Wooseok benar-benar lelah, baik fisik mau pun mental. Berbicara dengan banyak orang asing dan sialnya malah bertemu dengan Jinhyuk. Semua sentuhan fisik yang tidak diniatkan itu sejujurnya membuat Wooseok lelah. Bersikap seolah-olah tidak masalah dengan semua interaksi itu atas nama profesionalitas pekerjaan. Rasanya Wooseok mau mengamuk kepada siapa pun yang memberikan nomornya kepada Jinhyuk dan memberitahukan jadwal kerjanya di mall hari ini.
Karena tidak mungkin Jinhyuk hanya kebetulan datang ke mall tempatnya bekerja sampai besok karena bukan mall besar seperti yang lainnya. Mall yang jelas bukan kelasnya Jinhyuk untuk berbelanja karena Wooseok tahu benar gambaran ekonomi lelaki itu sejak jaman kuliah dan sekarang yang bekerja di PDX yang tentu gajinya bernilai dollar. Bukan berarti mall tempatnya kerja sampai besok itu kurang mewah, tapi Jinhyuk biasanya pergi ke tempat yang kelasnya di atas mall ini.
"Brengsek!" Wooseok memaki dengan napas tersenggal.
Wooseok pikir, memaki dengan sepenuh hatinya akan meringankan segalanya. Nyatanya, justru membuatnya sesak dan berpikir apa yang salah dengan keputusannya dalam hidup? Apa menjadi jujur itu memang tidak ada harganya di masyarakat? Apa memang keadilan itu hanya ada dalam sila ke lima dalam pancasila saja? Apa karma itu tidak benar-benar eksis di dunia ini?
"Wooseok?" panggilan Xiao membuat lamunannya buyar. Menatap lelaki itu dan membuat Wooseok teringat tentang perkataan Doyoung yang akan membuat lelaki itu ada di apartemen. "Udah makan belum? Kalau belum, gue pesenin nasgor di bawah."
"Daripada itu, ada yang mau diomongin sama gue gak?"
Xiao mendengarnya terkejut, lalu tampak berusaha untuk tidak terpengaruh. Membuat Wooseok menghela napas, karena sepertinya omongan asal Doyoung kemungkinan besar terbukti benar. Kepala Wooseok pusing karena terlalu banyak emosi negatif yang dirasakannya, dadanya juga terasa sesak dan rasanya ingin menangis detik ini juga. Namun, Wooseok berusaha menahannya untuk di titik limitnya. Setidaknya sampai dia mendengar kenyataan apa yang sebenarnya terjadi.
"Kalo lo jujur sekarang, gue gak akan marah banget," Wooseok mencoba mengantur nada suaranya setenang mungkin, meski jantungnya berdebar kencang dan kepalanya semakin sakit, "gue tahu lo pasti udah ketemuan sama Doyoung makanya ada diapartemen padahal biasaan lo di kelab malam kalau weekend begini."
"Seok ... maaf."
Wooseok memejamkan mata. Mencoba mengatur napasnya agar tetap tenang. Mencoba berpikir positif kalau Xiao melakukan hal tersebut karena berada di situasi yang memaksanya untuk mengatakannya.
"Gue sebenernya mau kasih tahu lo, tapi gak sekarang," suara Xiao membuat Wooseok membuka matanya dan menatap lelaki itu, "maaf, Seok. Gue cuma mau lo selesai sama masa lalu."
"Apa gue kelihatan mau semuanya selesai?" Wooseok tidak bisa mengontrol suaranya dan biarlah besok tidak bisa berbicara. Dia merasa terlalu banyak emosi saat ini hingga tidak sadar napasnya memburu dan tubuhnya bergetar. "APA GUE KELIHATAN MAU JINHYUK MUNCUL LAGI DI HIDUP GUE?!"
"Wooseok...," Xiao mendekat dan mencoba mendekap Wooseok, tetapi dia mundur beberapa langkah dan menatap marah, "gue tahu salah, tapi ini demi kebaikan lo juga."
"Lo lihat gue sekarang gimana?!" Wooseok menahan diri untuk tidak berteriak dan mencoba mengatur napasnya, meski kepalanya benar-benar sakit. Meski pandangannya mulai mengabur karena air mata. "Apa ini yang lo inginkan? Mau lihat gue hancur sehancur-hancurnya karena mengingatkan kalau dunia itu gak adil? Mau buat gue sadar kalau apa yang gue yakini selama ini hanyalah omong kosong? Gitu maksud lo?!"
"Enggak gitu, Wooseok...," Xiao mencoba selangkah mendekat, tetapi Wooseok memilih mundur dua langkah. Tatapan lelaki itu frustrasi, tetapi Wooseok tidak mau peduli. Xiao mengacak rambutnya, "gue melakukan ini karena sayang sama lo. Gue gak mau lo hidup kayak gini, membenci Jinhyuk, tapi lo tetap menyimpan semua hal yang berhubungan dengannya."
Xiao tidak melangkah mendekati Wooseok lagi, meski melihat lelaki itu gemetar dan napasnya yang memburu membuatnya sakit. Lalu Xiao terlonjak saat Wooseok memegang kepalanya dan menjerit sekuat tenaga. Membuatnya refleks mendekati Wooseok, tetapi lelaki itu berlari masuk ke kamarnya dan menguncinya.
"Seok ... buka pintunya. Gue mau ngomong," Xiao berusaha untuk tidak menggedor pintu kamar Wooseok, tetapi tidak ada respon. "Lo belum makan, Seok. Gue beliin makanan dan jangan minum obatnya sekaligus banyak."
Tidak ada respon dan Xiao hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar. Melangkah menjauh dari pintu kamar Wooseok dan keluar apartemen, untuk membelikan Wooseok makanan. Meski sebenarnya Xiao tidak tenang meninggalkan apartemen, tetapi dia berusaha positif kalau Wooseok tidak melakukan hal yang berbahaya.
Sementara Wooseok setelah tidak mendengarkan suara Xiao, akhienya menangis terisak. Rasanya sesak, kepalanya sakit karena terlalu banyak hal yang dipikirkannya sekaligus dan mencoba memeluk dirinya sendiri untuk menghentikan gemetar pada tubuhnya. Entah berapa lama waktu yang terlewat untuk dirinya menjadi tenang. Tidak gemetar, napas sudah mulai teratur dan kepalanya sudah tidak sepusing saat tadi berkonfortasi dengan Xiao.
Wooseok mencari kopernya dengan tatapannya dan begitu menemukannya, dia menghampiri benda itu. Menariknya dan mengangkat ke atas tempat tidur. Membuka koper, lalu membuka lemarinya untuk memasukkan semua pakaiannya yang ada ke sana. Wooseok tahu melarikan diri tidak akan menyelesaikan apa pun, tetapi dia tidak sanggup untuk satu apartemen dengan Xiao. Dia butuh tempat yang bisa membuatnya stabil dan untung saja pakaiannya tidak begitu banyak. Semuanya bisa masuk dalam satu koper dan tas ranselnya yang berisi ijazah serta laptop.
Tangannya menekan ikon transportasi online, memesan mobil untuk membawanya ke tempat Doyoung. Meski kemungkinan jam segini Doyoung pergi bersenang-senang dengan nongkrong di kafe bersama teman-temannya, Wooseok sudah mendapatkan izin untuk datang. Hidup rasanya lucu sekali bagi Wooseok, karena sebenarnya kalau ditanya sebenarnya lebih lama mana dia mengenal Xiao atau Doyoung, maka jawabannya adalah Xiao.
Namun, nyatanya temannya itu justru dengan sengaja menyiram lukanya dengan cuka atas nama sayang. Atas nama ingin Wooseok selesai dengan masa lalunya yang bernama Jinhyuk. Padahal butuh waktu setidaknya dua tahun untuk membuat Wooseok bisa kembali berinteraksi normal dengan orang-orang tanpa terus berpikir kemungkinan buruk.
Xiao tahu itu dan justru memilih untuk menyakitinya demi alasan yang egois.
Wooseok tahu dirinya hanya terus melarikan diri dari masalah, tetapi dia butuh waktu untuk semua hal yang terjadi. Dia butuh waktu lama hanya untuk sesepele berinteraksi dengan manusia seperti orang normal lainnya. Wooseok juga yakin akan butuh waktu lebih lama untuk bisa duduk bersama dengan Jinhyuk, membicarakan yang telah lalu tanpa merasa emosional.
Nyatanya, dunia seperti berkonspirasi untuk membuatnya terus mengingat Jinhyuk.
Entah lewat hal-hal kecil yang dulu sering dilakukan kepada Wooseok. Seperti membelikannya susu kotak low fat coklat.
Kalau di tanggal 18 akan membelikannya chococintaberry (padahal Jinhyuk selalu bilang rasanya aneh).
Tiba-tiba membelikannya barang-barang yang sampai detik ini Wooseok simpan meski dia lebih dari tahu semua itu tidak ada gunanya.
Dengan bodohnya selama 3 tahun akan terus terjaga untuk menunggu pesan selamat ulang tahun masuk begitu jam 12 di hari ulang tahunnya padahal sudah mengganti nomor karena HP-nya hilang dijambret saat pulang kampung. Tidak memberitahukan Jinhyuk jika nomornya telah berganti padahal Wooseok mengingat di luar kepala nomor lelaki itu.
Wooseok membenci dirinya sendiri yang terus dan terus melakukan hal yang berlawanan dari pikirannya yang memintanya berhenti mengingat Jinhyuk. Karena Wooseok seperti ini lantaran berada di titik antara masih menyayangi Jinhyuk atau membenci lelaki itu.
Titik yang sangat tipis dan kadang Wooseok terbangun sembari menangis dan bergumam membenci Jinhyuk hingga nafasnya terasa sulit untuk masuk ke paru-parunya.
Titik yang sama juga di mana Wooseok akan terjaga bermalam-malam hanya untuk mengetikkan cerita yang diimajinasinya adalah bagaimana jika dia dan Jinhyuk tidak seperti sekarang? Bagaimana jika di dunia alternatif lainnya, mereka berbahagia dan saling mencintai?
Semua orang selalu bilang kepadanya untuk mencoba memaafkan. Bahwa untuk mencapai ketenangan yang diinginkannya, maka Wooseok harus belajar menghadapi masa lalunya. Tanpa pernah sekali pun bertanya, apa yang Wooseok rasakan? Semua hanya sibuk menilai pilihannya egois, tapi tidak mencoba sedikit saja untuk benar-benar peduli padanya dengan menanyakan perasaannya.
Saat masuk ke dalam mobil yang dipesannya, Wooseok tidak mengatakan apa pun. Memandang jalanan yang macet karena malam minggu, meski sudah jam 11 malam tidak membuat Wooseok merasa lebih baik. HP-nya terus bergetar, tetapi Wooseok enggan untuk melihat siapa yang meneleponnya. Saat sampai di gedung apartemen tempat Doyoung tinggal, dia menuju meja resepsionis yang sudah hafal dengan Wooseok karena sering ke tempat Doyoung sejak masa kuliah. Mengantarkannya ke unit Doyoung meski dengan tanya mengapa mata Wooseok sembab? Dia hanya bisa tersenyum, tidak ingin menjawab karena malas dianggap menyedihkan, tetapi tidak mau berbohong karena prinsipnya adalah hidup dengan menjadi orang jujur.
Meski itu berarti akan menjadi pesakitan di dunia.
Saat menempelkan kartu akses masuk, pintu terbuka dan lampu menyala. Membuat Wooseok mengkernyit dan saat menarik kopernya untuk melewati ruang tamu, Doyoung tengah duduk di lantai dengan di atas meja terlihat beberapa makanan junk food. Bukan jenis makanan yang Doyoung suka untuk makan dan seperti sadar dengan kehadiran Wooseok, dia menoleh lalu berdiri.
Melangkah mendekari Wooseok, lalu merentangkan tangannya. "Sini, gue tahu lo sekarang butuh pelukan dan ya, emosi lo sekarang valid."
Wooseok mendekati Doyoung dan memeluk lelaki itu. Tadinya hanya diam, lalu lama kelamaan isak tangis yang semakin lama semakin nyaring terdengar. Doyoung menepuk pelan punggung Woosek sembari terus mengatakan hal yang sama.
"It's okay not be okay."
Entah berapa lama Wooseok menangis dan saat menjauhkan diri dari Doyoung, dia langsung duduk di depan meja yang penuh dengan makanan. Doyoung sendiri pergi ke dapur dan saat kembali membawakan gelas berisi air mineral. Dia tidak mengatakan apa pun, tapi ikut makan bersama Wooseok padahal kalau ini hari biasa, dia tidak akan mau makan meski sudah dibayarin oleh teman-temannya.
Kecuali di dalam situasi ada Sejeong di antara mereka dan perempuan itu saat ditanya mau makan di mana menginginkan makan di tempat fast food.
"Besok," Doyoung akhirnye berbicara dan menelan makanan di mulutnya, "lo bakalan gue anter. Terus abis makan ini, lo minum obat dan coba tidur meski cuma satu jam."
Wooseok tidak menjawab, memilih melanjutkan makannya.
"Gue gak akan nanya lo kapan balik ke tempat Xiao. Gue juga gak akan nanya lo mau bersikap seperti apa sama Jinhyuk." Doyoung mengambil jeda karena memilih meminum soda yang sudah dibukanya sejak kemarin, karena tidak suka dengan sensasi soda yang terlalu menggelitik tenggorokannya kalau yang baru dibuka. "Gue cuma berharap, apa pun yang lo pilih, udah dipikirkan konsekuensinya seperti apa."
"Thanks."
Doyoung tidak memberikan respon beberapa saat karena mengambil gelas Wooseok yang sudah kosong, ke dapur dan tidak lama kemudian datang dengan air yang terisi penuh di gelas. Meletakannya di atas meja, sembari berkata, "itu gunanya teman."
No comments
Post a Comment