Saturday, April 25, 2020

Malam Sebelum Badai


Hari ini, Jinhyuk yang pulang terlambat. Seungyoun yang sebenarnya khawatir karena Jinhyuk baru pulang jam 7 malam dan saat melihatnya, hal yang pertama dia lakukan adalah memeluk lelaki itu. Mungkin karena wajah letih Jinhyuk yang membuat Seungyoun melakukan itu. Dia merasakan sebelah bahunya lebih berat karena Jinhyuk membenamkan kepalanya di sana. Entah berapa lama mereka di posisi itu, sampai akhirnya Jinhyuk menjauh darinya dan menggenggam tangannya.

"Thanks," Jinhyuk tersenyum, "udah makan malam?"

"Belum, gue nungguin lo."

Keduanya akhirnya berjalan menuju ruang makan dan Seungyoun membawakan tas Jinhyuk. "Apa gak berasa sneh sekarang ini?" Tanya Jinhyuk yang hanya direspon Seungyoun dengan gumaman. "Waktu pertama ketemu, kita gak saling suka dan sekarang malah gandengan kayak gini."

"Namanya hidup, siapa yang tahu?"

"Iya, namanya hidup siapa yang tahu?" Jinhyuk mengulang perkataan Seungyoun, lalu menatap Seungyoun dari samping. "Siapa juga yang tahu kalau hari ini mungkin hari terakhir kita kayak gini?"

"Kenapa mikir gitu?" Seungyoun bertanya, tetapi Jinhyuk tidak menjawabnya. Biasanya Seungyoun akan membiarkan Jinhyuk, tetapi entah kenapa tidak kali ini. "Gue gak bakalan pergi, Hyuk. Gue udah nunggu lo selama ini dan kenapa yakin gue bakalan pergi?"

"Karena ini berhubungan sama masa lalu gue," Jinhyuk memandang Seungyoun dan mereka sudah tiba di depan ruang makan, "dan gue gak percaya diri kalau lo gak bakalan pergi kalau tahu orang yang bikin gue begini."

Seungyoun tidak tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tautan tangan mereka terlepas karena Jinhyuk memutuskan mendorong pintu ruang makan dengan kedua tangannya agar terlihat dramatis membuatnya merasa salah. Seolah perkataan Jinhyuk itu benar-benar akan terjadi dan Seungyoun tidak suka dengan apa yang dirasakannya sekarang. Saat makan malam, keduanya hanya diam dan menikmati makanan masing-masing.

Selesai makan, Jinhyuk tumben sekali tidak membawa peralatan makannya ke tempat cuci piring dan langsung melangkah ke kamar. Seungyoun memutuskan untuk kengikuti dan Jinhyuk tumben sekali langsung berbaring di tempat tidur. Bukan mandi dan melakukan step skin care-nya yang kadang bikin Seungyoun pusing.

"Jinhyuk, lo gak apa-apa?" Seungyoun tahu pertanyaanya tidak butuh jawaban, karena Jinhyuk terlihat tidak baik-baik saja. Dia melangkah mendekati Jinhyuk dan duduk di tepi ranjang, mengusap pelan kepala lelaki itu. "Gue gak yakin lo ada masalah apa sampai segininya, Jinhyuk. Kalau ada yang bisa gue bantu, kasih tahu aja. Gue gak akan kekaja-mana."

Jinhyuk tidak merespon dan Seungyoun memutuskan untuk berhenti mengusap kepala lelaki itu. Namun, tangannya ditangkap dan dituntun kembali ke kepala Jinhyuk, membuatnya hanya bisa menatap tangannya.

"Tolong, lebih lama usap kepala gue."

"Manja."

"Karena gue gak yakin besok masih bisa begini," sahut Jinhyuk seadanya dan wajahnya masih dibenamkan di bantal, "karena gue tinggal menghitung jam untuk berbagai kemungkinan terburuk yang terjadi pada kita."

Seungyoun mendengarnya tidak sepenuhnya mengerti, tetapi setidaknya dia paham badai yang dimaksud Jinhyuk adalah ini. Bukan literal badai yang selama ini diduganya dan Seungyoun hanya bisa menghela napas. Jinhyuk sepertinya memang tidak mau mengatakan hal yang menganggu pikirannya dan membuatnya yakin jika Seungyoun akan pergi meninggalkannya.

"Jinhyuk."

"Hmm."

"Aku mencintaimu," Seungyoun baru menyadari bahwa ini kali pertamanya mengatakan hal itu, "aku mencintaimu yang kemarin, hari ini dan besok."

Namun, Jinhyuk tidak merespon dengan kata. Hanya tangan Seungyoun yang tadinya mengusap kepala Jinhyuk yang dihentikan karena digenggam oleh lelaki itu dan tatapan mereka akhirnya bertemu.

Atau itu yang Seungyoun duga, karena Jinhyuk berkata, "katakan besok hal yang sama, baru aku percaya."

1 comment: