Pulang dari tempat kerjanya (yang hari ini kebagian di toko yang cukup jauh dari apartemen Xiao), Wooseok mampir sebentar ke supermarket. Memang berbelanja bahan makanan, tetapi untuk Xiao. Setidaknya dia merasa harus memasakkan lelaki itu makanan untuk terakhir kalinya dan entah apa mereka bertemu nantinya atau tidak. Saat sampai di apartemen Xiao, yang dia temukan di ruang tamu adalah pecahan kaca dari botol bir. Layar TV dalam keadaan retak. Berjalan ke ruang makan sekaligus dapur, keadaanya tidak jauh lebih baik dari ruang tamu. Meja ruang makan ada banyak botol soju, kaleng bir dan bungkus makanan yang belum di buang.
Wooseok memejamkan matanya sesaat, menghembuskan napas hingga maksimal dan kemudian membuka mata sembari menarik napas kembali. Memutuskan untuk membereskan semuanya dan memasak makan malam. Wooseok tidak tahu waktu yang berlalu berapa lama, tidak tahu juga kalau pintu apartemen telah di buka dan ada yang menatap punggungnya saat tengah sibuk di depan kompor.
Saat berbalik, barulah Wooseok tahu kalau Xiao sudah pulang. Wooseok tidak mengatakan apa pun dan mengambil piring di rak, memindahkan masakannya dari wajan ke piring, lalu meletakkannya di atas meja. Kembali lagi ke kompor untuk mengecek isi panci yang dimasaknya sudah matang sesuai keinginannya atau belum.
"Wooseok...."
"Nanti, setelah kita makan." Wooseok menyela perkataan Xiao tanpa memandang lelaki itu karena masih berkutat dengan masakan di panci. "Aku gak mau makanan ini terbuang sia-sia kalau kita ngomong sekarang."
Sepuluh menit kemudian, mereka berdua saling berhadapan di meja makan. Tidak ada yang mengatakan apa pun. Wooseok tidak bertanya tentang pecahan kaca, TV yang retak atau botol-botol alkohol yang dilihatnya. Xiao yang memilih diam karena takut jika membuka mulutnya, dia akan mengatakan terlalu banyak dan berakhir menyakiti lelaki di depannya.
"Biar gue aja," Xiao mengambil piring yang Wooseok pegang saat sudah selesai makan, "lo udah masak, seenggaknya gue bantuin cuci piring."
Wooseok tidak mengatakan apa pun saat piring di tangannya di ambil. Dia memutuskan untuk ke kamarnya dan mengambil barang-barang yang ada di laci meja yang biasanya digunakan untuk menuliskan cerita. Tidak ada yang berubah dan cukup lama Wooseok menatap benda-benda yang sudah disusunnya dalam kotak-kotak ukuran tertentu agar tidak berantakan.
Semua benda yang kata Doyoung kalau di mata orang lain tidak ada gunanya. Mulai dari struk belanja di kafe serta tempat makan. Potongan tiket nonton, padahal seringnya Wooseok ketiduran di bioskop karena sistem tubuhnya menganggap tempat gelap sama dengan waktunya tidur. Sticky note warna pink norak yang isinya tulisan cakar ayam yang isinya highliht sub bab materi kuliah kalau Wooseok sibuk sendiri menulis ide cerita yang lewat di kepalanya. Foto-foto polaroid atau foto-foto dengan hiasan alay yang untuk mendapatkannya selalu Wooseok bilang berada di ujung dunia saking jauhnya dari kampus hanya karena tempat itu satu-satunya yang masih punya booth photo box.
Wooseok mengambil satu per satu kotak, menutupnya karena tutupnya berada di bawah kotaknya dan meletakkannya di atas meja. Mencari kantong plastik untuk membawa semua barangnya, lalu malah menemukan koper di dalam lemari yang Wooseok yakin baru melihatnya hari ini. Mengambilnya dengan ragu, lalu membukanya. Di dalamnya ada sebuah amplop putih dan saat dibuka, ada tulisan Xiao.
Gue gak akan tahan lo untuk pergi dan gue tahu semua barang-barangmu yang tertinggal itu berharga bagi lo. Jadi gue beliin ini, semoga berguna.
Hati Woosek mencelos, merasa bersalah bahkan sampai detik ini tidak bisa memberikan apa yang Xiao inginkan. Sudah mencoba berkali-kali untuk membelokkan hatinya kepada lelaki itu, nyatanya Wooseok tidak bisa. Menghela napas panjang, lalu kembali ke mejanya untuk mengambil kotak-kotak yang sudah di tutupnya dan memasukkannya ke dalam koper. Kembali lagi ke meja yang ada di kamarnya, lalu membuka laci kedua, isinya sama ada beberapa kardus seperti laci pertama.
Namun, laci ini isinya berbagai gantungan kunci kalau orang itu berpergian ke tempat yang baru sendirian karena Wooseok yang tidak suka jalan-jalan kecuali masuk museum atau ke mall. Ada juga snow globe yang sudah tidak lagi utuh karena dia hancurkan saat benar-benar depresi dan berharap jika merusaknya maka perasaannya akan hilang. Tentu saja tidak dan yang ada tangannya berdarah-darah memunguti setiap kepingan snow globe yang membuat seluruh jarinya berbalut perban dan dikira melakukan percobaan bunuh diri oleh Doyoung serta Sejeong.
Di kotak lainnya ada bintang-bintang kecil yang dibuatnya dari kertas origami, dibuat ulang oleh Wooseok karena dulu sebenarnya sudah sampai 1000 bintang dan dibuangnya karena merasa tidak akan pernah sampai kepada orang itu. Belum dihitungnya sekarang jumlah bintangnya ada berapa, tetapi ada tiga kotak yang sudah terisi. Di kertas-kertas yang dibuatnya menjadi bintang itu ada potongan kalimat atau hanya kata.
Mengambil kardus-kardus tersebut dan menutupnya dengan tutupnya yang tersedia. Wooseok membuka laci terakhir dan yang merupakan laci yang paling besar. Ada tiga kotak besar, dua seukuran kotak sepatu dan satu kotak kado yang besar. Wooseok tidak membukanya karena tahu isinya. Tidak menggunakannya lagi karena tahu kalau menggunakan barang-barang ini tidak akan mau menggantinya dengan yang lain. Jadi sengaja disimpan di laci untuk membuatnya seolah lupa eksistensinya.
Meski itu artinya membiarkannya rusak karena di tempat minim cahaya.
Setelah menutup kopernya, Wooseok menyeretnya keluar kamar dan Xiao berdiri tidak jauh dari pintu kamarnya. Keduanya saling bertatapan cukup lama tanpa kata. Saat Wooseok memutuskan untuk ingin mengatakan terima kasih atas kopernya, Xiao mendahuluinya. "Jadi ... ini akhirnya ya?"
"Maaf."
"Ya mau bagaimana lagi? Sejak awal hati lo bukan buat gue." Xiao berusaha tersenyum, meski yang dilihat Wooseok adalah kegetiran. "Gue gak akan bilang baik-baik aja, tapi kalau ini bisa bikin lo bahagia, bisa apa?"
"Dongyeol...."
"Haah ... kapan terakhir kali gue dipanggil nama asli sama lo?" Xiao menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, lalu sedikit mendongakkan kepalanya. Wooseok bisa mendengar helaan napas yang berat, lalu Xiao menatapnya dan sebelah tangannya turun dari area mulutnya. "Gue sekarang sepertinya harus membiasakan untuk dipanggil dengan nama asli."
"Maaf ... maaf."
"Jangan ngomong gitu, karena yang egois sejak awal itu gue." Xiao tersenyum kepada Wooseok. "Kalau aja gue gak ngomong sama Sejin, kita gak akan begini. Meski setelah gue pikirkan lagi, gue gak menyesal."
"Dongyeol, maaf...."
"Selesaikan sama Jinhyuk ya, Wooseok." Xiao tidak menatapnya karena kembali mendongakkan kepalanya, seperti menahan air matanya untuk tidak jatuh. "Gue juga sakit lihat lo kayak gini. Meski itu gak akan bikin lo sembuh, tapi seengaknya bikin obat lo berkurang. Lo bisa kok normal dengan seminimal mungkin obat yang dikonsumsi."
Wooseok tidak bisa menahan air matanya untuk jatuh. Dia bertanya kepada dirinya sendiri, mengapa hatinya begitu keras kepala untuk memilih orang lain saat lelaki di depannya bisa mencintainya seperti ini? Wooseok saja kadang merasa tidak ada gunanya untuk hidup karena terlalu merepotkan orang-orang disekitarnya. Satu-satunya alasan yang menahannya untuk tetap bernapas adalah kenangan masa lalu, tanpa bisa membiarkan orang lain untuk singgah.
"Udah Seok ... udah. Jangan nangis," Xiao mendekati Wooseok dan lelaki itu memeluknya. Rasanya terlalu campur aduk untuk dideskripsikan. Senang karena bisa merasakan kehangatan dari Wooseok, sedih karena penyebab tangisnya Wooseok adalah Xiao dan sadar bahwa ini adalah pelukan terakhir mereka, "makasih ya udah ada di kehidupan gue, Seok. Sekarang giliran lo untuk bahagia. Bisa ... lo bisa dapatinnya, gue percaya."
Saat akhirnya pelukan mereka terlepas, Wooseok pamit pergi. Xiao tidak mengantarkannya, karena dia juga butuh waktu sendiri dan yakin Wooseok tidak akan mau di antar olehnya. Bunyi pintu di tutup, membuat pertahanan Xiao runtuh, Menutup matanya dengan sebelah tangannya dan membiarkan air matanya bebas mengalir setelah sejak tadi terus menahannya.
Pada akhirnya, inilah akhir keduanya.
Selesai di antara mereka.
No comments
Post a Comment