Saturday, March 21, 2020

Masa Lalu itu Bernama Kita


Seungyoun sibuk mencari selembar foto sejak beberapa jam yang lalu. Keadaan ruang kerja sekaligus perpustakaan pribadinya bak kapal pecah karena berantakan. Bagi orang lain, selembar foto tidak ada artinya, tapi bagi Seungyoun, selembar foto itu adalah segalanya. Alasan dia bisa melalui hari-hari sepeninggalan ibunya dan kesepian karena ayahnya memilih terus bekerja di rumah sakit.

Alasan Seungyoun menyukai pantai lebih dari apa pun di dunia ini dan sengaja menyimpan berbagai pasir dan air laut (pada satu rak yang berisi 12 tabung yang atasnya ditutupi dengan busa berwarna coklat) di mejanya. Meski setelah tiga tahun mereka berkirim surat, Sungjoon berhenti mengirimi Seungyoun balasan karena didengarnya mati dibunuh oleh ibunya sendiri.

Perasaan bersalah yang selalu menghantui Seungyoun karena di surat terakhir mereka, dia bilang iri kepada Sungjoon karena masih memiliki orang tua lengkap dan berharap juga masih memiliki ibu. Tanpa tahu ibu Sungjoon segila itu sampai bisa membunuh anaknya sendiri, lalu membunuh dirinya. Seolah Seungjoon kemana pun harus ikut dengan ibunya, meski ke dalam kematian sekali pun.

"Seungyoun ini sudah sore ... ini dihantam angin topan lokal atau gimana?" suara Jinhyuk membuat Seungyoun kembali kepada kesadarannya.

Keduanya saling bertatapan, kemudian Seungyoun mengacak rambutnya. Jinhyuk tentu saja bingung dengan keadaan yang dilihatnya sekarang dan melihat surat-surat yang bertebaran di lantai dengan runtut. Membuat Jinhyuk diam-diam merasa tidak percaya jika selama tiga tahun sanggup menulis sebanyak itu kepada Seungyoun yang tulisannya seperti cakar ayam.

Sampai dia menghadiahkan buku typhography karena lelah menterjemahkan tulisan cakar ayam Seungyoun. Hal yang tidak Jinhyuk sadari di kemudian hari itu adalah kemampuan yang berguna karena tulisan mahasiswanya juga banyak yang cakar ayam kalau mengerjakan kuis, UTS dan UAS darinya.

"Abaikan gue," Seungyoun tidak memandang Jinhyuk dan memilih memandangi bingkai buatan tangan yang mana bintang lautnya di cat pink norak karena tahu dirinya suka Patrick Star, "tapi kalau lo gak keberatan, nyalain lampu ruangan ini."

Sebenarnya Jinhyuk benci saat seseorang meminta tolong kepadanya tidak mengatakan tolong pada kalimatnya, tetapi kali itu dia biarkan saja. Melihat Seungyoun yang kembali mencari sesuatu dengan tekun di mejanya dan Jinhyuk merasa tahu apa yang dicari lelaki itu.

"Seungyoun, kamu cari apa?"

"Bukan hal yang penting. Lo gak perlu tahu."

"Kalau tidak penting, kamu tidak akan membuat ruangan ini berantakan," Jinhyuk melihat sekitarnya, lalu menghela napas. Mengeluarkan foto 4R dari sakunya dan menatap Seungyoun, "mencari ini?"

Gerakan Seungyoun berhenti dan memandang Jinhyuk. Lalu dengan cepat dia melompati meja kerjanya dan menghampiri Jinhyuk, tidak peduli menginjak surat-surat yang disusunnya dengan rapi di lantai. Merebut foto tersebut dari tangan Jinhyuk dan tatapannya kesal.

"Kenapa sampai ada di lo?!" Seungyoun bahkan tidak peduli jika suaranya sekarang terdengar membentak atau dengan fakta dia sebenarnya terbawa perasaan setiap melihat Jinhyuk. "Tahu privasi gak?!"

Namun, mengambil foto itu dari tempatnya tentu tidak bisa Seungyoun maafkan.

Seungyoun justru semakin kesal karena Jinhyuk malah tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. "Beneran gak berubah ya, Luizy. Masih aja emosian kalau merasa privasinya diganggu."

"Hah?" Tadinya Seungyoun sudah siap marah, langsung memberi respon tanpa berpikir. "Lo bacain surat gue juga ya sampe tahu nama gue?!"

"Buat apa bacain surat yang saya sendiri tulis?" Jinhyuk malah balik bertanya pada Seungyoun. "Meski heran sih, kamu masih menyimpan semua surat dari saya. Masih menyimpan pasir dan air laut yang saya kirim. Malah dipajang pula pigura norak dari saya." Dia hanya tersenyum dan sebenarnya ingin tertawa melihat wajah Seungyoun yang sekarang terlihat kebingungan. "Apa kamu benar-benar mau menepati ucapanmu untuk menikah dengan Seungjoon sebelum umur tiga puluh?"

Seungyoun terdiam, tidak tahu harus memproses dari mana. Karena meski tiga hal yang disebutkan Jinhyuk benar, (soal surat; pasir dan air laut; serta pigura norak yang bagi Seungyoun adalah hal paling berharga) harusnya tidak ada yang tahu janji yang diucapkannya saat pertemuan pertama mereka di usia lima tahun.

Namun, saat Jinhyuk memutuskan untuk berbalik dan meninggalkannya, Seungyoun refleks menangkap sebelah tangan lelaki itu. Memaksanya untuk berbalik menghadapnya, karena dia butuh penjelasan.

"Lo ... lo siapa?" Seungyoun mulai sedikit bergemetar, karena tidak mungkin ... logikanya sekarang berteriak bahwa tidak mungkin Seungjoon adalah Jinhyuk. "Gak ada yang tahu soal hal terakhir itu kecuali gue dan Seungjoon!"

"Seungjoon itu saya, sampai umur delapan tahun," Jinhyuk yang tadinya tersenyum, sekarang memasang wajah biasa dan perlahan melepaskan cengkraman Seungyoun dari pergelangan tangannya, "sayangnya dia sudah mati dan sekarang saya adalah Lee Jinhyuk, bukan Lee Seungjoon."

Seungyoun pusing dengan kenyataan yang menghantamnya sekarang dan bunyi pintu yang ditutup membuatnya tersadar. Ada banyak hal yang harus ditanyakan dan membuat Seungyoun menyusul keluar dengan memegang foto dirinya dan Seungjoon saat berumur 5 tahun. Menemukan Jinhyuk jika tidak di laboratoriumnya itu mudah, karena kalau tidak di ruang tamu tengah menonton NGC, maka dia ada di kamar tengah membaca buku dengan seringnya dipergoki melakukan posisi aneh.

Kadang kakinya di atas ranjang, badan dan kepalanya di lantai.

Kadang membaca di dalam selimut dan karena katanya pakai senter itu membuat limbah baterai, maka menggunakan flash dari HP sebagai gantinya.

Jadi saat Seungyoun menemukan Jinhyuk duduk di ruang tamu dan menonton NGC, harusnya dia bertanya apa maksud yang didengarnya tadi? Bukannya diam seperti ini dan perlahan memandangi foto yang ada di tangannya. Membandingkan lelaki di foto itu dan Jinhyuk.

Tidak begitu terlihat mirip, tetapi kenapa Jinhyuk tahu hal itu?

"Adoh, coki-coki gue habis. Malas bats pergi ke Indoapril cuma demi coki-coki."

Sialan, Seungyoun sekarang benar-benar yakin dan tidak terlalu ingat bagaimana akhirnya dia bisa membawa Jinhyuk ke dalam dekapannya. Mengabaikan protesan Jinhyuk yang protes dipeluk dan dia mau segera ke Indoapril demi coki-coki mumpung acara favoritnya yang judulnya aircrash investigation belum dimulai.

"Lo brengsek, Sungjoon," maki Seungyoun yang tidak melepaskan pelukannya dan justru semakin mengeratkannya, Jinhyuk juga sepertinya sudah menyerah melepaskan diri darinya, "tapi gue senang lo ternyata masih hidup."

"Saya Jinhyuk, bukan Seungjoon."

"Terserah lo mau namanya siapa sekarang," jawab Seungyoun dan akhirnya melepaskan pelukannya dan keduanya bertatapan, "karena nama gue juga sudah berubah."

Jinhyuk tidak tertarik mendengarkan dan wajahnya menandakan urgensi, meski membeli coki-coki itu sebenarnya dari sebelah mana termasuk urgensi.

"Udah kan? Mau beli coki-coki nih."

Namun, kalau ini Seungjoon yang dikenal Luizy, coki-coki adalah harta berharganya. Saking berharganya cita-citanya mau punya pabrik coki-coki agar bisa punya pasokan coklat seumur hidupnya.

"Seungjoon ... eh bukan, Jinhyuk," Seungyoun memanggil karena Jinhyuk melangkah meninggalkannya, "omong-omong, janji gue soal nikahin lo waktu itu masih berlaku loh."

Jika detik selanjutnya ada adegan Jinhyuk terpeleset, Seungyoun jadi panik berlari ke arahnya (meski ujungnya memaki-maki ketiadaan penanda lantai basah untuk jangan dilewati) dan setelahnya malah berdua jalan kaki ke Indoapril demi coki-coki.

Sebenarnya ada banyak tanya Seungyoun yang ingin disampaikan kepada Jinhyuk. Namun, sepanjang jalan Jinhyuk mengomel karena stok coki-coki di rumah cepat sekali habisnya (yang mana malingnya adalah Seungyoun karena sering terbawa perasaan membaca surat-surat Seungjoon yang sebenarnya sudah hafal di luar kepala) dan bilang kalau lupa terus menelepon sales langganannya yang biasa membawa stok coki-coki ke rumahnya dulu kalau dia sudah pindah.

"Jinhyuk," panggil Seungyoun saat Jinhyuk tidak tahu dirinya mengambil semua stok coki-coki untuk dimasukkan ke keranjang belanjaan, "perlu gue beliin gak pabrik coki-cokinya buat lo?"

"Gak usah. Besok gue telpon sales langganan gue buat antar ke rumah kita."

Kita.

Satu kata yang tidak Seungyoun tahu akan sekuat itu efeknya, sampai Jinhyuk melirik heran karena lelaki itu tersenyum lebih lebar dari biasanya.

"Youn, tidak kesambet bukan? Jangan bikin susah, cari orang pintar ilmunya untuk usir mahluk halus saat korona begini susah."

No comments

Post a Comment