Bentuk Cintanya Mereka
Seungyoun tahu bentuk cinta itu ada bermacam-macam. Love languange kalau bahasa kerennya (padahal hanya berbahasa Inggris, tetapi bagi orang yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari itu terdengar keren) dan Seungyoun tahu dia di bagian mana. Bertindak melayani pasangan dan menghabiskan waktu bersamanya.
Salah satu bentuk cintanya adalah menulis. Karya pertamanya (dan sayangnya, satu-satunya) yang ditulisnya adalah tentang Sungjoon. Di dunia penuh imajinasi dan kebohongan bernama fiksi itu, Seungyoun membayangkan dirinya dan Sungjoon berbahagia di akhir cerita, Seolah membohongi dirinya bahwa di kehidupan yang lain (jika memang ada), kisah mereka seperti itu.
Namun, nyatanya tidak seperti itu dan semesta penuh kejutan.
Seungyoun pulang jam 5 sore dan semua pesan yang masuk ke HP-nya untuk mengajaknya ke kelab malam tidak dipedulikannya. Karena Seungyoun sudah tidak membutuhkannya lagi, karena ada yang menunggunya di rumah. Hal yang awalnya Seungyoun tidak terbayangkan akan terjadi, tetapi nyatanya terjadi dan yang menunggunya adalah orang yang dicintainya sepanjang masanya berada di dunia ini.
Orang itu Sungjoon, tetapi namanya sekarang adalah Jinhyuk.
"Tumben pulang on time?" sapaan itu membuat Seungyoun hanya tersenyum. "Lah, orang nanya malah dijawab sama cengegesan."
"Aku cuma senyum ya, bukan cengegesan."
"Please, gak cocok banget lo pake aku-kamu." Jinhyuk bergindik dan Seungyoun hanya tertawa pelan. Menghampiri Jinhyuk dan duduk di sebelahnya, untuk menonton apa yang diputar oleh lelaki itu. Orang yang membuatnya mau pulang ke rumah on time dan membuatnya kembali menulis (meski dipublikasi di Twitter gembokan karena merasa telah menjadi ampas gaya tulisannya). "Gimana harinya?"
"Mau cerita versi pendek atau versi panjang?"
"Dih, macam musik video kpop jaman baheula aja, ada versi pendek dan versi panjangnya."
Seungyoun hanya tersenyum dan Jinhyuk memindahkan channel untuk bisa ditonton bersama. Berhenti di HBO dan sedang iklan, entah setelah ini akan diputar film apa. Namun, Seungyoun tidak peduli karena baginya, yang terpenting ada Jinhyuk di sampingnya.
Ada Jinhyuk di hidupnya dan tidak pergi lagi seperti waktu itu.
"Hari ini, akhirnya aku launching penerbitan konvensional untuk Stoeight," cerita Seungyoun yang membuat Jinhyuk menoleh, "nama penerbitnya larimar, karena ada seseorang yang bilang karena aku suka lautan, cocoknya dengan batuan itu," lalu keduanya saling bertatapan, "ada beberapa buku yang siap di launching dalam bulan ini. Mau baca gak?"
"Ceritanya tentang apa dulu?" Jinhyuk merespon, tetapi binar mata yang antusias itu membuat Seungyoun tersenyum. "Meski sebenarnya gue kepengennya baca tulisan lo lagi sih. Soalnya kasihan buku gue, udah belel saking seringnya gue bacain."
Seungyoun mendengarnya terkejut, terdiam sesaat, lalu dengan ragu bertanya, "lo ... tahu gue pernah nulis?"
"Gue bahkan ikut PO buku lo tahu!" tawa Jinhyuk, padahal tidak ada yang lucu dari pertanyaan Seungyoun tadi. "Buku lo cuma PO seratus lima puluh esklempar dan waktu pertama kali terbit, buku PO lo gak habis sampai disebar di beberapa toko buku. Terus buku lo jadi populer karena salah satu selebgram femes rekomendasiin buku itu."
Seungyoun tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun, tawa Jinhyuk saat menatapnya dan menyentil pelan dahinya membuat kesadarannya kembali. Membuatnya teringat jika Jinhyuk ingin menikah dengan penulis sebelum usia 30 tahun dan alasannya adalah....
"Gue gak tahu lo segitu mencintai Sungjoon," tawa Jinhyuk yang sekarang mengacak pelan rambut Seungyoun, "meski gue secara legal udah ganti nama sebagai Jinhyuk, setiap baca buku lo selalu berharap nama gue adalah Sungjoon lagi. Agar gue merasa sebegitu dicintai oleh lo di cerita itu."
"Lalu kenapa lo mengganti nama?" tanya Seungyoun, meski tahu jawabannya karena ibunya Jinhyuk sudah menceritakannya waktu itu. "Kenapa lo harus dinyatakan meninggal? Kenapa lo pergi gitu aja dari hidup gue, padahal kita bisa tetap bersama meski ganti nama."
Tawa Jinhyuk terhenti dan tangan lelaki itu tidak mengacak rambut Seungyoun lagi. Sebenarnya, Seungyoun takut akan memicu kenangan buruk Jinhyuk dan dia sudah siap untuk mengatakan kepada lelaki itu untuk tidak bercerita.
"Karena gue takut sama nama itu," Jinhyuk menatap Seungyoun dan dia menggenggam tangannya. Meski Seungyoun melihat bahu Jinhyuk sedikit gemetar, "gue takut sama nama itu, karena ibu gue ... yang ngomong-ngomong bukan ibu gue sekarang ya ... dia jahat. Jahat banget."
"Jinhyuk, gapapa kalau lo gak mau cerita." Seungyoun sedikit panik karena napas Jinhyuk tidak beraturan, tetapi lelaki itu menggeleng.
"Gak, lo harus tahu ini." Jinhyuk bersikeras. "Gue dinyatakan meninggal ... karena sebenarnya gue hampir mati di tangan ibu gue sendiri. Gue dicekik sampe pingsan, lalu dia membunuh dirinya sendiri." Seungyoun merasakan tangan Jinhyuk yang menggenggamnya semakin erat. "Juga ... alasan aku dinyatakan meninggal agar aku bisa memulai semuanya dari awal." Lalu Jinhyuk menatap Seungyoun dengan tatapan bersalah. "Gue pikir ... lo gak mau temenan lagi sama gue, Karena balasan surat terakhir dari gue yang marah-marah karena lo iri sama gue yang masih punya Ibu. Gue pikir lo berhenti ngirim gue surat."
"Gue mengirimkan ke lo," Seungyoun menatap Jinhyuk,"gue mengirimkannya dengan beberapa batuan kerikil yang gue temukan saat jalan-jalan keliling komplek rumah," lalu dia menyadari bahwa suratnya yang tidak pernah sampai kepada lelaki itu, "kayaknya gara-gara surat yang gak sampai itu ya kita jadi begini?"
Jinhyuk tidak menjawab karena Seungyoun menarik ke pelukannya. Gemetar di tubuh Jinhyuk perlahan mulai menghilang dan Seungyoun bisa merasakan napas lelaki itu mulai teratur. Seungyoun menepuk pelan punggung Jinhyuk untuk menyakinkan bahwa sekarang sudah tidak apa-apa, itu hanyalah masa lalu dan mereka hidup di masa sekarang.
"Seungyoun," panggilan itu membuat lelaki itu hanya bergumam sebagai tanda mendengarkan, "kenapa lo ganti nama jadi Seungyoun?"
"Ayah yang mengusulkan. Katanya gue setiap dipanggil Luizy bakalan marah-marah sendiri atau malah nangis sendiri."
"Segitunya ya kehilangan gue?"
"Karena lo dunianya gue."
"Padahal masih kecil, sok iya menganggap gue dunia lo."
"Namanya juga perasaan, mana bisa dikontrol."
"Tersertifikasi bucin ke gue."
"Kalau orangnya itu lo, gue iyain," Seungyoun tersenyum, "dan ngomong-ngomong, sebenarnya gue mulai menulis lagi sih, tapi ampas banget. Nanti deh gue kasih lihat kalau udah revisi."
"Kirimin ke gue," pinta Jinhyuk, "gapapa ampas. Gapapa gak dipublikasikan jadi buku atau masuk di platform online punya lo, gue mau baca."
"Keju banget loh isinya."
"Biarin," Jinhyuk tertawa dan Seungyoun bisa merasakan getaran dari tubuh Jinhyuk, tetapi tidak seperti tadi yang membuatnya khawatir. Membuat Seungyoun tersenyum dan sedikit mengeratkan pelukan dengan Jinhyuk. "Gue udah bilang 'kan dulu, gue mau punya suami penulis biar gue dicintai sepanjang waktu lewat tulisannya."
"Narsis ya lo."
"Bodo, salah sendiri mau sama gue."
Seungyoun hanya tertawa dan Jinhyuk memutuskan untuk menjauh darinya. Saling bertatapan dan Jinhyuk mendekatkan wajahnya kepada Seungyoun. Dia tersenyum, sebelah tangannya berada di tengkuk Jinhyuk dan wajahnya mendekat kepada lelaki itu. Menukarkan rindu, rasa takut dengan sesuatu yang bisa membuat keduanya merasa dicintai.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Auto meleleh baca ini ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDelete