Pagi Itu, Ada Secuil Cerita Tentang Mereka
Saat Jinhyuk membuka mata, ada beberapa hal yang dia temukan dalam pandangannya.
Kepalanya masih terasa panas (atau tepatnya makin terasa panas) yang membuat kelopak matanya terasa berat untuk tetap terbuka.
Kamarnya bukan seperti kamar yang diingatnya sebelum memejamkan mata.
Ada Seungyoun yang berada dalam jarak pandangnya yang cukup dekat, tengah tertidur dan membuatnya menghela napas. Tangannya refleks memegang kening Seungyoun sembari bergumam, "bego."
Mungkin karena sentuhan itu, Seungyoun terbangun. Tatapan mereka bertemu dan Jinhyuk yakin karena tangannya yang terasa panas. Karena biasanya tangan Jinhyuk itu dingin dan kalau demam baru seperti manusia normal yang terasa hangat (sebenarnya terlalu hangat sih sepertinya).
"Udah bangun?" tanya Seungyoun yang masih mengumpulkan kesadaran dan duduk dengan posisi yang lebih baik. "Gimana keadaan lo?"
Ingin Jinhyuk jawab tanya saja ke dokter kalau mau lebih jelas, tetapi matanya memutuskan untuk terpejam. Seungyoun merasa bersalah karena membuat Jinhyuk seperti ini dan sebelah tangannya memegang kening Jinhyuk.
Panas.
"Jauhin tangan lo," Jinhyuk mungkin tidak sadar mengatakan kata rujuk dirinya yang kasual, "panas, gue gak suka."
"Mau gue kompres air dingin?"
"Nyuruh gue makin lama sembuhnya apa?" Jinhyuk rasanya ingin mengutuk Sejin karena dari semua rumah sakit, kenapa harus yang miliknya keluarga Seungyoun dirinya dirujuk? Dia benar-benar tidak punya tenaga untuk berdebat dan hanya ingin dirawat di sini dengan tenang. "Pergi. Ntar kalo udah sembuh, gue balik ke rumah lo."
Seungyoun tidak mengatakan apa pun dan Jinhyuk akhirnya bisa..., "rumah kita."
Jinhyuk membuka matanya dan menatap Seungyoun tanpa ekspresi. Ah, mungkin hanya salah dengar tadi, soalnya Jinhyuk pernah dengar kalau orang demam suka salah menangkap perkataan lawan bicaranya.
"Terserah," Jinhyuk kembali memejamkan mata, "ini jam berapa? Kalau udah jam tujuh kasih tahu, soalnya gue mau minum obat."
"Perlu gue gerusin gak?"
"Gue bukan lo."
Apa Seungyoun tidak bisa meninggalkan Jinhyuk dan membiarkannya istirahat? Dia pergi ke rumah sakit karena mau dirawat, bukan untuk ditemukan dan berdebat tidak ada gunanya.
"Hyuk," panggil Seungyoun yang tidak direspon, "kalo lo sakit demam, kenapa harus minta rawat inap? Lo bisa panggil dokter ke rumah dan istirahat di tempat yang familiar."
Seungyoun pikir Jinhyuk akan mendiamkannya atau mungkin merespon untuk mengusirnya lagi. Jadi saat Jinhyuk bergumam, "gue benci dicuekin kalo sakit."
"Hah?"
"Bokap gak pernah ada di rumah, sibuk kerja atau sibuk di rumah selingkuhan yang mana," Jinhyuk tetap memejamkan mata dan sepertinya tidak sadar tengah merespon karena memang kepalanya terasa sepanas itu, "nyokap juga jarang di rumah. Palingan kumpul sama sosialita buat menghibur hatinya yang capek karena diselingkuhi."
"Jinhyuk...."
"Pengurus rumah gue cuma ke kamar buat anterin makanan, terus yaudah. Mana peduli gue keadaanya kayak apaan juga asalkan pas balik buat ambil peralatan makan udah kelar?" Jinhyuk membuka matanya sebentar, lalu menatap Seungyoun dan memejamkan mata lagi karena terasa berat. "Makanya gue di sini, karena seengaknya bakalan ditanyain tiap beberapa jam soal keadaannya. Gapapa kalau harus bayar mahal buat sakit yang cemen, yang penting diurusin."
Seungyoun terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Karena semenyebalkan apa pun ayahnya (yang selalu dia panggil si tua bangka karena rese mengatur-atur hidupnya), kalau Seungyoun sakit bakalan di rumah. Kamarnya jadi rasa rumah sakit karena semua peralatannya dipindahkan meski sakitnya bukan yang membutuhkan peralatan itu dan rasa-rasanya perawat yang mengurusnya ada sekitar belasan.
Padahal seringnya cuma demam yang cuma butuh kompres dan obat.
Sama bubur yang dibuat ibunya (yang mau dibuat sama chef hotel bintang 5 sekali pun tidak ada yang mendekati rasa yang diingatnya).
"Jadi itu alasan lo ngurusin gue pas sakit?" tanya Seungyoun akhirnya. "Karena gak mau gue gak di urusin padahal lo sendiri juga ketularan sakitnya gue?"
Hanya gumaman tidak berarti yang menjadi respon Jinhyuk dan tanpa sadar, tangan Seungyoun terulur untuk menyentuh kening Jinhyuk.
"Gue bilang gak suka tangan lo, panas."
"Bentar doang, cuma mau tahu sepanas apaan," bohong, soalnya tangan Seungyoun tidak beranjak dari kening Jinhyuk, "panas banget. Gak pusing lo?"
Jinhyuk memaksa matanya untuk terbuka dan menyingkirkan tangan Seungyoun darinya. Menghela napas, lalu memejamkan matanya kembali.
"Pergi."
"Tapi lo...."
"Gue ada yang ngurusin di sini, lo punya kerjaan," Jinhyuk memutuskan mengubah posisi tidurnya jadi memunggungi Seungyoun, "gue mau istirahat."
Jinhyuk tidak mendengar suara lagi dan dia pikir Seungyoun akhirnya pergi. Entah sejak kapan Jinhyuk jatuh tertidur dan terbangun karena tubuhnya diguncang pelan. Membuka matanya, ada perawat yang menatapnya tidak enak dan Jinhyuk memaksakan diri untuk duduk.
Hanya untuk mendapati Seungyoun masih duduk di posisi yang sama, tetapi memangku laptop dan tatapannya terarah ke layar.
"Ngapain lo masih di sini?"
"Jagain lo," Seungyoun tetap memandang layar laptopnya, "tadi lo bilang kalau udah jam tujuh, bangunin buat minum obat. Juga sebelum ngusir gue kerja, apa gunanya gue punya perusahaan berbasis digital kalau gak bisa remote?"
Kalau Jinhyuk dalam keadaan normal, sekarang dia akan mencari benda terdekat untuk dilemparkan ke kepala Seungyoun. Sayangnya benda terdekatnya sekarang adalah selimut, nampan makanan dan obat yang harus diminumnya. Jinhyuk posisinya sekarang butuh ketiga benda itu dan kepalanya makin pusing.
"Tuan Jinhyuk, bagaimana keadaanya?" tanya perawat saat dia meminum air dan memeriksa suhu melalui telinga kanan. "Suhunya tiga puluh delapan koma dua derajat."
Jinhyuk tidak segera merespon karena memilih menghabiskan air yang ada di gelasnya. "Pusing, panas sampai susah buka mata untuk fokus sama sesuatu dan keganggu sama kehadiran seseorang."
"Gue diem aja loh, Jinhyuk."
Jinhyuk tidak merespon karena kepalanya pusing dan menutup matanya dengan sebelah tangannya. Sementara tangan satunya lagi membuat gerakan mengusir perawat. Dia mendengar perawat untuk meminum obatnya setelah makan dan Jinhyuk rasanya mau langsung minum obat lalu lanjut tidur saja.
Cuma malas saja nanti dengan kemungkinan Seungyoun semakin berisik dan membuat kepalanya mau pecah.
Seungyoun ingin mengatakan sesuatu saat Jinhyuk membuka plastik wrap up yang membungkus nampan makanan, tapi tidak dilakukan karena dia memberikan isyarat untuk berhenti. Jadi yang bisa Seungyoun lakukan hanyalah memperhatikan, meski gatal banget mulutnya ingin ngomong.
Mau nanya apa makannya Jinhyuk butuh dibantu?
Selesai makan apa bakalan langsung minum obat atau tipe yang menunggu beberapa saat lalu meminum obatnya?
Hanya saja, itu akhirnya Seungyoun simpan sendiri karena Jinhyuk benar-benar terlihat tidak mau diganggu. Padahal melihat sendiri beberapa kali tangan Jinhyuk agak gemetar sehingga membuat lelaki itu mengambil jeda selama beberapa saat sebelum lanjut makan.
Saat makanannya sudah habis dan Jinhyuk hendak minum, air di gelasnya kosong. Seungyoun berinisiatif mengambilkan dan tidak berapa lama meletakkan di mejanya Jinhyuk.
"Makasih."
"Boleh ngerespon gak?" tanya Seungyoun yang tidak ada jawaban atau tanda Seungyoun harus diam, membuatnya menghela napas. "Sama-sama. Minum obatnya, tapi seriusan gue gak perlu gerusin?"
"Jangan bikin gue keingetan cerat batuan apa dengan tawaran itu," jawaban Jinhyuk membuat Seungyoun langsung membuka browser dan mencari cerat yang dimaksud. Membuatnya memasang wajah sepat, karena sempat-sempatnya orang sakit di depannya ini masih membahas hal saintifik, "jam dua belas, bangunin gue. Ya kalau masih di sini sih."
"Iya gue bangunin, gak pergi kok."
Jinhyuk tidak mengatakan apa pun dan meminum obatnya. Setelahnya memilih untuk tidur dan mencoba melupakan fakta ada Seungyoun disekitarnya. Tidak mau tahu apa yang terjadi setelahnya, karena bagi Jinhyuk bukan urusannya.
Padahal setelah Jinhyuk tidur (yang ditandai dengan mulut Jinhyuk sedikit terbuka), Seungyoun menutup laptopnya dan menghela napas. Memegang kening Jinhyuk cukup lama, lalu mengusap pelan rambut lelaki itu.
"Gue jagain lo," Seungyoun tanpa sadar tersenyum, "gue bakalan urusin lo sampe sembuh."
Tentu saja tidak ada respon, Jinhyuknya tidur.
"Terus kalau lain kali lo sakit, gak usah ke rumah sakit lagi," sebelah tangan Seungyoun masih mengusap kepala Jinhyuk, "karena gue bakalan urusin lo. Gak perlu bayar orang asing buat merasa diurus, ada gue."
Seungyoun kembali tersenyum saat Jinhyuk bergumam tidak jelas, seolah merespon perkataanya barusan. Padahal dia tahu kalau Jinhyuk tidur memang kadang suka bergumam tidak jelas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments
Post a Comment