Saat Sakit, Ada yang Peduli
Sudah sepulih menit Jinhyuk duduk di meja makan dan Seungyoun belum juga turun. Padahal yang membuat peraturan untuk selalu duduk bersama saat sarapan adalah Seungyoun sendiri. Jinhyuk memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu dan baru mengecek kamar Seungyoun sebelum pergi ke kampus.
Hari ini tahun ajaran baru dimulai dan sebenarnya belum ada kelas, karena anak-anak baru pasti sedang OSPEK. Namun, Jinhyuk harus ke kampus untuk memajang mukanya di deretan dosen-dosen yang menjadi latar rektor kampusnya memberikan pidato selamat datang di kampusnya.
Setelah selesai sarapan, Jinhyuk naik ke lantai 2 dan mengetuk pintu kamar Seungyoun.
"Youn," tidak ada respon dan Jinhyuk sebenarnya ragu untuk masuk. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk masuk dan mendapati Seungyoun yang tengah bergulung pada selimut. Ruangan itu terasa panas dan saat sadar, pendingin ruangan tidak dinyalakan, "kamu kenapa?"
"Dingin ... tapi panas."
"Hah?" Jinhyuk bingung dan melihat wajah Seungyoun yang sudah pada dasarnya pucat, menjadi lebih pucat. Ragu, tetapi akhirnya menyentuh kening Seungyoun dan rasanya panas. "Kamu demam?"
"Ya menurut lo?" Seungyoun menjawab seadanya, tidak punya tenanga untuk berdebat.
"Dari jam berapa kayak gini?"
"Gatau," respon Seungyoun seadanya, "gue sakit, jangan dicerewetin."
Jinhyuk berdecih dan melirik jam tangannya. Kalau mengurus Seungyoun satu jam dari sekarang, setidaknya ia masih bisa ke kampus naik mobil dan tidak terlambat. Jadi akhirnya, Jinhyuk menelepon dokter dan menyingsingkan kemeja panjangnya sampai ke lengan.
"Keluar dulu dari selimut. Mau aku gantiin bajumu."
"Di luar dingin."
"Bentar doang, gak bisa nahan dingin bentar apa?"
"Gak."
Apa Jinhyuk menyerah? Oh tentu tidak dan dia memang membuat Seungyoun keluar dari gulungan selimut untuk kemudian digantikan kaos yang lebih mudah menyerap keringat dan celana piyamanya diganti menjadi celana pendek selutut. Setelahnya, Jinhyuk biarkan saja Seungyoun kembali ke dalam selimut meski dikata-katain sebagai raja tega.
"Mau makan apa?" tanya Jinhyuk yang sudah siap mengirim pesan kepada pengurus dapur. "Tolong jangan minta terlalu ekstrim ya, soalnya gak sempat kayaknya cari bahannya."
"Bubur."
"Oke."
"Buatan bunda gue."
Kali ini Jinhyuk tidak bisa melanjutkan ketikan di layar HP-nya. Semua orang yang kenal dengannya juga tahu kalau Seungyoun sudah tidak punya Ibu sejak berumur lima tahun. Jadi, permintaanya ini benar-benar tidak masuk akal.
Cuma namanya orang sakit itu katanya lebih sentimental, Jinhyuk tidak mengungkit kenyataan. Lebih kepada bertanya, "tahu gak teksturnya gimana? Atau isinya apa aja gitu?"
"Isinya banyak sayuran, dagingnya dikit soalnya kalo kebanyakan gue malas ngunyah," jelas Seungyoun yang mengatakan sambil memejamkan mata, "kayak ada rasa jamurnya, tapi gak ada jamur di buburnya. Terus gue gak suka brokoli, tapi di situ selalu ada brokoli soalnya sengaja dipotongin kecil-kecil."
"Hmm, oke," Jinhyuk mengetik pesan kepada pengurus dapur utuk menyiapkan bahan bubur dan apa saja yang Seungyoun katakan tadi. Karena sepertinya dengan terpaksa Jinhyuk harus turun ke dapur, "terus ada lagi?"
"Teh chamomile."
"Panas?"
"Hangat."
"Yaudah, lanjut tidur. Aku turun ke bawah nunggu dokter."
"Gak mau sama dokter."
"Kenapa?"
"Ntar disuntik."
Siapa pula yang main suntik sih? Dikira semua penyakit bakalan sembuh kalau disuntik apa?
"Kaga, elah." Jinhyuk mendengkus. "Palingan dikasih obat aja."
"Gamau kapsul."
"Yaudah ntar dibilangin."
"Obatnya digerus."
"Iya ntar aku gerusin."
Setelah itu, Seungyoun tidak berkata apa-apa lagi. Sepertinya sudah jatuh tertidur dan Jihyuk keluar dari kamar. Turun ke bawah dan ke dapur untuk memasak. Jinhyuk sebenarnya jarang ke dapur, tapi bukan berarti tidak bisa masak. Terima kasih 2 tahun bekerja di tengah hutan, jadi jiwa survivalnya untuk memberi makan diri sendiri tercipta. Kembali ke Jakarta, kadang ikut temanin ibunya kalau ada kursus memasak kalau kuliahnya senggang.
"Kaldu jamurnya ada gak?" Tanya Jinhyuk yang sedang mencoba bubur yang tengah mendidih kepada salah satu pengurus dapur.
"Ada sih, tuan...."
"Kenapa pakai sih?"
"Masalahnya ada MSG di dalamnya."
"Terus?"
"Tuan Seungyoun tidak boleh makan MSG."
"Kering amat hidup gak boleh MSG," keluh Jinhyuk, "gapapa, bawa sini. Lagi keadaan darurat, lagian orang sakit gak bisa bedain juga soal rasa."
Selesai memasak bertepatan dengan dokter yang ditelpon Jinhyuk datang. Membawa ke lantai 2 dan membiarkan dokter tersebut memeriksa Seungyoun. Jinhyuk tidak lupa bilang tentang Seungyoun tidak mau kapsul dan tidak bilang untuk minta digeruskan. Kelamaan nanti kalau menunggu di apotek, keburu telat Jinhyuk ke kampus.
"Bangun, makan dulu," Jinhyuk membangunkan Seungyoun karena pengurus dapur membawakan bubur dan teh chamomile, sementara pengurus rumah lainnya mengantarkan dokter sampai depan pintu, "bisa makan sendiri gak?"
"Gak"
Menyesal sih Jinhyuk bertanya, tapi begitu sendok yang berisi bubur disodorkan ke Seungyoun, dia menggelengkan kepalanya. Kenapa lagi sekarang?
"Masih panas."
"Yaiya, baru dimasak juga."
"Tiupin."
"Mau makan karbon dioksida gue?" Jinhyuk tidak sadar ngomong pakai gue dan membuat Seungyoun tersenyum. "Apa lagi sekarang lo senyum aneh gitu?"
"Lebih enak denger lo gue dari mulut lo."
"Untuk informasi tambahan, kalo udah ngomong begitu biasanya bakalan diikuti dengan makian."
"Kayaknya seru dengerin lo ngemaki-maki gue."
Jinhyuk tidak merespon, karena memilih meniup bubut yang ada di sendok. Jinhyuk tidak punya ekspetasi makanannya bakalan dihabiskan, jadi saat setengah mangkuk saja yang dimakan Seungyoun tidak ada rasa kesal. Orang sakit bisa banyak makan itu perlu dipertanyakan.
"Lanjut tidur, aku tebus obat."
"Lo bukannya ke kampus hari ini?"
"Masih sempatlah urusin kamu bentar," jawab Jinhyuk seadanya, "telpon kalo mau sesuatu."
Jinhyuk hanya mendengarkan gumaman dan keluar dari kamar. Setengah jam kemudian, Jinhyuk kembali lagi dengan dua sendok. Seungyoun membuka matanya dan melihat Jinhyuk tengah menggerus obat dengan sendok.
"Lo gerus sendiri?"
"Katanya gamau obatnya gak digerus."
"Kan bisa orang apotek gerusin?"
"Dan nunggu dua jam? Makasih ya, aku masih ada urusan."
Seungyoun memutuskan memperhatikan Jinhyuk dan jejak di leher Jinhyuk sudah mulai memudar. Rasanya aneh melihat jejak itu pudar, karena di satu sisi dia senang dan di sisi lain dia juga tidak rela.
Padahal sampai detik ini, Seungyoun juga tidak tahu siapa orang yang berbuat demikian kepada Jinhyuk.
"Buka mulut," perintah Jinhyuk yang membuat Seungyoun menurut. Rasa pahit langsung menyebar di lidahnya dan hampir saja dimuntahkan, kalau saja Jinhyuk tidak memberikannya pisang, "kayaknya sih dari komuknya kamu gak tahan pahit, jadi tadi beli pisang apa sih ini yang kecil? Aku mah bilangnya pisang jari."
Seungyoun hanya bergumam terima kasih, yang entah didengar oleh Jinhyuk atau tidak. Setelahnya, lanjut tidur dan Jinhyuk melihat jam tangannya. Telat 15 menit dari perkiraan dan segera saja berlari menuruni tangga dan menuju garasi untuk menaiki Porche miliknya.
"Ah sial," Jinhyuk yang sudah setengah jalan, banting setir. Menelepon rektor dan saat sambungan telponnya di angkat, "pak, maaf saya gak bisa hadir. Tunangan saya sakit dan gamau ditinggal."
Padahal yang sebenarnya terjadi, Jinhyuk cuma khawatir saja kalau-kalau sudah jamnya minum obat dan tidak ada yang mau menggeruskan obatnya Seungyoun.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments
Post a Comment