasilnya. Hanya saja, dia mengkernyit saat koordinatnya menunjukkan di gedung apartemen yang ditinggalinya atau pun kantor tempatnya bekerja di sebagian besar cuitan dibuat. Sebenarnya kalau Doyoung mau melanggar privasi, dia bisa saja langsung log in ke akun Twitter yang membuatnya kepikiran untuk mencari data-data pemilik HP yang memegang akun tersebut.

"Ah, auklah." Doyoung meletakkan HP-nya di atas meja dan memutuskan untuk makan. Setelah selesai makan, dia kembali kepikiran tentang akun Twitter yang mencurigakan itu dan kembali membukanya.

Menyelami ribuan cuitan, RT dan QRT dan semakin ke bawah, Doyoung menemukan ada satu penulis yang selalu dipromosikan akun tersebut. Beruntung ada beberapa link yang masih aktif dan saat Doyoung membacanya, dari susunan katanya dia entah mengapa merasa yakin ini adalah milik Wooseok. Meski tidak seperti tulisan Wooseok sekarang yang boys love, tulisan yang dibacanya seperti fanfiksi romansa normal pada umumnya, antara laki-laki dan perempuan.

Semakin membaca ke bawah sampai cuitan pertama akun tersebut, Doyoung yakin ini orang yang dipikirkannya. Dari pemilihan katanya, dari caranya menjelaskan mengapa cerita tersebut harus dibaca, dan dari reaksi-reaksinya kepada akun-akun lainnya. Doyoung teringat kalau Wooseok punya satu email khusus yang tempat penyimpanan onlinenya penuh dengan screen capture yang entah nama akunnya apa, Doyoung tidak pernah baik mengingat hal detail pada suatu kejadian. Tidak sengaja dibacanya karena laptop Wooseok tidak bisa beroperasi dan hanya menampilkan halaman tersebut.

Kalau Doyoung ingat alamat emailnya, detik ini juga mungkin dia sudah membobol masuk dan mencocokkan cuitan yang dibacanya dengan apa yang disimpan Wooseok. Doyoung ragu ID akunsiapaya adalah ID yang sama digunakan bertahun-tahun yang lalu. Karena kalau sama, harusnya Wooseok sudah memblokirnya karena dia selalu berusaha menghindari apa pun yang berhubungan dengan orang itu.

Meski semua barang-barang yang diberikan oleh orang itu masih disimpan rapi oleh Wooseok dan bukan dibuang jika memang benar-benar mencoba melupakan eksistensinya.

Layar HP-nya berubah dari laman deretan cuitan Twitter menjadi telepon masuk dari Sejeong, "Oh Seje? Udah selesai kerjanya? Gue baru kelar makan, ntar gue samperin kalian."

"Kita aja yang samperin lo. Di tempat biasa?" Sejeong bertanya yang maksudnya restoran yang biasa Doyoung singgahi meski di mall yang berbeda. "Bisa pesenin makanan untuk Ucok? Tadi pas istirahat dia gak mau makan, cuma minum nutrisari jeruk nipis tanpa gula."

Doyoung mendengarnya menahan diri untuk tidak melengos. Pantas saja istirahat satu jam, tetapi bisa menuliskan cerita dalam bahasa Inggris (yang biasanya membuat lelaki itu merengek karena kepalanya terasa panas karena bukan bahasa yang cukup dikuasainya). Rupanya Wooseok mengorbankan jam makannya untuk membuat karya tersebut.

"Oke. Lo juga gue pesenin ya dan gak merepotkan, kalo itu yang mau dikatakan ke gue."

"Makasih dan sorry ngerepotin ya, Doyi."

"Kayaknya itu harusnya gue yang ngomong sih. Gue yang repotin lo karena harus ngurusin Wooseok yang kayaknya lagi masuk fase depresinya."

"Sampai bertemu, Doyi."

"Oke."

Makanya Doyoung tidak senang-senang banget kalau membaca karya Wooseok yang menggunakan tag fluff. Wooseok semakin depresi maka akan menulis cerita bahagia dan kecepatannya menjadi penulis produktif semakin tinggi. Doyoung belum pernah melihat Wooseok benar-benar berhenti menulis selama beberapa saat, karena katanya dia biasanya berhenti menulis kalau merasa bahagia dan mau menikmati momennya.

Selama tiga tahun Doyoung mengenal Wooseok, rasanya tidak ada hari tanpa Wooseok menulis. Meski sesibuk apa pun mereka, Wooseok dengan ajaibnya bisa memposting minimal satu cerita dalam sehari dengan panjang minimal 500 kata. Semakin banyak Wooseok menulis cerita atau semakin panjang satu cerita, berarti Wooseok tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Doyoung pernah membaca artikel seorang penulis barat saat diwawancara dan bilang setiap penulis punya pemicunya untuk menulis. Ada yang membutuhkan patah hati kepada seseorang baru bisa menulis. Ada yang harus bersama dengan orang yang dicintainya untuk menulis. Ada yang menulis karena tidak puas dengan kenyataan hidup sehingga membuat cerita untuk membuat dunia alternatif di mana tokohnya bisa berbahagia.

"Mata lo kayak ikan mas ye?" ejek Doyoung saat Wooseok duduk di depannya dan Sejeong di samping lelaki itu. "Udah gue pesanin makanan, awas lo gak makan."

"Cerewet."

"Makanya jangan kenal gue kalau gamau direcokin kek bapak-bapak WA," Doyoung melengos, lalu menatap Sejeong, "gimana harinya, Sej? Ketemu pelanggan rese atau ada yang loyal yang borong?"

"Untungnya gak ada yang rese," Sejeong melirik Wooseok, "tapi yang loyal belok ke Ucok semua, hih. Bagi-bagi kek ke gue gitu biar ada kerja nyata di counter."

"Diem aja loh gue," sahut Wooseok seadanya dan meminum es teh yang sudah ada di meja sejak mereka sampai tadi, "lagi cosplay jadi nyamuk juga."

"Apaan deh jadi nyamuk?"

"Kan gue pendukung agenda Doyi dan Seje jadian tahun ini."

Setelah itu, Wooseok dicubit oleh Sejeong dan kakinya ditendang oleh Doyoung. Membuatnya menyipitkan mata menatap dua orang itu, sementara Sejeong memasang wajah salah tingkah dan Doyoung sengaja mendelik karena Wooseok menjadi ember yang menumpahkan teh. Padahal yang lebih dari tahu dua orang ini sama-sama mau, cuma tidak maju-maju karena merasa insecure.

Doyoung yang takut kalau Sejeong cuma menganggapnya teman karena teman mainnya cowok semua. Sejeong yang takut kalau dia baper sendirian karena Doyoung itu baik ke semua orang.

Gitu aja terus sampai teh bisa jadi rasa kopi.

Sementara Doyoung dan Sejeong mengobrol, Wooseok memutuskan membuka Twitter. Merasa heran sendiri kenapa notifikasi sampai jebol seperti itu hanya karena fanfic yang tidak jelas bentukannya serta grammar-nya. Saat makanan yang dipesan Doyoung datang, Wooseok pura-pura tidak sadar kalau mendapatkan tatapan galak. Setidaknya Doyoung memesankan makanan kesukaan Wooseok, nasi goreng.

Meski kalau dalam setiap kesempatan, Doyoung akan menjadi orang nomor satu menghujat pilihan menu Wooseok karena mau di pinggir jalan, mau masuk restoran mewah selalu sama saja pesanannya. Berakhir biasanya Wooseok mengikuti sajalah pesanan Doyoung agar telinganya selamat dari omelan tidak ada titik komanya dari lelaki itu. Sudahlah, kalau bersama Sejeong yang kalau mengomel tanpa jeda sudah paling cocok.

Jadi bapak Doyoung dan Ibu Sejeong dengan anak ketemu gede yang mereka urusi adalah Wooseok, meski tidak pernah meminta.

Setelah makan malam, akhirnya mereka bergabung di jalanan ibukota yang macet. Doyong yang menyetir, Sejeong yang duduk di depan (selain karena memang demi agenda Doyi dan Seje jadian, juga karena perempuan itu senangnya duduk di depan untuk melihat jalanan) dan Wooseok di kursi penumpang belakang sembari mendengarkan lagu di HP-nya.

"Makasih ya udah di antar," Sejeong melambaikan tangannya saat sudah sampai di depan kosannya dan Wooseok yang pindah ke depan. Membuka pintu depan agar bisa masuk, tetapi belum menutupnya agar Doyoung masih bisa melihat perempuan itu, "hati-hati di jalan."

"Pulang ya, Sej."

Doyoung pamit dan setelah melihat Sejeong masuk ke dalam kosan, barulah Wooseok menutup pintu mobil. Menjalankan mobilnya dan Wooseok menyambungkan ke playlist HP-nya yang tentu saja Kpop. Kalau orang tahu selera musik Wooseok pasti dikata-katai, tetapi ada untungnya lelaki itu tidak begitu terbuka dengan orang lain sehingga teman di kerjanya cuma Sejeong.

"Gimana hari lo?"

"Ya gitu," Wooseok menjawab seadanya, "shit happen, tapi sekarang udah mendingan."

"Nangis ya tadi?" Doyoung sebenarnya tidak perlu bertanya, matanya Wooseok sudah bisa menjelaskan meski sudah ditutupi dengan makeup. "Bisa kerja besok? Kalau gak bisa ngadepin orang-orang, kita sekarang belok ke dokter untuk buat surat sakit lo."

"Gue masih bisa."

"Yakin?"

"Ya," Wooseok melihat HP-nya yang menampilkan beranda Twitter RPS-nya, "lagian gue gak suka buat surat sakit sementara gue gak apa-apa?"

"Sakit gak mesti fisik doang," sahut Doyoung yang berhenti mengemudikan mobil karena berada di lampu merah, "tapi lo tahu sendiri kita hidup di lingkungan sakit itu berarti selalu tentang fisik. Padahal ya gapapa lo butuh jeda karena jiwa lagi gak oke."

"Bisa dipecat gue kalau ngutamain perasaan terus."

"Kayak mereka berani aja? Lo waktu itu gak sengaja ngobrol sama managernya Sephora aja udah dikira mau pindah."

"Padahal emang gue ditawarin sih kerja di Sephora."

"Lah terus napa gak ambil?"

"Kapal Doyi Seje gue belum berlayar, pantang gue udahan jadi nyamuknya."

"Sialan," Doyoung menoyor kepala Wooseok, tetapi dia tertawa, "tapi Seje mau gak sama gue? Takut juga gue kalo ditolak."

"Mana Doyi yang gue kenal kalau ngejar apa yang dia mau sampai dapat? Masa belum mencoba aja udah takut duluan."

"Ya namanya juga manusia, pasti ada takutnya," Doyoung membelokkan mobilnya dan masuk ke kawasan apartemennya, "jangan lupa minum obat abis mandi. Awas aja lo kalau ketahuan begadang buat nulis fanfic lagi."

"Lo bawelnya ngalahin bapak gue deh, Doy."

"Ya emang gue ini perannya jadi bapak lo di sini?" Doyoung memarkirkan mobil di basement. "Kurang peran ibu lo aja deh buat jadi keluarga cemara."

"Seje noh udah cocok jadi ibu."

Doyoung tidak menjawab dan mematikan mesin mobilnya. Wooseok tentu turun dari mobil dan mengikuti langkah Doyoung. Saat pintu lift akan tertutup, ada tangan yang mencegah sehingga terbuka dan sesaat Wooseok lupa bernapas karena melihat siapa orangnya.

"Jadi masuk gak?" tanya Doyoung yang merasa drama saling menatap satu sama lain antara Wooseok dan dengan orang yang membuatnya kacau tidaklah diperlukan. "Kalau gak, gue tutup ini."

"Oh iya, sorry." Jinhyuk akhirnya masuk dan berdiri di samping Doyoung. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Wooseok yang menatap lurus ke depan tanpa ekspresi.

Saat lift berhenti di lantai yang mereka tuju dan pintunya terbuka, spontan saja Jinhyuk dan Wooseok melangkahkan kaki bersama. Lalu keduanya berhenti dan Doyoung menahan diri untuk tidak menghela napas serta memutar matanya. Jadilah Doyoung yang keluar duluan dari lift, lalu disusul oleh Wooseok dan terakhir, Jinhyuk.

Tidak ada percakapan di antara mereka, tetapi Jinhyuk melihat nomor apartemen di mana lelaki yang kata Seungyoun anak IT bernama Doyoung dan Wooseok berhenti sesaat untuk kemudian masuk. Teringat perkataan Chaeyeon kalau Jinhyuk tidak bisa maju sendirian, maka gunakanlah nama adiknya untuk mendekati Wooseok.

"Abang lama bener disuruh beli kecap sama minyak wijen, ih!" teriakan Chaeyeon saat berada di area dapur, membuat Jinhyuk menghela napas."Mana barangnya? Aku mau langsung pake buat masak."

"Tadi abang ketemu Wooseok," Jinhyuk memberikan apa yang diminta oleh Chaeyeon yang membuat adiknya menatapnya dengan semangat, "terus ternyata dia tinggal di lantai yang sama dengan kita, dua nomor dari unit ini."

"Satu Satu Tiga Tujuh?" tanya Chaeyeon yang membuat Jinhyuk menganggukkan kepalanya. "Yes, bisa main sama kak Wooseok kapan saja!"

"Dia juga punya kerjaan, Chae."

"Ada alasan mengapa waktu tercipta dua puluh empat jam, abangku sayang."

"Ngomongin Wooseok aja baru kamu manggil abang sayang."

Chaeyeon mengejek Jinhyuk dengan menjulurkan lidahnya, lalu lanjut memasak. Jinhyuk rasa, mungkin harus membawa nama Chaeyeon untuk setidaknya bisa mulai berbicara dengan Wooseok kembali. Hubungan mereka benar-benar dimuali dari nol lagi, meski saling mengenal dengan baik di masa lalu.

No comments

Post a Comment